Links

Rabu, 15 April 2015

Perjalanan Panjang Ke Air Terjun Lubuk Bigau




                 Kali ini saya akan berbagi kisah perjalanan ke sebuah air terjun yang sangat ingin saya kunjungi. Air terjun Pangkalan Kapas, atau Air Terjun Lubuk Bigau.  Pernah dengar? Air Terjun ini adalah yang tertinggi di Riau. Sekitar 150 Meter! Malah menurut penunjuk jalan, tingginya sampai 250 Meter.  Well, berbeda-beda memang versinya, karena mungkin belum ada pengukuran yang benar-benar terkonfirmasi. Kerennya air terjun setinggi itu langsung jatuh dari puncaknya sampai ke dasar tanpa sedikit pun menyentuh dinding tebing. Saya bahkan tak menyangka sebelumnya ada air terjun seperti ini di wilayah Riau. Mungkin memang belum cukup dikenal, tapi justru itulah yang semakin membuat saya ingin mengunjunginya. Saking inginnya saya ke sana, saya sempat berjanji dalam hati, bahwa saya tidak akan pergi ke mana-mana apalagi ke luar daerah Riau sebelum kesampaian pergi ke ini air terjun.

            INTRO
            Saya mendengar kabar soal air terjun ini gara-gara pada bulan Desember 2014 lalu ada seorang kawan yang kuliah di Jogja, minta ditemankan kepada saya jalan-jalan untuk keperluan mengambil gambar beberapa tempat wisata di Riau buat tugas kuliahnya. Bahasa kerennya yah saya jadi travel guide dadakan lah. Hehe.
            LOKASI
             Sebagai informasi awal, Air Terjun Lubuk Bigau atau juga disebut dengan Air Terjun Pangkalan Kapas, berada di Desa Lubuk Bigau, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Juga disebut Air Terjun Pangkalan Kapas karena Desa Lubuk Bigau merupakan pecahan dari desa besar atau kenagarian yang bernama Pangkalan Kapas.
              Untuk sampai ke Desa Lubuk Bigau, ada dua jalur yang bisa dilalui. Yaitu melalui Kelurahan Lipat Kain, Kecamatan Kampar Kiri Hulu (5-6 jam jika perjalanan lancar, tidak hujan) dan melalui sebuah daerah di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera barat. Tak ada yang lebih mudah dari kedua jalan tersebut.
               Untuk sampai ke sana, kalau banyak dana boleh menggunakan mobil 4 WD (biasanya yang melalui Sumbar). Atau berdasar info yang kami dapat dari dinas pariwisata, dari Pekanbaru menggunakan mobil biasa, sampai di desa terakhir di Sumbar sudah ada yang menyediakan sewa mobil 4 WD sampai ke desa Lubuk Bigau.
             Kalau mau ngirit dikit, bisa menggunakan sepeda motor (biasanya yang lewat Lipat Kain). Syaratnya agar perjalanan lancar (ini sangat penting), sepeda motor harus benar-benar sehat secara keseluruhan, menggunakan ban cangkul alias ban untuk medan berat, dan spakbor dilepas. Sangat ideal menggunakan sepeda motor trail. Tidak disarankan menggunakan sepeda motor jenis matic. Kenapa? Simak saja sampai habis.
***
            Kilas balik. Berbekal sedikit informasi, pada tanggal 13 Desember 2014 lalu kami berangkat dengan sebuah mobil A*anza. Kunjungan ke air terjun ini adalah plan dadakan, tidak ada di daftar rencana kami jauh-jauh hari. Sayang sungguh disayang, perjalanan kami waktu itu tak sampai pada tujuan, malah nyasar ke daerah Danau Sontul, pedalaman Kampar kiri. Itu pun sempat terjadi insiden dorong-mendorong mobil karena mobil yang kami gunakan adalah mobil pendek, sementara jalan yang kami lalui bergelombang dan berlumpur di sana-sini. Walau nyasar, kami tetap mengunjungi sungai indah berbatu besar-besar di hutan sekitar desa itu. Dengan pakaian berlumpur karena mendorong mobil kami pulang membawa sedikit kecewa. Selebihnya adalah dendam, kapan saya akan sampai ke air terjun indah itu?
****
                THE BEGINNING
            Dari hari kegagalan itu, saya masih terus memikirkan bagaimana caranya dan kapan saya akan bisa ke sana. Eh, pada tanggal 28 Februari lalu ada sebuah status teman yang tiba-tiba mak sliwer di beranda Facebook menuliskan sedang dalam perjalanan mau ke sana, sekejap saya langsung berubah menjadi makhluk paling kepo di dunia. Rupanya dia senior di kampus saya. Tidak ingat kami berteman di FB sejak kapan, dan siapa duluan yang nge-add. Kenal sungguhan juga tidak. Tsaah. Rupanya memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Saya dan seorang teman yang saya komporin buat pergi langsung menginterogasi sang senior itu. Bahkan saya tunggu sampai dia keluar dari zona tanpa sinyal sepulangnya dari sana.
            Saya yang sebelumnya pusing karena memikirkan bahwa kalau ke sana harus pakai mobil 4 WD, langsung sumringah begitu tau bisa ke sana pakai sepeda motor. Lha iya, harus berapa lama saya nabung buat sewa mobil 4 WD itu? Pakai Tamiya 4 WD kali murah yak? Heheh.
            PREPARING
            Akhirnya diputuskan lah bahwa kami akan pergi pada tanggal 21 Maret 2015, kebetulan tanggal merah dilanjutkan hari Minggu, biar agak longgar waktunya. Estimasi kami, dua hari adalah total waktu minimal yang dibutuhkan jika perjalananan lancar.
            Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan demi kelancaran perjalanan nanti. Soal perlengkapan seperti tenda, sudah dibahas dari niat sewa tenda, sampai akhirnya malah membawa terpal. Tak lupa pula logistik dan obat-obatan. Sepeda motor juga harus dibikin sehat, servis ganti oli dan ganti ban semi  cangkul. Ban depan saya sudah lumayan botak, duit terbatas. Maka saya siasati, ban belakang saya pindahkan ke depan, dan kekosongan ban belakang diganti dengan ban cangkul baru. Roda depan besar ini ternyata memberikan manfaat juga, saat di jalan licin, motor jadi tidak terlalu mudah tergelincir karena penampang besar, grip jadi dapat lebih besar, juga tidak terlalu mudah terperosok ke lumpur. Kekurangannya, nyetirnya jadi butuh tenaga lebih ketimbang ban ukuran normal.
 
(Foto nyolong dari time line Sobat Ijul, ban kitorang berdua kembar. haha.. *http://metalbalbut.wordpress.com*)
            Waktu seminggu lebih terasa cukup untuk menyiapkan segalanya termasuk olahraga kecil-kecilan supaya terbiasa saat trekking nanti. Dari informasi yang saya dapat bahwa jalan kaki menuju air terjunnya membutuhkan waktu kurang lebih empat jam, sudah saya bayangkan bagaimana beratnya. Ya, memang saya bayangkan seberat-beratnya supaya mental tidak kaget.
              DEPARTURE
            Tanggal 21 Maret 2015. Speaker  masjid mengumandangkan bacaan mengaji tartil, tanda waktu subuh tak akan lama lagi tiba.  Alarm hp meraung-raung. Malam setelah packing tadi saya susah mau tidur. Saya tidur cuma 2,5 jam saja. Mata masih terasa berat, saya paksakan buat mandi. Brrr…
            Singkat kata, pukul 05.30 saya berangkat sekalian menjemput teman yang akan saya bonceng, sang navigator ke daerah Rimbo Panjang. Setelah itu kami langsung menuju ke simpang Kubang Raya, tempat yang kami pilih untuk berkumpul. Di sini kami berdua menunggu. Setengah jam menunggu, belum ada kejelasan kapan anggota lain akan tiba. Ini sudah molor sekali. Ada pula yang masih dalam perjalanan dari Siak. Walah, edan. Bisa kacau ini jadwal. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu di rumah teman yang saya bonceng di Lipat Kain saja langsung. Di sana saya bisa sambil membongkar spakbor dan body motor sebagai antisipasi kalau turun hujan, mengikuti saran dari teman di FB yang pergi ke sana kemarin. Spakbor mereka hancur katanya gara-gara penuh dengan tanah liat yang lengket sehingga menghambat laju roda.
            Ketika saya tengah membongkar motor, rombongan pertama datang dengan tiga sepeda motor. Agak lama kemudian datang lagi rombongan dengan tiga motor. Jumlahnya jadi tujuh sepeda motor dan empat belas orang anggota termasuk saya. Agak di luar perkiraan awal karena yang konfirmasi hanya sekitar delapan sampai sepuluh orang. Bukan apa-apa, saya cuma khawatir yang dadakan ikut ini kalau kurang tahu seperti apa rute yang akan dilewati, kurang persiapan, terus banyak hambatan dan mentalnya down kan malah kasihan sendiri. Hehe..
            Kami meneruskan aksi bongkar-bongkar. Saya agak kaget ternyata ada rombongan yang pakai sepeda motor tipe matic, motor Mio keluaran awal. Wah, yakin ini? Tapi mending sih, spakbor belakang motor mio keluaran lama memiliki ruang yang agak lebar ketimbang yang baru-baru keluar, jadi tidak begitu nyangkut oleh lumpur. Tapi tetap saja agak rendah badannya sehingga rawan nyangkut di jalan yang bergelombang parah. Ya, gimana lagi. Bongkaaar!
(Beberapa sepeda motor yang telah dibongkar spakbor)

            Pendek kata setelah semua persiapan beres, makan juga udah, kami berangkat dari Lipat Kain sekira pukul satu siang. Eh, kurang dikit. Waktu yang sungguh meleset jauh dari yang sudah direncanakan. Ini hati saya sudah nggak enak aja bawaannya. Mau jam berapa sampai sana?
            Habis kota kecil Lipat Kain, kami masuk ke simpang sebelah kanan, tak seberapa jauh, kita akan bertemu simpang tiga, yang kiri mengarah ke daerah Kuntu dan Gema, yang kanan itu tujuan kita. Jalan masih aspal sampai beberapa kilometer ke depan. Setelah itu jalan aspal habis dan berganti jalan tanah berkerikil. Masih lumayan enak dilalui. Maju ke depan  lagi kita akan menjumpai beberapa jalan dengan pengerasan beton. Beton ini masih putus-putus sekira jarak beberapa ratus meter hingga satu kilometer. Terus begitu dari desa satu ke desa lainnya. Tidak ingat saya desa apa saja yang kami lalui. Saya fokus berkendara.
            Sampai di desa Batu Sasak kami berhenti untuk istirahat. Tidak ingat juga saya waktu itu jam berapa. Setelah dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan yang masih panjang. Dari desa ini kita mulai disambut dengan jalanan yang naik turun seperti roller coaster. Awal-awal dari desa ini, jalanan kembali dilapisi dengan beton sampai beberapa kilometer ke depan. Setelah beton ini terlewati habis, barulah kita melewati jalan yang sesungguhnya.
                 OFFROAD
            Perlahan-lahan jalanan becek, berlumpur dalam, tanjakan super entah berapa derajat mulai menghadang kami. Sepeda motor mulai berkenalan dengan trek berat di sini. Pada beberapa tanjakan kami sanggup lewati. Pada banyak tanjakan kami harus menurunkan penumpang, bahkan saking tingginya itu tanjakan, kami juga harus menurunkan diri sendiri dan mendorong sepeda motor yang dari raungannya terdengar sudah kepingin meledakkan diri.
            Kami beristirahat untuk yang pertama, untuk medan berat pertama ini, dengan jantung jedug-jedug seperti speaker aktiv yang over loudness. Oh iya, ada anggota yang cewek bawa motor sendiri lho. Setrong juga untuk seorang cewek.  Saya salut sekaligus ketar-ketir nih. Jalannya bener-bener ekstrem.
            Kami cukupkan istirahat dan meneruskan perjalanan. Seperti saya katakan, tanjakan tadi adalah perkenalan. Maka ke depan berikutnya entah berapa kali kami harus naik turun dari sepeda motor. Beberapa anggota sudah ada yang terjatuh karena terpeleset. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya masyarakat yang hidup di daerah ini, dengan akses jalan seberat ini. Saya malah sempat tidak percaya bahwa ini masih berada di wilayah Kabupaten Kampar.
            Ke depan, beberapa desa kami lewati. Langit mulai terlihat agak gelap seperti akan turun hujan. Kabut mulai menyelimuti sekitar. Kami jadi terpisah. Saya dan satu motor anggota lain di depan. Sisanya di belakang. Mungkin juga terpisah. Kami berdua sempat beberapa kali berhenti menunggu anggota yang di belakang tapi tak kunjung kelihatan. Gerimis mulai turun. Kabut makin banyak. Kami berdua berjalan pelan-pelan. Tak lama kemudian hujan turun, perlahan lalu semakin deras. Kami dua sepeda motor sampai di sebuah desa dan berteduh di sini. Hujan turun deras sekali. Kami tidak tahu apakah rombongan di belakang berhenti atau masih terus berjalan. Ada HP pun kurang berfungsi karena sinyal sudah tidak terjangkau sedari awal masuk hutan tadi.
            Kami berteduh sambil memakan jagung rebus. Kebetulan ada seorang bapak penjual jagung rebus juga sedang berteduh di sebuah warung milik warga. Saya terkejut. Bapak ini ternyata berjualan dari Payakumbuh, Sumbar. Ya, jalan yang kami lalui memang tembus ke sana. Dari Payakumbuh, kata bapak penjual jagung tersebut membutuhkan waktu empat jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Begitu tiap hari ia melakoni hidupnya yang sudah bertahun-tahun jualan jagung di desa-desa daerah ini. Luar biasa.
            Mungkin sekitar satu jam lebih kami menunggu, barulah rombongan di belakang muncul dengan basah kuyup. Ternyata mereka terus berjalan. Saya membayangkan ke depan pasti jalanan entah seperti apa rupanya. Hari sudah menjelang sore. Tinggal satu desa lagi. Kami melanjutkan perjalanan panjang ini. Karena hujan, jalanan pasti becek dan berlumpur. Tidak bisa tidak, sampai desa terakhir pasti hari sudah malam.
            Lagi dan lagi kami harus berjuang keras melalui jalan naik turun berlumpur, berbatu cadas. Banyak sekali permukaan jalan licin dan berlumut. Ditambah lagi guyuran hujan deras tadi, jalan yang lengket semakin menjadi. Jika jalanan menanjak curam, penumpang harus diturunkan karena sepeda motor tidak kuat ataupun ban yang cuma ngesot. Jika jalanan menurun curam dan licin, penumpang juga harus diturunkan untuk menghindari resiko terjatuh.
(Tanah lengket menhgambat laju sepeda motor)
 
(ke depan, tanah lengket benar-benar sanggup melapisi sekujur motor)   
(mak nyuss.. kaki siapa ya?)

             Sejauh ini, saya belum ada terjatuh karena ban semi cangkul di belakang dan ban besar di depan memberikan grip yang cukup baik. Bagi yang menggunakan ban biasa, sepeda motor bisa melorot begitu saja walaupun sudah direm. Untuk melakukan pengereman yang aman saya lebih banyak menggunakan engine brake atau pengereman dibantu putaran mesin ketimbang menarik tuas rem. Jadi ban tidak terkejut dan melorot. Susahnya yang pakai motor matic, tidak bisa melakukan engine brake, sehingga sepenuhnya mengandalkan rem dan resiko terpeleset lebih besar. Tapi di tanjakan aman, harus saya akui itu matic torsinya gede, lah jupi saya sudah ngeden lah kok dia enak-enakan nyalip. Hehe..
            Hari terus berangsur gelap. Ini jelas sudah malam. Kalau saya boleh menerka, mungkin sekitar pukul setengah delapan malam. Tak cukup konsentrasi untuk sekadar melongok jam di tangan. Jalanan terlalu mengerikan. Sisa gerimis masih ada sedikit. Sepanjang jalan yang terlihat hanya jalan tanah lengket dan kiri kanan pepohonan hutan cukup lebat. Kami terus berjalan perlahan. Saya bersyukur karena sejauh ini motor tidak ada masalah. Saya terus di urutan depan menjajaki sekujur jalan.
            “Pilih jalan yang bagus dong!” kata teman yang saya bonceng.
            “Loh, memangnya ada jalan yang bagus?” jawab saya kalem.
            Sampai di ujung sebuah turunan panjang nan berbatu, saya terhenyak. Perlahan sorot lampu sepeda motor saya menerpa sebuah sungai kecil mengalir deras. Tidak ada jembatan. Saya menunggu rombongan di belakang. Setelah sampai, semuanya mulai panik. Lha ini gimana mau lewat? Jam di tangan menunjukkan pukul delapan malam lebih. Dunia sekitar gelap gulita. Beberapa anggota mengecek kedalaman sungai. Arusnya deras, airnya yang terdalam setinggi pinggang.
            Setelah beberapa anggota memperhatikan gerakan air, ternyata air bergerak surut. Kami sepakat menunggu sampai air surut. Beberapa anggota merasa kedinginan. Saya diam menghemat energi. Suasana hening diiringi riak air yang deras mengalir. Kunang-kunang kerlap-kerlip berterbangan, tanda udara masih segar. Namanya juga hutan. Dalam hati saya bergumam, sampai kapan ini nunggunya air surut? Hujan deras sore tadi pasti menumpahkan banyak sekali air.
            Lama sekali kami menunggu, mungkin sekitar satu jam. Tapi itu adalah satu jam yang lama sekali. Samar-samar kami dengar suara sepeda motor dari arah bukit di belakang. Ternyata bapak penjual jagung yang tadi sore dan tiga orang pemuda yang mengaku dari Batu Sasak. Beruntungnya kami. Orang-orang ini tentu sudah biasa lewat sini sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Mereka lalu mencari dua batang kayu yang seukuran lengan besar sedikit. Ya, sepeda motor kami gotong berempat orang, satu demi satu. Terasa deras sekali arus air. Saat menggotong motor, saya bisa berjalan mantap. Tapi sekembalinya untuk menggotong motor yang lain, saya berjalan terhuyung-huyung bahkan nyaris jatuh menahan arus.
            Setelah semua berhasil menyeberang sungai, kami melanjutkan perjalanan. Kami sangat beruntung karena dibantu tiga orang pemuda desa tadi. Pengendara cewek digantikan oleh pemuda tadi, dan membonceng ke pemuda lainnya. Pemuda-pemuda ini sangat lihai berkendara di jalan licin. Saya bersyukur ada mereka, tapi saya juga harus tetap waspada, karena saya juga tidak kenal mereka. Ini di tengah-tengah hutan dan segalanya bisa terjadi.
             THE REAL OFFROAD
            Selepas dari sungai tadi, inilah jalan yang paling berat dari seberat-berat jalan yang pernah kami lalui sebelumnya. Jalan ini habis digeledor, didorong, diratakan dengan bulldozer. Jalan naik turun, sangat licin, dan tanahnya itu lengket luar biasa. Ia bisa menempel sangat tebal pada tapak kaki. Pada setiap tanjakan hampir selalu motor harus dituntun. Bahkan motor saya yang pakai ban semi cangkul pun hanya berputar di tempat sementara motor diam saja karena saking lengketnya tanah.
            Saat berhenti sebentar, saya cek ban bagian belakang, wah semuanya penuh dengan tanah. Rantainya tidak kelihatan karena dibungkus tanah kuning tebal sekali. Saya membersihkan tanah dari ban supaya tidak terlalu licin, walau logikanya, berjalan satu dua meter ke depan juga sudah penuh tanah lagi.
            Malam gelap diselimuti kabut. Kami terseok-seok di atas jalan licin. Motor berjalan sangat lambat. Tenaga yang tersisa sudah semakin sedikit. Di sebuah tanjakan tinggi, seorang anggota berteriak-teriak minta bantuan dari bawah. Diketahuilah bahwa salah satu sepeda motor kami mengeluarkan asap berbau gosong. Motor matic Mio tepatnya. Kemungkinan asap berasal dari rumah karet belting yang terlalu panas atau juga dari kampas ganda yang mulai gosong. Penyebabnya saat di tanjakan, ban dipenuhi tanah sehingga berat dan ban tidak mampu berputar, sementara mesin tetap dipacu tinggi. Ini motor harus dibantu dorong dari belakang untuk bisa sampai ke atas tanjakan. Akhirnya, satu lagi penumpang cewek harus dibonceng oleh pemuda yang menolong kami.
            Dengan sisa tenaga yang ada, saya terus melajukan motor sebisanya. Saya harus mengejar anggota yang dibonceng pemuda tadi. Saya takut kalau terjadi apa-apa nanti kepiye? Ini hutan belantara je.. tidak ada kantor polisi. Walah, rasa was-was sudah membungkus saya seperti tepung membungkus ayam goreng kentucky.
            Saya terus ngebut sebisanya, meninggalkan rombongan di belakang, tapi cewek yang dibonceng di depan tadi belum kelihatan juga. Pemuda di depan tadi seperti bisa melajukan sepeda motor bagaikan di jalan aspal, bahkan di jalan yang begitu brengsek ini. Entah berapa kali saya terjatuh dan bangkit lagi. Maklum juga, badan sudah sangat loyo. Satu kali motor saya nyangkut berdiri di jembatan kayu kecil, dan saya yang nyemplung di bawahnya. Lah untung itu motor tidak terus ikut nyemplung menimpa saya. Betis kiri saya yang lecet terkena pijakan kaki, sudah tak terasa lagi. Saya cuma sedang bingung, ini gimana caranya ngangkat motor saya yang nyangkut.
            Saat saya sedang mumet ngakalin motor yang nyangkut itu eh, tiba-tiba seorang pemuda yang membantu kami, yang tadi saya tinggalkan bersama rombongan di belakang sudah menyusul saya. Mereka sudah terbiasa hidup di alam begini sehingga jalan yang hancur seperti neraka bagi kami, bagi mereka tak terlalu menjadi masalah. Kami lalu mengangkat sepeda motor saya yang nyangkut. Kami lanjut berjalan lagi. Dari sini saya masih terjatuh lagi satu kali. Sepasang kaki sudah gemetaran sedari tadi. Jalanan lengket dan licin seperti tidak menginginkan kami berdiri.
            Tak peduli seberapa loyo badan saya, saya terus berusaha berdiri lagi. Sekarang, dua orang cewek sudah digondol dua orang tak dikenal di depan sana. Pokoknya saya harus kejar. Maju lagi. Ngesot lagi. Wes, pokoknya ndak itungan berapa kali motor saya harus ngesot indah. Mesinnya sampai berbunyi rrrrr setiap di tanjakan tinggi. Ini kalau sampai jebol mesinnya ya sudah nangis lah saya di tengah hutan belantara. Di jok belakang, teman yang saya bonceng tak pernah menghentikan doanya. Malam itu, seperti malam paling gelap, paling panjang yang pernah saya lalui.
           Akhirnya setelah entah seberapa lama, sampai juga saya di desa. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tersusul juga anggota cewek yang tadi di depan. Lega rasanya. Mereka tidak apa-apa. Haha.. Saya beristirahat dan minum banyak sekali.          Kalau tidak salah, sekira pukul sepuluh malam saya sampai di desa itu. Agak lama kami menunggu, rombongan di belakang belum juga menyusul. Kami lalu dibawa ke rumah seorang warga yang memang sudah biasa dijadikan tempat menginap bagi pengunjung yang kemalaman seperti kami. Setelah beberapa lama barulah seluruh rombongan sampai dengan lengkap. Well, kami harus berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah menolong kami. Haha..
            Lelah sekali rasanya badan. Kami berkendara naik turun perbukitan kurang lebih sepuluh jam karena trek berat setelah diguyur hujan. Di rumah warga ini kami juga dipertemukan dengan orang yang biasa menjadi pemandu jika dibutuhkan untuk menuju air terjun. Awalnya sebelum berangkat saya berencana tidak pakai pemandu, tetapi karena rombongan terbilang banyak, dan sebagian besar cewek, maka saya ragu kalau tanpa pemandu. Rombongan sebanyak itu kalau tersesat sedikit saja bisa panik dan tambah kacau.  Sembari mereka negosiasi dan mengobrol dengan warga, saya berbaring karena terasa capek sekali ini badan. Capek sekali karena ditambah nguber-nguber sang pemuda jagoan motor offroad tadi. Hehe.. Badan yang saking capeknya malah agak susah dibawa tidur.
            Pagi hari pukul setengah lima saya terbangun sambil menggigil. Jaket hangat tebal yang saya pakai juga kurang hangat rasanya. Udara pagi di desa ini sangat dingin. Pendek kata, setelah semua siap, sekira pukul enam lebih kami berangkat bersama pemandu. Kami menyusuri jalan beton kecil di antara pepohonan karet warga dan hutan dengan sepeda motor, kira-kira sejauh satu setengah kilometer. Sampai di ujung jalan, dimana jalan beton tadi habis kami memarkirkan sepeda motor. Di sini sudah ada beberapa sepeda motor pengunjung lain yang berangkat dari kemarin hari.
             JALAN KAKI
            Sekira pukul tujuh. Dari sini jalan kaki dimulai. Katanya sih sekira 3 sampai 4 jam perjalanan. Yup, satu dua langkah kaki dijalankan membelah hutan belantara. Mengikuti jalan setapak yang sudah ada, dan tak seberapa jelas jalurnya. Sesekali terdengar teriakan dari dalam hutan, tapi tidak jelas entah dari mana. Kadang terdengar seperti teriakan orang yang bersahut-sahutan. Setelah saya tanya pada pak pemandu, apakah benar itu orang yang pulang dari air terjun?
“Haha, di sini mana ada orang.” Katanya dengan santai. Pak pemandu ini jalannya cepat sekali.
             Terkadang kita masih kebingungan mengambil jalan karena meskipun dengan pemandu, tapi si pemandu ini tiba-tiba sudah berjalan jauh di depan sana. Bagus juga sih, kalau nurutin kita ini ya kapan sampainya. Tapi kalau ada yang nyasar kepiye? Ah, pak pemandu tentu lebih tau. Wong dia sudah biasa.
            Kami terus berjalan. Awal-awal perjalanan, kita akan menyeberangi beberapa sungai dangkal. Jalur awal yang kita lalui kebanyakan berupa jalan yang dipenuhi semak belukar, tumbuhan pakis kawat yang suka nyantol di sepatu, tas dan baju. Topi rimba yang saya pakai beberapa kali tersangkut. Bagi yang cewek, jilbabnya pasti suka kecantol.
(istirahat sejenak)
            Maju ke depan lagi, jalur sudah agak lega, tak ada lagi pakis kawat yang nakal mencumbu langkah. Kami beristirahat sejenak. Saya mulai gerah dan melepas jaket tebal. Ini tanjakan pertama. Istilahnya, inilah tanjakan pemanasan. Kabut mengelilingi kami. Bahkan uap yang naik dari kaus yang basah karena keringat pun bisa dilihat. Badan saya ngebul mirip mie instan yang baru diseduh.
            Kami lanjutkan langkah kaki. Jalur kali ini sedikit naik turun di sekeliling pohon-pohon hutan. Seperti biasa, sang pemandu sudah berjalan jauh di depan.  Kami terus mengikuti. Di sepanjang jalur terdapat beberapa pohon yang diikat dengan tali plastik raffia sebagai tanda. Entah siapa yang memasangnya. Setiap kami ragu, kami akan mencari tanda tali itu sambil “mengendus-endus” tanah mana yang paling sering diinjak. Atau mencari pohon yang terdapat bekas bacokan parang. Nampaknya sang pemandu rajin membuat tanda bacokan pada pohon setiap melakukan kegiatan memandu.
            Langkah demi langkah kami lalui sampai terpisah menjadi beberapa kelompok, sesuai kecepatan jelajah kaki. Kelompok yang depan, beberapa orang dengan pemandu, saya dan beberapa orang di tengah, dan kelompok terakhir di belakang. Kalau semua harus menunggu yang jalannya lambat, entah berapa jam kami akan sampai di tujuan. Sebab semakin besar kelompok, semakin banyak berhenti.
            Sepanjang jalan kita akan disuguhi kesejukan udara yang benar-benar menyegarkan. Kadang kita dengar suara hewan hutan seperti teriakan manusia bersahut-sahutan. Mungkin kumpulan hewan primata. Sesekali di beberapa jalur terdengar gemuruh air terjun. Namun entah air terjun yang mana. Karena ternyata, lumayan banyak juga air terjun kecil-kecil selain air terjun utama tujuan kami. Kondisi trek yang dilalui bervariasi kontur tanah dan tingkat kesulitannya.
            Kita juga akan menjumpai bebatuan yang menjorok ke tepian jurang dengan air terjun kecil mengalirinya.  Kami mengisi botol air minum di sini. Airnya bersih dan enak untuk diminum. Kita bisa beristirahat sejenak di bawahnya. Sayang, dinding batu dan atap tebing ini sudah banyak dicoret-coret oleh pengunjung  yang kurang bertanggung jawab. Apa gunanya coba?
(Anggap saja saya tidak ada)
 
(view ke jurang)

            Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Dari sini kita akan semakin banyak menjumpai tanjakan. Namun juga masih bertemu beberapa jalur menurun untuk kemudian menanjak lagi. Langkah saya mulai tertinggal lagi oleh pemandu. Ada dua orang anggota cewek yang sanggup terus berjalan bersama pemandu. Salut saya dengan stamina mereka yang lumayan setrong.
            Langkah saya mulai terasa berat di sini. Beban tas yang saya bawa dobel, depan belakang, membawa logistik. Beberapa kali kita harus terpeleset dan berpegangan pada pohon semak. Agak jauh ke depan, kita akan bertemu tangga yang dibuat dengan kayu bulat seadanya dan sudah mulai lapuk. Tingginya sekira tiga meter menaiki tebing. Anak tangganya terbilang terlalu tinggi untuk para anggota cewek. Saya naik sambil menggendong dua tas, di punggung dan di dada. Pak pemandu dengan enaknya merekam saya yang gemetaran memanjat.
            Selepas dari tangga tadi, kita akan menjumpai satu lagi jalur menurun, di sini lah tempat terakhir kita bisa mendapatkan air sebelum sampai puncak di air terjun nanti. Disarankan untuk mengisi air di sini.
            Setelah itu, hampir sepenuhnya jalur yang kita lalui adalah tanjakan. Semakin menanjak semakin sering kita berhenti. Semuanya terlihat kelelahan. Kecuali pemandu tentunya. Kali ini semua anggota berkumpul lengkap. Ada seorang anggota cewek yang hampir menyerah di sini. Entah menangis apa tidak saya tidak tahu. Biarlah anggota lain yang membujuk. Saya kurang ahli dalam hal bujuk-membujuk.
            Pak pemandu melanjutkan langkah meninggalkan kami yang bingung. Saya mengekor pak pemandu. Pelan tapi pasti. Saya yakin, anggota yang ingin menyerah itu pasti bisa dibujuk.
            Saya terus melangkah. Dan semakin ke atas, semakin mental kita diuji. Tanjakan seperti tidak ada habisnya. Beberapa anggota sudah menanyakan krim pereda nyeri otot kepada saya. Yah, kaki saya juga sudah gemetaran sebenarnya.
            Selanjutnya kami terus melangkah. Beban di punggung terasa sangat berat hingga beberapa kali saya mesti melepaskannya dan meletakannya di tanah yang bisa buat duduk. Terkadang juga cuma bersandar di pohon karena terlalu sulit untuk duduk. Satu langkah di sini terasa sangat berat. Saya mulai tertinggal lagi. Beberapa orang sudah menyalip saya. Biarlah mereka duluan. Saya berjalan perlahan-lahan. Yang penting selamat.
            Sekarang saya berada di tengah-tengah sendirian. Tidak tahu saya entah seberapa jauh lagi itu air terjun. Sepertinya mental saya juga mulai menurun. Ragu, antara sanggup dan tidak. Saya berisitirahat cukup lama.
            Setelah cukup, saya berdiri dan melangkah lagi. Lima langkah berhenti. Maju ke depan lima langkah dan berhenti lagi. Begitu terus entah beberapa lama. Lama kelamaan, target saya cuma dari satu pohon ke pohon lain dan harus istirahat. Lelaaaah sekali.
            Beberapa saat kemudian saya berjalan lagi. Sesekali berpegangan pada akar pohon di tanah saat trek sangat curam. Terus melangkah walau selambat siput.
              Beberapa waktu kemudian, saya bediri sambil membungkuk memegang lutut yang rasanya mau copot. Mengatur nafas baik-baik. Saya perhatikan sekeliling, pohon semua. Saya sedikit mendongak ke atas, mencari langit, ingin mengecek apakah mendung ataukah cerah.
             “Oh, lumayan cerah.” Batin saya sambil melihat langit yang samar tertutupi daun pepohonan hutan.
             Tetapi ternyata saya salah. Setelah saya perhatikan berulang-ulang, apa yang saya kira langit itu ternyata tebing raksasa yang menjulang setinggi ratusan meter. Saya terkejut bercampur gembira. Berarti air terjun sudah dekat!
             Entah harus bagaimana saya menjelaskannya, tetapi secara tiba-tiba dan sulit dipercaya saya seperti punya seribu tenaga kuda untuk melangkah. Saya melangkah cepat sekali tanpa berhenti. Saya benar-benar melangkah tanpa henti, padahal itu tanjakan mungkin ada ratusan meter jauhnya. Di sini saya semakin yakin bahwa motivasi tinggi di hati sangat berpengaruh pada kesanggupan langkah kita.
Semakin dekat dengan air terjun, semakin sejuk udara yang kita hirup. Segar sekali rasanya. Bahkan lama-kelamaan malah saya merasa kedinginan. Beberapa langkah kemudian, barulah saya bisa melihat indahnya air terjun ini. Air terjun langsung dari atas ke bawah tanpa menyentuh dinding. Tak henti saya berdecak kagum.
             Waktu saya tanya kepada pak pemandu, berapa sebenarnya tinggi air terjun ini, ia menjawab tingginya 250 meter. Yang saya lihat di beberapa situs internet, ada yang mengatakan 130 meter, 150 meter, ada pula yang mengatakan lebih dai 200 meter. Beda versi, beda pula angkanya. Ya, mungkin memang belum ada yang benar-benar terkonfirmasi. Kata bapak pemandu, kalau mau tau seberapa tinggi sebenarnya, harus pakai tali yang diulur dari atas. Wah, kebayang bagaimana rempongnya setinggi itu. Heheh..
            Jam 11 lebih saya sampai. Saya meletakkan tas yang sedari tadi menggantung manja di punggung dan dada. Duduk berselonjor memandang indahnya air terjun yang tinggi menjulang dan batu-batu raksasa di bawahnya. Setelah perjalanan demikian panjang dan akhirnya sampai, ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Tak begitu lama kami bersama pemandu lalu menyiapkan semuanya untuk memasak. Perut yang sedari kemarin belum kemasukan nasi harus diisi. Meski saya akui setelah sampai di sini, rasa lapar tidak lagi terlalu berasa, tapi saya yakin tubuh harus segera dipulihkan lagi.
Di sela saya membuat api untuk memasak, rombongan terakhir tiba. Mereka terlihat begitu gembira. Bahkan seorang anggota yang tadi di bawah dengan tanpa tenaga mulai menyerah, sekarang bisa berlari kegirangan dan langsung menuju air terjun.
            Kami memasak sambil menikmati pemandangan serta sejuknya suasana. Beberapa anggota langsung menuju air terjun dan mandi. Ada yang memanjat-manjat batu-batu besar. Mereka terlihat kecil sekali di antara batu-batu itu.
(masyak dulu sob...)
            Setelah makan, saya duduk leyeh-leyeh lagi menikmati pemandangan. Saya kepingin sekali camping di tebing bawah air terjun itu. Tapi ndak kesampaian. Katanya untuk ke sana, dari tempat kami memasak mungkin butuh waktu sekitar 30 menit atau bahkan satu jam jalan kaki. Padahal deket kelihatannya.  Saya lalu pergi ke batu-batu besar untuk membersihkan badan dan membasuh muka. Tidak mandi, takut kedinginan. Saya harus menyimpan tenaga buat turun nanti. Beban yang saya bawa berat. Hehe..
(dokumentasi anggota kelompok)  
(dokumentasi kelompok)
 
(Sumber gambar; gemalahanafiah.wordpress.com)




            Pendek kata, setelah cukup puas, kami bersiap-siap membereskan segala sesuatunya dan pulang lagi pada pukul setengah dua siang. Agak berat rasanya meninggalkan air terjun ini. Tapi mau bagaimana lagi, kita harus pulang.
            Perjalanan pulang tak seberat ketika berangkat tadi. Karena kebalikannya, sekarang yang banyak adalah jalur menurun sehingga tak terlalu  membuang tenaga. Tapi tetap harus hati-hati karena rawan terpeleset.
            Kali ini rombongan terbagi menjadi dua. Saya dan beberapa anggota di depan. Pemandu dan beberapa anggota di belakang. Kami sampai di tempat parker sekira jam lima sore. Sambil menunggu anggota sampai, kami memasak lagi.
            Setelah memasak, kami kembali ke desa. Dari desa kami pulang sekira pukul setengah delapan malam. Kami banyak berterimakasih atas semua bantuan dan keramahan warga Desa Lubuk Bigau. Perjalanan panjang ini tak akan mudah terlupakan.
            Karena capek mengetik, akhirnya saya sampaikan bahwa seluruh anggota dapat kembali dengan selamat sampai ke Pekanbaru lagi. Iya toh? Puncak kesuksesan dari sebuah perjalanan dan petualangan kan, yang penting bisa kembali pulang dengan selamat.
              Sebelum saya tutup nih, ada yang berminat untuk mencucikan motor saya? hehe..
(Jupi bulukan)

Salam, Puja K.
Ditulis: Pekanbaru, 14 April 2015

4 komentar:

  1. Kapan mau brangkat lagi bro ...,?, kabar2 di blog ini ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru sempat balas.
      Hehe.. belum tahu lagi Bang.. Udah dua kali kesana soalnya. Tapi kalau soal informasi jalan bolehlah saya bagi.

      Hapus
    2. Kasih tau informasi jalannya bg

      Hapus
    3. Telpon aja bro.. 085374321299

      Hapus