Links

Jumat, 12 Juni 2015

Nasi Berkat Penuh Kerinduan



Ilustrasi (google)


Selepas maghrib tadi saya menghadiri undangan kenduri. Acara diisi dengan tahlil dan mendoakan  ahli kubur dari orang tua dan sanak famili si empu hajat. Eh lah kok saya yang diminta buat memimpin tahlil dan doa. Kebetulan memang saya mengajari ngaji anak-anak setiap selesai maghrib di mushola dekat rumah si empu hajat. Bagi saya soal memimpin kenduri ini memang bukan pertama kali, tapi saya tak pernah dengan undangan sebanyak ini. Tak banyak sebenarnya, tak lebih dari dua puluh orang. Tapi di kampung saya, soal beginian pasti jatahnya kyai sesepuh desa. Lah saya kan masih imut begini? :D
Tiba-tiba saya teringat perkataan ibu. Kalau saya susah disuruh pergi mengaji, pasti dia akan bilang, “Lah gimana nanti kalau udah jadi bapak-bapak, kalau kenduri nggak bisa kalau disuruh mimpin doa,, malu…” Biasanya saya akan diam dan langsung pergi mengaji ke masjid.
Saya jadi mbatin; “Ini lho mak, anakmu sekarang sudah bisa mimpin doa kenduri tingkat RT. :D”
Membicarakan soal kenduri tak akan bisa lepas  dari nasi berkat atau nasi kenduri. Khususnya bagi seorang muslim asal Jawa yang masih kental ke-NU-annya. Nasi berkat adalah hasil dari kearifan lokal yang “Indonesiawi”. Di Arab Saudi sana tidak ada istilah mirip kenduri yang isinya tahlilan, dzikir, berdoa kemudian pulang sambil menenteng nasi berkat. Soal kontroversi tentang acara kenduri atau tahlilan dari paham selain NU/aswaja, saya tak akan membahasnya di sini.
Nasi berkat biasanya berisi nasi, nasi gurih,  lauk ayam atau daging, sayur, sambal, kerupuk, tempe goreng, telur rebus dan lain-lain, bisa berbeda-beda tiap daerah dan acaranya.
Penyebutan berkat dari segi bahasa merupakan saduran bahasa arab ‘barkatun’ atau ‘barokatun’, yang artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus. Ada pula yang mengatakan bahwa nama berkat berasal dari singkatan ‘brek terus diangkat’ maksudnya begitu ‘brek’ (bunyi) diletakan, kemudian diangkat untuk dibawa pulang masing-masing tamu undangan. Pemberian nasi berkat dilakukan dengan niat sedekah dari tuan rumah yang memiliki hajat. Sebuah kegiatan sosial agama yang indah.
Lihatlah urutan kebaikan di dalamnya. Orang yang memberi nasi berkat senang karena bisa bersedekah dan rumahnya dijadikan tempat dzikir. Orang yang diberi nasi berkat senang bisa membawakan oleh-oleh bagi istri dan anaknya, dan anaknya gembira menanti datangnya berkat.  Lalu mereka makan nasi berkat dengan gembira dan kenyang. Wahai, orang dengan taraf bahagia seperti itu, bagaimana tidak lalu mendoakan  dengan ikhlas bagi si pemberi? Dan bukankah  mendoakan kebaikan bagi orang lain adalah juga berarti kebaikan bagi si pendoa? Pendek kata, sedekah itu luar biasa. Bahkan untuk setingkat nasi berkat. Di sini juga akan semakin terasa bahwa sejatinya memberi itu adalah juga menerima.
Malam ini saya makan dengan separuh nasi berkat karena saya memang sendirian di rumah. Tidak akan habis saya makan sendiri itu nasi berkat. Sambil makan saya juga sambil berterimakasih dan mendoakan si pemberi. Karena soal nasi berkat yang sedang saya makan ini tak berhenti di sini saja, sambil makan, saya sambil terus terkenang masa kecil saya. Seperti pernah juga saya singgung di tulisan sebelumnya , betapa saya kecil dahulu adalah penggemar nasi berkat. Menunggu bapak pulang kenduri adalah momen yang sangat bikin kangen bagi saya. Setiap detik terasa lebih lama ketimbang biasanya.
Saya lalu jadi membayangkan seorang bapak-bapak yang pulang menenteng sebungkus nasi berkat untuk anak dan isterinya. Wuah, lah kok enak sekali kayaknya. Makan nasi berkat bareng-bareng. Lah saya kok jadi makin merasa  sendirian. Wuaah, saya ini kenapa?
Pekanbaru, 11 Juni 2015.

Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar