Links

Senin, 14 April 2014

Perjalanan ke Air Terjun Batu Dinding, Kampar Kiri.



Ditulis: Pekanbaru, 25 Maret 2014
                Lama sudah rasanya tidak jalan-jalan. Mata ini sudah gatal lagi kepingin dicuci pakai pemandangan selain kota Pekanbaru. Kebeneran, teman juga mengajak, jadilah rencana jalan-jalan dibuat. Entah sejak kapan saya jadi hobi jalan-jalan juga tidak tahu. Biar kere begini juga tahu-tahu sudah lumayan lah. Beberapa  daerah-daerah di Riau sudah saya kunjungi. Mumpung masih muda. Mendatangi lokasi wisata alam adalah salah satu tujuan kesukaan saya.
(img source: http://ombolot.wordpress.com)
                Destinasi perjalanan kali ini adalah air terjun Batu Dinding yang terletak di Desa Tanjung Belit, lebih jelasnya dekat Desa Gema, Kec. Kampar Kiri, Kab. Kampar. Lokasi air terjun ini berjarak  75 km atau sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru.
                Rabu, 19 Maret 2014, kami berkumpul di Panam pada pukul tujuh pagi. Sebenarnya pukul tujuh itu dalam perjanjian terdahulu adalah waktu untuk start perjalanan. Namun karena untuk menghormati kebudayaan bangsa (budaya ngaret), akhirnya kami serombongan terdiri dari 5 unit sepeda motor, 5 joki dan 5 penumpang (serta ratusan ekor ikan teri sambal), berangkat pada pukul 07.30 WIB.                Dari Panam kami memacu sepeda motor ke arah Kubang, untuk kemudian terjun ke jalan lintas Sumatera yang diawali dengan daerah Teratak Buluh alias Perhentian Raja. Dari daerah ini mengingat kanan kiri kebanyakan adalah areal dataran rendah dan rawa beserta kalinya, maka kita akan disambut dengan banyak jembatan-jembatan sepanjang jalan. Melewati jembatan-jembatan ini harus sedikit hati-hati karena aspal jalan pada saat akan memasuki jembatan biasanya memiliki permukaan yang agak njrenggul alias tidak rata. Kalau dibantai dengan kecepatan tinggi, penumpang di jok belakang bisa terlompat lumayan keras seperti kursi lontar pada pesawat tempur. Berdoa saja semoga boncenger Anda bukanlah spesies manusia latah dan kagetan karena jika iya, punggung Anda bisa jadi landasan cubit yang sempurna sebagai pelampiasannya.
                Di atas Jupiter hitam saya terus melaju. Jalanan cukup aman terkendali karena entah mengapa pagi-pagi begini truk-truk super obesitas belum begitu ramai melintas. Udara pagi yang masih lumayan dingin cukup membikin badan saya sesekali menggigil.
                Kami terus melaju. Daerah Sungai Pagar sudah terlewati, Simalinyang terlewati, dan akan terus kami lewati apa yang harus kami lewati. Pemandangan sekitar ya seperti biasa, rawa, rumah-rumah penduduk, jembatan, kebun kelapa sawit, kebun karet, kebun sawit lagi.Itu itu melulu. Ogah saya lama-lama melihatnya. Kalau mata saya ini pengennya ya kiri  kanan itu berubah jadi sawah lengkap dengan pematangnya yang indah mirip di lukisan-lukisan itu. Tapi kok belum sempat saya menggelar imajinasi tadi tiba-tiba hidung saya sudah disogrok bau limbah pabrik kelapa sawit. Bubar!
                Pendek kata, akhirnya kami sampai di Lipat Kain.Di sini kami mampir mengisi bahan bakar di SPBU. Perjalanan dilanjutkan. Di ujung kota Lipat Kain, terdapat pertigaan dan kami mengambil arah kanan, keluar dari jalan lintas.
                Kondisi jalan lumayan bagus dan mulus, setidaknya lebih mulus ketimbang jalan lintas tadi. Sepanjang jalan ini, kita akan melewati banyak tikungan cukup tajam. Bagi yang hobi ngebut sambil miring kiri-kanan, saya jamin akan menyukai jalan ini. Dari sini mata kita juga akan disuguhi pemandangan sekitar yang lumayan segar. Daerah ini terbilang masih asri.Hampir seluruh permukaan tanah dekat jalan ditumbuhi rumput hijau yang rapi dan indah.Rumput-rumput itu seperti rutin dipangkas saking rapinya.
Ini adalah jenis jalan yang paling saya sukai.Hijau di mana-mana. Mirip saat saya jalan-jalan di daerah Taluk Kuantan dulu. Tapi hati-hati. Agak ke depan lagi hijau-hijau tadi bukan sekadar di tepian jalan saja. Kotoran kerbau, dengan macam-macam jenis tekstur dan kehangatannya, sudah menghampar di sepanjang jalan siap menyambut siapa saja lengkap dengan aroma ‘harumnya’ yang lumayan mengagetkan indera penciuman.
 Ya, limbah hijau ini sejatinya tak kelewat bahaya, karena belum ada sejarahnya ban bocor karena melindasnya. Kerbau-kerbau itu toh doyannya makan rumput, bukan jarum jahit atau beling seperti yang disuka kuda lumping. Kerbau ini masih normal dan sepertinya belum ada keinginan untuk menjadi kerbau lumping.Jadi, benda yang terkadang sekilas mirip bolu kukus raksasa itu sejatinya tak terlalu horror lah bagi para pengendara. Walau agak aneh juga sensasinya kalau sampai terlindas ban motor. Anget-anget gimanaa gitu. Haha!
                Sambil asyik menghindari ranjau kerbau di sepanjang jalan, tak terasa kami sudah memasuki wilayah Desa Kuntu.Cukup ramai penduduk di daerah sini. Dengan jalan yang sedikit naik turun dan masih banyak tikungan tajam, tak lama kemudian kami sampai di Desa Gema. Ini desa yang asri menurut saya. Dengan latar belakang pemandangan perbukitan dan hijau pepohonan, desa ini terasa adem di mata.
                Dari desa Gema kami ambil jalan sebelah kiri sebelum sungai. Tidak tahu saya itu jalan apa. Yang saya tahu, begitu memasuki jalan ini, kita akan merasa seperti menelusuri jalan untuk naik gunung. Ada beberapa tanjakan curam yang harus dilalui sementara kondisi aspal jalan terbilang kurang bagus.Ia adalah jalan jenis aspal kasar dan terdapat beberapa ruas jalan yang sudah mulai hancur dengan kerikil-kerikil yang lepas. Sebaiknya sedikit berhati-hati saat melalui jalan ini. Sepeda motor salah satu anggota rombongan mengalami kerusakan di awal-awal tanjakan ini. Gear alias gigi tariknya aus.Gejalanya ya sudah seperti kita tahu, mengeluarkan bunyi yang cukup khas saat mendaki. Krotok krotok krotokk!
 
Saantai mas.. udah deket kok..
                Sedikit panik juga saya. Bengkel disini lumayan jauh.Untunglah si joki sudah mewanti-wanti dengan membawa kunci pas. Bukan cuma itu, rupanya dia juga membawa gear cadangan! Dari sini saya mulai dikenalkan dengan keramahan penduduk desa yang kami tuju. Beberapa warga yang melintas  berhenti sebentar untuk menanyakan apa yang terjadi. Walau jalanan relatif sepi, tapi setiap ada yang lewat mereka selalu peduli.
Awas bawaannya ketinggalan, bang..
                Setelah selesai memperbaiki sepeda motor, kami melanjutkan perjalanan. Masih di jalan yang sama, kita akan disambut dengan pepohonan hutan yang masih rimbun dan hijau. Ada beberapa pohon beringin raksasa di tepi jalan.Sulurnya menjuntai bermeter-meter ke bawah dengan indah.Agak angker juga mengetahui ada pohon beringin tumbuh dengan besar dan setinggi itu. Namun pohon inilah yang pertama kali membuat saya berdecak kagum. Keren!
                Selepas jalan yang mendaki tadi, kita akan menjumpai sebuah jembatan ukuran sedang dengan sungai jernih di bawahnya. Di dekat jembatan ini juga terdapat papan selamat datang yang memberi tahu kepada pemirsa sekalian bahwa ini adalah desa wisata. Desa Tanjung Belit. Memandang hijau dan keasriannya, saya setuju saja untuk mengamininya.Mengingat wilayah Provinsi Riau yang terbilang minim lokasi wisata alam, tentu saja desa ini lebih mirip sebuah oase yang tersisa di antara jutaan hektar lahan eksploitasi.
                Perjalanan terus berlanjut. Kami melewati jalanan desa yang cukup tenang.Di beberapa persimpangan, kami agak ragu-ragu mengambil arah jalan. Maklum, tidak ada anggota rombongan yang pernah ke tempat ini sebelumnya.Ada memang anggota yang berasal dari daerah sekitar ini. Tapi ya namanya belum pernah kesini, tetap saja ragu. Akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada warga sekitar.
                Dari hasil bertanya tadi, didapat informasi bahwa lokasi yang kami tuju sudah tidak jauh lagi. Dan benar saja, beberapa jenak kemudian kami menemukan sebuah papan nama yang kurang jelas bertuliskan lokasi parkir air terjun batu dinding. Lokasi parkir  yang saya maksud berupa pekarangan rumah yang ditanami beberapa batang pohon sawit lalu diberi pagar kayu. Di bawah pohon sawit itulah kami menitipkan sepeda motor.Pengunjung bisa menitipkan barang-barang yang kurang perlu dan merepotkan di rumah pemilik pekarangan itu.
                Dari sini kata penyedia jasa parkir tadi, untuk menuju lokasi air terjun harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30 menit karena tidak memungkinkan lagi untuk dilalui dengan kendaraan bermotor.Menurut sumber yang saya dapat dari sebuah artikel di internet, untuk sampai ke lokasi air terjun batu dinding bisa ditempuh dengan jalur darat maupun jalur air dengan menggunakan pompong, perahu kecil bermesin. Tapi entah di mana kalau menggunakan jalur air itu. Mungkin dari Desa Gema tadi.Kami berlanjut dengan jalan kaki.
                Dari lokasi parkir tadi kami terus berjalan dan mulai mendaki bukit. Di tanjakan ini, terdapat persimpangan jalan.Bagi yang tidak tahu, persimpangan jalan memang selalu membingungkan dan membikin ragu. Kami memutuskan untuk mengambil jalan yang kanan.Kami terus berjalan dengan ragu-ragu. Kiri kanan jalan adalah hutan yang diantaranya juga ditanami pohon karet warga.Jadi tidak melulu pohon karet, tapi juga tidak sepenuhnya tumbuhan hutan. Jalan yang mendaki sudah mulai memberatkan kaki. Agak jauh dari persimpangan kami bertemu seorang ibu muda dan anaknya.Kepadanya lah kami menanyakan keraguan hati.Keraguan hati itu terjawab. Walau tidak setiap jawaban adalah hal yang menggembirakan. Kami salah jalan!
                Kami memutar balik kembali ke simpang kegalauan tadi dengan tulang belulang serasa dilolosi dari badan. Bawaan yang kami tenteng serasa tambah bikin sebel saja.Mestinya tadi ambil jalan yang kiri, bukan yang kanan. Ada yang menggerutu, ada yang mulai cengep-cengep, ada juga yang tertawa.
                Kami sudah kembali ke jalan yang benar (elah, mirip bahasa kitab suci saja). Dan ternyata, jalan yang benar pun tak selalu mulus. Jalan ini pendakiannya malah lebih dahsyat lagi, setidaknya untuk ukuran kami yang terhitung minim olahraga, jalan ini lumayan bikin ngos-ngosan. Mendaki dan menurun terus kami jalani dengan semangat terbarukan. Di beberapa bagian jalan kita bisa melihat sungai bernama Subayang, jauh di bawah bukit dengan airnya yang jernih dan perahu kecil mengapung di atasnya. Di seberangnya bukit hijau. Indah sekali.
                Sekira lima belas menit perjalanan, kami menjumpai sebuah pondok kecil dengan dua ibu-ibu sedang beristirahat di bawahnya. Mungkin disini mereka berkebun atau pun menoreh getah karet.Entahlah.Kami sudah mulai kelelahan.
                “Masih jauh lagi ke air terjun, bu?” Tanya saya.
                “Masih lagi..” jawabnya ramah.
                “Wah, ini sih bukan setengah jam..” celetuk salah seorang kami.
                Kaki terus kami ayunkan.Di bagian ini jalannya agak becek dan berair. Kami berjalan dengan berjinjit dan sesekali melompat menghindari air. Di depansana jalan yang mendaki sudah nampak kembali menanti. Untung saja tidak seberapa panjang.Selanjutnya kita akan menemukan pondok papan yang agak lapang yang memang dibuat untuk para pengunjung beristirahat sejenak. Sebentar kami berhenti disini. Kalau lebih lama lagi, bisa-bisa ada yang nekat membongkar bekal makanan dan menyantapnya dengan garang karena kami sudah mulai lapar. Kalau itu sampai terjadi ya alamat sudah tujuan tak tercapai karena kekenyangan sebelum saatnya.
                Tak jauh dari pondok tadi, kita akan menemukan sungai dangkal dengan bebatuan yang lumayan besar-besar. Disini lah terpasang papan selamat datang air terjun batu dinding. Estimasi kami, air terjun itu pastilah sudah dekat. Tapi gemuruh airnya kok belum kedengaran?
Entrance Notes
                Oh, pendakian belum berakhir. Kami melangkah lagi. Di muka terdapat tanjakan yang cukup tinggi dengan jalan setapak di antara pepohonan hutan dan semak belukar. Banyak permukaan jalan setapak yang licin dan berbatu. Saya mendaki paling depan. Menurut saya, di antara sekian tanjakan yang  sudah kami daki, bagian inilah yang paling terasa jauh dan sangat melelahkan. Apalagi saya kebagian menenteng sekardus nasi sebagai bekal makan siang nanti.Itu saja diangkat berdua dengan sebatang kayu sebagai pegangan tandunya.
Beberapa kali kami harus berhenti untuk istirahat karena saya cukup tahu diri. Rekan angkut saya itu badannya agak tambun, pasti beban kakinya lebih berat ketimbang saya yang berbadan gempal. (Alasan.. Saya juga capek loh. Ini kaki rasanya mau copot!)
                Tak cuma kami berdua. Jauh di bawah sana semua anggota juga mukanya nampak merah mirip kepiting rebus. Bagi yang memiliki porsi bokong agak berlebih, jangan berharap akan ada yang membopong. Mengangkat kaki masing-masing untuk satu langkah saja rasanya berat minta ampun. Bawa bokong Anda sendiri!
                Makin ke atas, kami berdua yang menggotong nasi ini makin sering berhenti. Rasanya kok tidak habis-habis tanjakannya. Kalau seandainya nasi ini tidak penting, pastilah sudah buru-buru kami lempar ke jurang sana. Sampai bertemu persimpangan dan bingung mana jalan yang benar, akhirnya kami berdua berhenti dan menunggu semua anggota sampai. Setelah semuanya sampai dengan ngos-ngosan dan keringat berleleran, ternyata kami kembali mengalami kegalauan berjamaah.Ini mana jalan yang benar?  Kiri atau kanan? Jalan kiri menuruni tepian jurang curam. Jalan yang kanan menaiki tanjakan yang lebih parah lagi. Kata hati saya mengatakan jalan menuju kebenaran, eh air terjun, itu ya yang kiri. Entah kenapa hati saya berkata begitu, mungkin karena sudah mulai depresi melihat tanjakan melulu.
                Karena melihat jalan kiri tepian jurang tadi berpalang kayu, maka rombongan mengambil jalan yang kanan. Artinya, menanjak lagi Malah lebih berat lagi. Beberapa anggota rombongan ada yang terpeleset kecil. Kaki saya sudah mulai bergetar. Rekan angkut saya sudah berbeda orang. Jadi sekarang saya yang lebih sering meminta istirahat hingga dari yang awalnya berjalan paling depan, kini malah menjadi yang paling belakang.
                Pendakian terus berlanjut.Tapi, setelah berpuluh meter kami mendaki, tak juga nampak titik terang.Jalan setapak yang kami ikuti lama kelamaan malah semakin tak jelas arahnya.Seperti sangat jarang dilalui dan penuh dengan semak belukar.Sampai akhirnya, kami berhenti. Kebuntuan menyelimuti. Kami seperti kumpulan domba kelenger yang tersesat.
                Agak lama kami berdiri dalam kebimbangan. Lanjut atau kembali? Wah, mungkin bener apa kata hati saya tadi. Kami masih berdiri sambil mengumpulkan tenaga. Keputusan belum dibuat.
                “Eh, pacet. Ada pacet!” seru seorang anggota rombongan memecah kebuntuan.
                Segera kami memeriksa sekeliling. Benar saja. Saya melihat beberapa hewan tak bertulang itu sedang berjungkat-jungkit mencari mangsa.Awalnya biasa saja. lama-lama kok agak horror juga. Dalam keadaan cemas, hewan yang bahkan cuma mirip ulat kecil itu di mata kami terlihat sebagai binatang buas.
                Kami memutuskan untuk kembali dan menyingkir dari kesesatan ini. Tak seberapa jauh berjalan, kami menemukan kemungkinan  jalan yang benar. Tapi kami tak langsung menyusurinya karena tak enak rasanya kalau harus tersesat lagi.Kami kembali dimakan keraguan. Tapi ternyata tak hanya itu. Rupanya ada seorang cewek dari rombongan yang kakinya dimakan pacet! Ribut lah semuanya. Saya pun segera memeriksa kedua kaki. Walah..tau tau ada tiga ekor pacet yang sudah nemplok di kaus kaki!
                Ini kali pertama saya digigit pacet. Tiga ekor pacet itu saya cabuti pakai tangan. Agak sulit dicabut. Gigitannya cukup kuat walaupun terhalang kaus kaki.Saya periksa lebih cermat lagi.Wah, ada lagi di betis bawah lutut. Yang ini sudah lumayan gede. Dengan geli-geli sedap saya cabut. Ceprot! Saya pemecah rekor dengan penerima gigitan pacet terbanyak dalam rombongan.
                Tidak sakit memang terkena gigitan lintah darat ini, karena sambil menggigit ia juga sambil mengeluarkan zat anestetik untuk membius. Ia juga mengeluarkan zat anti beku darah untuk memperlancar aktifitas penambangannya. Makanya, jika dicabut dengan paksa seperti yang saya lakukan, pasti darah akan dleweran mengalir dan cukup lama berhentinya. Sebenarnya kalau ditetesi air tembakau ataupun minyak angin, dengan sendirinya pacet akan melepaskan gigitannya dan ngacir. Tapi karena ini adalah perdana saya digigit pacet, grogi barangkali, ya sudah buruan saya tarik saja. (Sampai tulisan ini dibuat, gigitan pacet di betis masih terlihat hitam dan terkadang terasa gatal. Awet rupanya cindera mata dari hewan yang tewas saya pites ini.)
                Setelah sekali lagi tersesat di hutan ini, akhirnya ketemu juga jalan itu.Benar saja, jalan yang melalui lereng jurang tadi lah yang benar. Setelah menuruni lereng ini, kita akan kembali berjumpa dengan sungai kecil bebatuan lagi. Besar kemungkinan ini adalah sungai yang samadengan yang dijumpai pada entrance notes di depan tadi. Setelah sungai ini, kita harus sekali lagi mendaki bukit terjal.Di balik bukit inilah lokasi air terjun berada. Pada turunan terakhir ini, terbilang sangat curam dan licin.Kita tidak bisa melangkah tanpa berpegangan pada pohon dan akar-akar yang ada. Saling tolong-menolonglah disini. Terutama kalau ada anggota cewek dalam rombongan.
                Udara sejuk dan gemuruh air sudah menyambut. Terbayar juga rasanya. Walau, air terjun ini tak terlalu tinggi sebenarnya. Namun,ada perasaan yang sulit untuk dikatakan. Karena setelah melalui perjalanan panjang dan terjal serta berdarah-darah (akibat ulah terror pacet), akhirnya kami bersepuluh sampai juga.
                Kami mulai berjalan dari tempat parkir tadi pukul 10.10 dan tiba disini pukul 11.35. Artinya satu jam lebih kami berjalan termasuk karena tersesat. Jika tidak pakai kesasar, mungkin tidak akan sampai satu jam kita sudah tiba. Medan yang harus dilalui lumayan berat, namun cukup mengesankan.Kalau seandainya perjalanan cuma dekat dan mudah saja, mungkin malah kurang menarik. Pemandangan hutan belantara dengan jurang dan sungai di bawahnya selama perjalanan, sayang rasanya kalau harus dilewatkan, apalagi bagi yang mencintai petualangan.
Sampai disini, sudah ada tiga orang pengunjung lain yang sama-sama dari Pekanbaru. Segera saya letakkan tas yang memberatkan punggung, melepas sepatu dan segera cuci tangan serta muka. Kenalan dulu lah. Dingin sekali rasanya air disini. Badan masih sangat panas dan berleleran keringat, kalau langsung nyemplung takut jadi kaget.Kami beristirahat sambil main air. Saya membersihkan darah gigitan pacet yang masih deras mengalir di kaki. Beberapa anggota pergi ke sungai bagian bawah dan bersembunyi di balik batu-batu besar. Entah buang air atau sekadar memeriksa kalau-kalau pacet di perjalanan tadi ada yang merambat sampai ke area terlarang. Kan gawat juga. Hehe.
Penulis baru sampai. Keringetan broh..
Walau gembira karena sudah sampai di tempat tujuan, tapi perut yang sudah dari tadi terasa lapar belum bisa dilupakan.Ini saatnya membongkar perbekalan yang dari tadi kami tenteng dengan setengah modar.
Makan dulu sob..


Yang akurr.. jangan rebutan ya..
 Amboi..seluruh anggota makan dengan penuh semangat. Selesai makan, kita sholat.Setelah itu barulah masing-masing menceburkan diri ke kolam air terjun.
Awas kecantol mas..
Brrrrr… dingin sekali airnya. Matahari yang berpijar di atas sana sama sekali tak terasa panasnya. Beberapa kali saya harus naik dan berjemur di atas batu karena menggigil mirip kucing kecemplung air. Oh ya, jangan sembarang melompat disini. Banyak batu lumayan besar dan tajam di dasar sungai. Kita boleh keras kepala, tapi setelah saya pegang dan perhatikan, sepertinya batu disini juga tak kalah keras. Kalau tidak hati-hati, bisa bocor kepala kita.
Kalau mau duduk-duduk di bebatuan sekitar air terjun, kita juga harus tetap hati-hati. Disini juga masih ada pacet yang haus darah. Ada dua orang pengunjung lain yang saya lihat bermain-main dengan hewan ini. Katanya kena waktu duduk di bebatuan dekat pohon. Kalau mau sedikit aman, jauhi bebatuan dan pepohonan yang dekat dengan tanah dan semak belukar. Pacet memang biasa hidup di hutan hujan tropis yang lembab. Kita harus sering memperhatikan sekitar karena kita tidak akan terasa saat dirambati hewan ini. Atau, duduklah di batu yang dikelilingi air di sungai. Pacet tidak suka air. Tapi kalau tetep tidak mau ketemu pacet, ya tidak usah ke hutan. :D
Puas rasanya pesta air.Semuanya sudah kedinginan.Jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 14.20. Kami segera kemas-kemas dan membersihkan sampah. Oh ya, sepertinya masalah sampah masih kurang diperhatikan disini. Terdapat beberapa tong sampah memang disini, namun tetap saja terdapat sampah yang berserakan. Sampah yang menumpuk di tong sampah juga terlihat menggunung dan sudah lama tidak diproses lagi. Bahkan di sepanjang perjalanan saya perhatikan terdapat sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung. Sayang sekali. Tempat ini masih alami, janganlah kita kotori. Ini saja belum terlalu banyak yang mengunjungi, bagaimana nanti kalau sudah sangat ramai?
Kami pulang. Kembali mendaki beberapa bukit terjal. Namun, perjalanan pulang ini lebih mudah karena tanjakan panjang lebih banyak kita jumpai saatberangkat tadi. Jadi, sekarang adalah kebalikannya, lebih banyak jalur yang menurun dan terbilang tak seberapa menguras tenaga. Kami berjalan santai sambil bercengkerama dan sampai di tempat parkir dengan selamat.
Keluar dari Desa Tanjung Belit, kami singgah ke tepian sungai (Mungkin masih sungai Subayang) di Desa Gema untuk sejenak.

 Sampai disini pukul 15.20. Perut rasanya kok mulai lapar lagi. Kami buka kembali perbekalan yang tersisa dan makan di tepian sungai ini.




Jangan malu-malu ah..

Batu-batu kecil yang luas menghampar di sepanjang  tepian sungai itu kok saya lihat mirip di pantai saja. Hehe, ngayal.
Pukul 16.00 kami pulang menuju Pekanbaru. Dalam perjalanan saya berdoa, semoga sisa keindahan ini tak segera punah dimakan perubahan jaman. Sampai jumpa, Desa Gema. Sampai jumpa, Desa Tanjung Belit.
Ditulis: Pekanbaru, 25 Maret 2014
Sampai jumpa lagi.. Wassalam.



Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar