Links

Jumat, 27 Desember 2013

Hujan di Kampung Saya


(img source:  hujanorange.blogspot.com)
Hujan adalah rahmat. Banyak orang menyebutnya demikian. Entah mengapa pula banyak orang memiliki kenangan tersendiri jika harus menyoal hujan. Kenangan itu bahkan bisa diceritakan betapa panjangnya.
Barangkali itulah kenapa Gun’s N’ Roses sampai membikin lagu yang cukup sedap  menyoal hujan dengan judul November Rain. Dan setahu saya masih banyak lagi lagu-lagu lain yang berbau hujan itu. Baik hujan yang indah maupun hujan yang membuat hati  susah. Karena memang persepsi manusia berbeda-beda dalam hal ini. Soal itu kita semua sama tahu.
Hujan yang indah seringkali digambarkan dalam film sebagai sepasang manusia yang sedang jatuh cinta berjalan di bawahnya. Hujan begini adalah hujan  yang diharapkan sekali. Romantis katanya.
Tapi tidak  selamanya seperti itu. Hujan bagi pihak yang sedang patah hati malah seperti menambah kepiluan saja.
“Lihat, bahkan langit pun ikut menangis bersamaku.” katanya.


Tapi sudahlah. Orang yang sedang kasmaran apapun cuacanya akan tetap terasa asyik-asyik saja.  Dan orang yang sedang patah hati walau hari sedang cerah pun akan dia bilang sangat mendung. Dan lagi, soal itu kita semua juga sama tahu.
Kita tinggalkan hujannya orang jatuh cinta dan hujannya orang patah hati tadi. Sekarang saya ingin punya hujan saya sendiri.
Hujan dimana pun sejatinya adalah sama saja selama yang jatuh itu masih berupa guyuran air dari langit. Bukan air dari burung merpati yang sedang iseng pipis sambil terbang. Hujan sering membuat orang mesti berhenti dari aktifitasnya dan diam sejenak. Inilah menurut saya salah satu kehebatan hujan. Ia sanggup memaksa orang untuk sejenak merenung karena betapa ada jenis orang dari kita yang bahkan untuk merenung saja suka kelupaan.
Ujar saya, merenung saat hujan turun itu ternyata nikmat. Saya suka mengamati orang-orang yang berteduh saat hujan. Dalam menunggu hujan reda, saya sering mendapati wajah orang-orang ini begitu tenangnya merenung seperti patung. Terlepas dari entah apa yang direnungkan tetapi saya lihat mata mereka itu seperti sanggup menerawang begitu jauhnya. Begitu khusyuk. Begitu dalam. Seperti mereka baru sekali ini saja merenung.
Dan benar saja, setiap hujan turun saya juga jadi suka merenung. Saya jadi suka mengingat hari-hari yang sudah lewat. Hari kemarin waktu saya tertawa dengan teman-teman, waktu jengkel karena nilai kuliah saya jelek,  teringat mantan pacar, teringat teman lama, teringat orang tua di kampung halaman, teringat ditolak orang yang saya taksir, teringat ban motor yang kemarin bocor, daaan masih banyak lagi. Semuanya seperti ramai-ramai datang ke ingatan bersama rontoknya air hujan dari langit.
Tapi dari sekian bahan renungan yang suka melintas saat hujan, yang paling mudah membawa lari ingatan saya adalah hujan pada masa kecil saya. Masa saya masih bocah lengkap dengan ingusannya. Masa yang hampir dari seluruh dunianya adalah berisi kegembiraan. Masa yang hampir tak tahu patah hati atas penolakan sang pujaan karena jangankan untuk galau, bahkan soal serumit jatuh cinta pun bukanlah hal yang penting waktu itu.
Hujan bagi saya yang  kecil dahulu tidak lain lagi pasti diturunkan oleh Tuhan hanyalah untuk kegembiraan saya dan teman-teman sepermainan. Bukan untuk urusan yang lain-lain. Kalau toh ada pihak lain yang gembira dan mendapat manfaat dari hujan yang sama, itu pasti cuma numpang dan kebagian sisa-sisa kami saja. Ya, pokoknya Tuhan itu bikin hujan ya cuma untuk hiburan kami saja. Tidak ada yang lain. Tidak usah protes. Kami kan masih kecil ceritanya.
Hujan selalu menjadi hiburan gratis bocah-bocah kampung seperti saya. Hujan-hujanan adalah menu utama permainannya. Isinya adalah kejar-kejaran, bermain bola kaki bebas aturan, lempar-lemparan bola tanah liat, kebut-kebutan sepeda, bahkan sampai berkelahi segala. Yah, namanya juga mumpung turun hujan. Berantem sambil berguling-guling di bawah hujan kan kelihatannya keren. Mirip adegan film action.
Lebih keren lagi karena waktu itu sungguh sepertinya kami seluruhnya adalah bocah-bocah super karena dari sekian seringnya hujan-hujanan hanya sesekali saja dibayar dengan demam. Bayaran pastinya adalah kegembiraan. Bayaran tambahannya adalah diomeli orang tua.
Pendek kata, hujan paling keren adalah hujan di kampung saya.
Hari saat saya menulis catatan ini, di kampung saya yang Cinta Damai ini, adalah hari yang sedang turun hujan. Hujan yang deras sekali. Hujan yang terasa sejuk dan damai sekali. Kambing-kambing  peliharaan ayah saya di kandang belakang rumah sampai diam semua saking damainya.
Hari saat saya tulis ini, adalah hari di mana saya sedang cekreh-cekreh, demam, meriang, gara-gara diguyur hujan habis-habisan saat saya mencari rumput kemarin sore. Ah, sekian tahun sekolah di kota sepertinya sudah membikin saya ketularan orang kota yang alergi air hujan.
Ingin sekali rasanya menulis lebih panjang lagi. Tapi sepertinya hujan menjadi  semakin deras di luar sana.  Saya malah jadi lebih ingin meringkuk di balik selimut dan merenung dengan damai. Sedamai kambing-kambing peliharaan ayah saya di belakang sana.

Cinta Damai, 04 Februari 2013       Puja K
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar