Malam
baru hendak dimulai ketika Tukijo merambati
kata demi kata kalam Allah. Tukijo memang bukan seorang
yang tergolong mumpuni dalam hal ilmu agama. Pengetahuan tentang agamanya
sebatas diperoleh dari guru mengajinya di surau saat kecil. Selebihnya dari
buku bacaan. Namun begitu ia tidak memungkiri bahwa betapa mendekatkan diri pada
Tuhan adalah suatu keperluan. Di sana ada ketentraman yang sulit dipadankan
dengan kata. Ia tidak lagi dirasa wajib, tapi butuh. Apapun persoalannya itu,
kalau menyangkut soal kebutuhan, meninggalkannya adalah kehampaan.
Bahwa
Tukijo kerap duduk bersandar daun pintu samping rumahnya seusai shalat isya,
anak dan istrinya sudah sangat mengerti. Di sana Tukijo kerap merumus persoalan
hidup. Bahwa hidup memang bukan sebuah mangkok yang tanpa isi, sepenuhnya
Tukijo memahami.
“Kalau
mangkok itu hidup, ikan goreng itu pengisinya. Soal keselek duri atau tidaknya,
itu pilihan.” Pikir Tukijo.
“Maka
kalau terlanjur keselek, jangan mengamuk banting mangkok. Duri tidak lepas dari
tenggorokan, mangkok pecah pula! Mending kalau kaki tidak kejatuhan!” tawa
Tukijo nyaris lepas ke sekujur rumah.
Betapapun
hidup itu nyata. Datangnya persoalan di dalamnya pun juga sebuah kepastian. Maka
bersandar di pintu adalah cara yang
dirasa paling asyik bagi Tukijo untuk memilah, menimbang, memarahi,
menyelesaikan, malah kalau perlu menertawakan masalah.
Di
sana ia tidak perlu menyalakan pendingin ruangan saat udara gerah. Ia tinggal
duduk tenang sambil menyeruput teh manis maka tanpa diminta pun angin sering
suka datang. Angin dari jenisnya yang segar meski tanpa pengharum ruangan. Angin
dari sifatnya yang lembut hingga ia tak perlu sampai masuk angin. Dan angin
dari kemurahan-Nya karena ia rela datang
meski tanpa listrik.
Tapi
bersandarnya Tukijo kali ini adalah bersandar dari jenisnya yang lain lagi.
Candanya kepada hidup tadi, sekarang sudah berganti dengan kerutan dahi
setinggi empat tingkat. Kerutan di dahinya adalah nyata. Bingungnya nyata. Dan
bahwa penyebab kerutan itu adalah Mayang, istrinya yang sudah dua hari ini diam seperti batu ulekan sambel juga nyata.
“Perempuan
memang ruwet. Suka nggak jelas apa maunya.” Batin Tukijo.
Selama
tujuh tahun pernikahannya bahkan tak juga mampu menjawab soal itu. Makhluk
bernama perempuan yang Tukijo kenal adalah tetap berupa makhluk yang rewel akan
misteri. Kalau sepeda motor, antara yang masih anyar; cantik dibanding yang
jelek, tentu berbeda kualitas mogoknya. Semakin cantik dan baru itu sepeda
motor, jelas semakin kecil peluang mogoknya katimbang yang jelek. Kecuali motor
produk gagal, tampilan bersinar kemampuan diragukan. Makanya ada acara recall. Tapi wanita? Oo, tak peduli
cantik atau tidak ia sama saja. Sama-sama punya bakat ngambek.
“Atau
jangan-jangan memang ada jenis wanita
yang meski cantik tapi sejatinya seperti motor produk gagal?” geli Tukijo
dengan imajinasi ngawurnya sendiri. Lebih geli lagi saat pertanyaan imajiner
selanjutnya muncul:
“Kalaulah
iya, dimana aku bisa menyampaikan keluhan supaya mendapat pelayanan recall?” tawa hati Tukijo meledak.
Meledak membayangkan ia menuntun istrinya ke hadapan ayah mertuanya yang galak,
nyentrik, tapi flamboyan. Perpaduan yang membingungkan.
“Pak,
saya mau Bapak me-recall Mayang saja.
Cantik tapi bisa ngambek sih.” Perkataan gila yang pasti akan langsung disambut
oleh ayah mertuanya dengan pelototan mata kemudian dilanjutkan tawa sebesar-besarnya.
Mereka sama gilanya.
Kalau
semakin cantik itu berarti semakin jarang ngambek, Mayang malah samasekali tak
punya modal untuk ngambek begini. Mayang adalah bidadari yang kelewat cantik.
Ibarat puteri, ia semestinya di istana megah dan bukan di kota panas seperti
Pekanbaru. Dan puteri secantik Mayang dengan Tukijo sebagai pangerannya adalah
kesalahan sejarah terbesar! Langit dan bumi!
Masih
bersandar di pintu, Tukijo terus mengoreksi apa penyebab murungnya Mayang
episode ini. Apa yang salah? Apa gara-gara wajahnya yang pas-pasan? Pasti
bukan. Mayang jelas bukan buta kalau dari dulu Tukijo memang sudah pakai wajah
yang sama. Sama tak lulusnya untuk dikatakan rupawan.
Sampai
hari ini dan mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini berumur enam
tahun, rumah tangga mereka memang bukan tanpa prahara. Setidaknya prahara
kecil. Mereka sadar benar itu pasti hadir dalam kehidupan. Setiap datang
masalah, mereka selesaikan bersama. Perpaduan antara kecerdasan sekaligus
keanehan Tukijo dengan keuletan Mayang yang dibungkus kejujuran menghasilkan
mereka selalu mampu menuntaskannya dengan muka cerah. Biidznillah.
Tapi
ngambeknya Mayang kali ini memang
benar-benar tak biasa. Tak mampu dibaca oleh Tukijo. Ia muncul begitu saja
nyaris tanpa sebab. Ibarat kedelai, ia seenaknya saja menjadi tempe.
“Aneh,
dimana raginya?” Tukijo berpikir keras.
Seluruh
penjuru yang mungkin menyumbangkan penyebab ngambeknya Mayang ia cermati.
Seluruhnya. Mulai soal ekonomi hingga soal emosi. ia berjanji dalam hati untuk
menggembosinya. Tapi sayang, hasilnya nihil.
“Tidak
dapat. Benar-benar tidak dapat.” Tukijo
mematung.
Malam
mulai hening. Di kamarnya, buah hati antara Tukijo dan Mayang sudah lelap
bermimpi.
Sementara
Tukijo jungkir balik mencari sumber persoalan, Mayang malah asyik mengeram di
kamar. Tak peduli dua hari sudah ia diamkan suaminya. Dalam hati Mayang sedang
berjejal sejuta rasa. Rasa entah apa namanya. Oo, rupanya sambil mengeram ia
juga sambil membolak-balik album foto. Album foto teman-teman semasa kuliahnya.
Tergambar lagi kenangan-kenangan manis itu. Yang asin serta. Yang pahit
apalagi.
Dibuka
lagi lembaran album foto di hadapannya. Sebuah foto besar memenuhi satu halaman album terhampar.
Foto yang diambil di bawah pohon ketapang halaman depan kampus sembilan tahun
lalu. Berderet senyum mereka di dalamnya. Sempurna. Oo, temannya yang cantik-
cantik. Oo, sahabatnya yang lucu-lucu. Oo, temannya yang ganteng-ganteng. Oo,
kawannya yang imut-imut. Oo, O? Di antara foto mereka yang cakep-cakep, borju,
keren ternyata ada yang ganjil.
“Satu
manusia minim tampang nyelip di sana!” Mayang tergelak. Oo, Tukijo yang
serampangan, salah apa aku bersuamikan manusia sepertimu.
“Tukijo, sebagai warga negara yang baik
dan cinta produk dalam negeri, jika diberi kekuatan, apa yang akan kamu
perbuat?” tanya Pak Warto, dosen mata kuliah Kewarganegaraan pada suatu
pertemuan waktu itu. Datar. Tenang. Dengan keseriusan yang dibangun secara
penuh.
"Kita ini negara minder, Pak. Lihat,
untuk sekadar boneka saja yang dibilang cantik itu mesti boneka bule."
ucap Tukijo. Tenang sekali. Teman-teman memuji, tepat sekali. Pak Warto
mendengarkan. Serius sekali. Sambil serius, sambil pula merasa kecolongan bahwa
putrinya yang sudah gadis pun gemar sekali mengoleksi boneka Barbie yang memang
tongkrongan bule. Di etalase butik menantunya juga sepenuhnya boneka bule! Bah!
"Saya akan buat inovasi baru. Boneka
orang Papua! Dahsyaat!" tambah Tukijo dengan ekspresi penuh memecah
keseriusan. Sontak bahkan orang paling pendiam di kelas pun ikut tergelak
berjamaah. Mestinya Pak Warto ingin sekali meledakkan tawanya. Tapi, ia lebih
memilih untuk senewen.
Itulah kenapa waktu itu Mayang lebih suka
menikmati gaya Tukijo komplit dengan keganjilannya katimbang pacaran sekalipun
itu dengan cowok paling ganteng sekampus tapi dungu.
"Termasuk syarat untuk menjadi
isteriku kelak adalah mau mencabuti bulu ketiakku. Ini hebat! Tak ada
duanya!" ucap Tukijo lantang dalam kelas saat menjelang masa akhir
perkuliahan dulu. Ucapan lantang, percaya diri dan mantap yang langsung
disambut riuh tawa seisi ruangan. Gaya Tukijo sekali.
Ucapan yang saat itu cukup bisa dipahami
maksudnya oleh Mayang. Bahwa manusia memang bukan tanpa kekurangan. Bahwa
ketiak memang bisa bau. Tapi juga bisa dahsyat. Dan itu semua kini sudah Mayang
buktikan sendiri. Ia kerap nyelip ke ketiak si suami saat musim manjanya
kambuh.
Malam kini larut. Pohon lamtoro di
halaman rumah Tukijo telah lama mengatupkan daunnya.
Di atas kasur, hati Mayang membumbung
melebihi atas genteng. Haru. Bahagia. Meski itu harus segera ia tutupi demi
mendengar Tukijo mengetuk pintu pelan. Tukijo memanggil. Mayang diam tengkurap.
Sambil tengkurap, sambil menunggu Tukijo jera mengetuk pintu. Dan saking
jemunya pada akhirnya ia memang masuk sendiri.
"Dik, Mas ketuk pintu kok diam aja
sih?" tanya Tukijo seraya mendudukkan diri di samping istrinya. Mayang
diam. Tukijo menahan geregetan. Bagaimanapun Tukijo sadar, Mayang pasti belum
tidur. Muka terbenam ke bantal jelas bukan gaya tidur yang cerdas.
"Dik.. Kenapa sih kok dua hari ini
diem melulu? Aku minta maaf. Kalau ada yang salah, bilang dong.." ucap
Tukijo lagi. Datar. Lembut. Sayang. Sambil tangannya menyentuh pundak Mayang.
Mayang tak bergeming.
"Kerupuk melempem!!" umpat
hati Tukijo. Batinnya bertanya heran. Bagaimana mungkin wanita diciptakan
sedemikian hebatnya. Cukup dengan diam pun sudah hebat!
"Enggak Mas.." Mayang akhirnya
bisa bicara!
"Nggak ada yang salah kok.."
ucap Mayang tenang sambil duduk di sisi Tukijo. Tukijo mengerutkan dahi. Untuk
mempercayai ucapan Mayang, Tukijo tak butuh ragu. Bertahun-tahun sudah ia
buktikan. Tapi sekali ini?
"Ah, masa. Lalu, kenapa kamu
ngambek begitu?" selidik Tukijo semakin bingung.
"Nggak apa-apa, Mas. Kepengen aja.
Udah setahun lebih kayaknya aku nggak ngambek. Kangen rasanya..." Mayang
tersenyum. Manis sekali. Tukijo mengkerut. Kecut sekali.
Puih!! Jidat Tukijo kian berantakan
saja. Edan! Pantas saja. Dicari sampai besok pagi pun tak bakal ketemu kalau
persoalannya cuma sekadar kepingin. Tidak lebih. Cuma kepingin!
Tokek
bisulaan!
"Mas nggak marah kan?" pinta
Mayang manja. Dengan jurus manja begini biasanya Tukijo langsung lumer.
"Motor cantik mungkin sesekali
memang butuh ngadat. Jadi, sebaiknya tak usah buru-buru di-recall." ucap Tukijo ngawur.
Mayang tersenyum. Menyandarkan diri pada
Tukijo tanpa benar-benar mempedulikan ucapan ngawur suaminya tadi. Ngawurlah
kamu sejadi-jadinya, suamiku. Asalkan ngawur itu bukan dari jenisnya yang
membawa sial. Cukuplah wajahmu yang bertugas sebagai sial itu. Dan aku dapatkan
di balik sial itu sejuta kebaikan.
Tukijo lega. Mayang nyungsep ke
dekapannya. Keduanya diam. Tapi di dalam saling bertelepati. Telepati tingkat
tinggi yang membahas betapa hidup yang tanpa persoalan memanglah hambar. Malah
persoalan itu terkadang bisa bertugas
sebagai penyumbang nikmat pada akhirnya. Dan itulah kenapa Mayang merasa perlu
memicunya.
Keduanya masih diam. Tapi di dada dipenuhi
rasa aneh yang sering mereka alami. Sebagian manis, sebagian indah, selebihnya
bahagia.
***
-Puja
K-
2011