Links

Senin, 12 Mei 2014

Selembar Daun Pintu (Sebuah cerpen)




Malam baru hendak dimulai ketika Tukijo merambati  kata  demi  kata kalam Allah. Tukijo memang bukan seorang yang tergolong mumpuni dalam hal ilmu agama. Pengetahuan tentang agamanya sebatas diperoleh dari guru mengajinya di surau saat kecil. Selebihnya dari buku bacaan. Namun begitu ia tidak memungkiri bahwa betapa mendekatkan diri pada Tuhan adalah suatu keperluan. Di sana ada ketentraman yang sulit dipadankan dengan kata. Ia tidak lagi dirasa wajib, tapi butuh. Apapun persoalannya itu, kalau menyangkut soal kebutuhan, meninggalkannya adalah kehampaan.

Bahwa Tukijo kerap duduk bersandar daun pintu samping rumahnya seusai shalat isya, anak dan istrinya sudah sangat mengerti. Di sana Tukijo kerap merumus persoalan hidup. Bahwa hidup memang bukan sebuah mangkok yang tanpa isi, sepenuhnya Tukijo memahami.
“Kalau mangkok itu hidup, ikan goreng itu pengisinya. Soal keselek duri atau tidaknya, itu pilihan.” Pikir Tukijo.
“Maka kalau terlanjur keselek, jangan mengamuk banting mangkok. Duri tidak lepas dari tenggorokan, mangkok pecah pula! Mending kalau kaki tidak kejatuhan!” tawa Tukijo nyaris lepas ke sekujur rumah.
Betapapun hidup itu nyata. Datangnya persoalan di dalamnya pun juga sebuah kepastian. Maka bersandar di  pintu adalah cara yang dirasa paling asyik bagi Tukijo untuk memilah, menimbang, memarahi, menyelesaikan, malah kalau perlu menertawakan masalah.
Di sana ia tidak perlu menyalakan pendingin ruangan saat udara gerah. Ia tinggal duduk tenang sambil menyeruput teh manis maka tanpa diminta pun angin sering suka datang. Angin dari jenisnya yang segar meski tanpa pengharum ruangan. Angin dari sifatnya yang lembut hingga ia tak perlu sampai masuk angin. Dan angin dari kemurahan-Nya karena ia rela datang  meski tanpa listrik.
Tapi bersandarnya Tukijo kali ini adalah bersandar dari jenisnya yang lain lagi. Candanya kepada hidup tadi, sekarang sudah berganti dengan kerutan dahi setinggi empat tingkat. Kerutan di dahinya adalah nyata. Bingungnya nyata. Dan bahwa penyebab kerutan itu adalah Mayang, istrinya  yang sudah dua hari ini diam seperti batu ulekan sambel juga nyata.
“Perempuan memang ruwet. Suka nggak jelas apa maunya.” Batin Tukijo.
Selama tujuh tahun pernikahannya bahkan tak juga mampu menjawab soal itu. Makhluk bernama perempuan yang Tukijo kenal adalah tetap berupa makhluk yang rewel akan misteri. Kalau sepeda motor, antara yang masih anyar; cantik dibanding yang jelek, tentu berbeda kualitas mogoknya. Semakin cantik dan baru itu sepeda motor, jelas semakin kecil peluang mogoknya katimbang yang jelek. Kecuali motor produk gagal, tampilan bersinar kemampuan diragukan. Makanya ada acara recall. Tapi wanita? Oo, tak peduli cantik atau tidak ia sama saja. Sama-sama punya bakat ngambek.
“Atau jangan-jangan memang ada  jenis wanita yang meski cantik tapi sejatinya seperti motor produk gagal?” geli Tukijo dengan imajinasi ngawurnya sendiri. Lebih geli lagi saat pertanyaan imajiner selanjutnya muncul:
“Kalaulah iya, dimana aku bisa menyampaikan keluhan supaya mendapat pelayanan recall?” tawa hati Tukijo meledak. Meledak membayangkan ia menuntun istrinya ke hadapan ayah mertuanya yang galak, nyentrik, tapi flamboyan. Perpaduan yang membingungkan.
“Pak, saya mau Bapak me-recall Mayang saja. Cantik tapi bisa ngambek sih.” Perkataan gila yang pasti akan langsung disambut oleh ayah mertuanya dengan pelototan mata kemudian dilanjutkan tawa sebesar-besarnya. Mereka sama gilanya.
Kalau semakin cantik itu berarti semakin jarang ngambek, Mayang malah samasekali tak punya modal untuk ngambek begini. Mayang adalah bidadari yang kelewat cantik. Ibarat puteri, ia semestinya di istana megah dan bukan di kota panas seperti Pekanbaru. Dan puteri secantik Mayang dengan Tukijo sebagai pangerannya adalah kesalahan sejarah terbesar! Langit dan bumi!
Masih bersandar di pintu, Tukijo terus mengoreksi apa penyebab murungnya Mayang episode ini. Apa yang salah? Apa gara-gara wajahnya yang pas-pasan? Pasti bukan. Mayang jelas bukan buta kalau dari dulu Tukijo memang sudah pakai wajah yang sama. Sama tak lulusnya untuk dikatakan rupawan.
Sampai hari ini dan mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini berumur enam tahun, rumah tangga mereka memang bukan tanpa prahara. Setidaknya prahara kecil. Mereka sadar benar itu pasti hadir dalam kehidupan. Setiap datang masalah, mereka selesaikan bersama. Perpaduan antara kecerdasan sekaligus keanehan Tukijo dengan keuletan Mayang yang dibungkus kejujuran menghasilkan mereka selalu mampu menuntaskannya dengan muka cerah. Biidznillah.
Tapi ngambeknya Mayang  kali ini memang benar-benar tak biasa. Tak mampu dibaca oleh Tukijo. Ia muncul begitu saja nyaris tanpa sebab. Ibarat kedelai, ia seenaknya saja menjadi tempe.
“Aneh, dimana raginya?” Tukijo berpikir keras.
Seluruh penjuru yang mungkin menyumbangkan penyebab ngambeknya Mayang ia cermati. Seluruhnya. Mulai soal ekonomi hingga soal emosi. ia berjanji dalam hati untuk menggembosinya. Tapi sayang, hasilnya nihil.
“Tidak dapat. Benar-benar tidak dapat.” Tukijo  mematung.
Malam mulai hening. Di kamarnya, buah hati antara Tukijo dan Mayang sudah lelap bermimpi.
Sementara Tukijo jungkir balik mencari sumber persoalan, Mayang malah asyik mengeram di kamar. Tak peduli dua hari sudah ia diamkan suaminya. Dalam hati Mayang sedang berjejal sejuta rasa. Rasa entah apa namanya. Oo, rupanya sambil mengeram ia juga sambil membolak-balik album foto. Album foto teman-teman semasa kuliahnya. Tergambar lagi kenangan-kenangan manis itu. Yang asin serta. Yang pahit apalagi.
Dibuka lagi lembaran album foto di hadapannya. Sebuah foto  besar memenuhi satu halaman album terhampar. Foto yang diambil di bawah pohon ketapang halaman depan kampus sembilan tahun lalu. Berderet senyum mereka di dalamnya. Sempurna. Oo, temannya yang cantik- cantik. Oo, sahabatnya yang lucu-lucu. Oo, temannya yang ganteng-ganteng. Oo, kawannya yang imut-imut. Oo, O? Di antara foto mereka yang cakep-cakep, borju, keren ternyata ada yang ganjil.
“Satu manusia minim tampang nyelip di sana!” Mayang tergelak. Oo, Tukijo yang serampangan, salah apa aku bersuamikan manusia sepertimu.
“Tukijo, sebagai warga negara yang baik dan cinta produk dalam negeri, jika diberi kekuatan, apa yang akan kamu perbuat?” tanya Pak Warto, dosen mata kuliah Kewarganegaraan pada suatu pertemuan waktu itu. Datar. Tenang. Dengan keseriusan yang dibangun secara penuh.

"Kita ini negara minder, Pak. Lihat, untuk sekadar boneka saja yang dibilang cantik itu mesti boneka bule." ucap Tukijo. Tenang sekali. Teman-teman memuji, tepat sekali. Pak Warto mendengarkan. Serius sekali. Sambil serius, sambil pula merasa kecolongan bahwa putrinya yang sudah gadis pun gemar sekali mengoleksi boneka Barbie yang memang tongkrongan bule. Di etalase butik menantunya juga sepenuhnya boneka bule! Bah!

 "Saya akan buat inovasi baru. Boneka orang Papua! Dahsyaat!" tambah Tukijo dengan ekspresi penuh memecah keseriusan. Sontak bahkan orang paling pendiam di kelas pun ikut tergelak berjamaah. Mestinya Pak Warto ingin sekali meledakkan tawanya. Tapi, ia lebih memilih untuk senewen.

 Itulah kenapa waktu itu Mayang lebih suka menikmati gaya Tukijo komplit dengan keganjilannya katimbang pacaran sekalipun itu dengan cowok paling ganteng sekampus tapi dungu.

"Termasuk syarat untuk menjadi isteriku kelak adalah mau mencabuti bulu ketiakku. Ini hebat! Tak ada duanya!" ucap Tukijo lantang dalam kelas saat menjelang masa akhir perkuliahan dulu. Ucapan lantang, percaya diri dan mantap yang langsung disambut riuh tawa seisi ruangan. Gaya Tukijo sekali.

Ucapan yang saat itu cukup bisa dipahami maksudnya oleh Mayang. Bahwa manusia memang bukan tanpa kekurangan. Bahwa ketiak memang bisa bau. Tapi juga bisa dahsyat. Dan itu semua kini sudah Mayang buktikan sendiri. Ia kerap nyelip ke ketiak si suami saat musim manjanya kambuh.

Malam kini larut. Pohon lamtoro di halaman rumah Tukijo telah lama mengatupkan daunnya.

Di atas kasur, hati Mayang membumbung melebihi atas genteng. Haru. Bahagia. Meski itu harus segera ia tutupi demi mendengar Tukijo mengetuk pintu pelan. Tukijo memanggil. Mayang diam tengkurap. Sambil tengkurap, sambil menunggu Tukijo jera mengetuk pintu. Dan saking jemunya pada akhirnya ia memang masuk sendiri.

"Dik, Mas ketuk pintu kok diam aja sih?" tanya Tukijo seraya mendudukkan diri di samping istrinya. Mayang diam. Tukijo menahan geregetan. Bagaimanapun Tukijo sadar, Mayang pasti belum tidur. Muka terbenam ke bantal jelas bukan gaya tidur yang cerdas.

"Dik.. Kenapa sih kok dua hari ini diem melulu? Aku minta maaf. Kalau ada yang salah, bilang dong.." ucap Tukijo lagi. Datar. Lembut. Sayang. Sambil tangannya menyentuh pundak Mayang. Mayang tak bergeming.

"Kerupuk melempem!!" umpat hati Tukijo. Batinnya bertanya heran. Bagaimana mungkin wanita diciptakan sedemikian hebatnya. Cukup dengan diam pun sudah hebat!

"Enggak Mas.." Mayang akhirnya bisa bicara!

"Nggak ada yang salah kok.." ucap Mayang tenang sambil duduk di sisi Tukijo. Tukijo mengerutkan dahi. Untuk mempercayai ucapan Mayang, Tukijo tak butuh ragu. Bertahun-tahun sudah ia buktikan. Tapi sekali ini?

"Ah, masa. Lalu, kenapa kamu ngambek begitu?" selidik Tukijo semakin bingung.

"Nggak apa-apa, Mas. Kepengen aja. Udah setahun lebih kayaknya aku nggak ngambek. Kangen rasanya..." Mayang tersenyum. Manis sekali. Tukijo mengkerut. Kecut sekali.

Puih!! Jidat Tukijo kian berantakan saja. Edan! Pantas saja. Dicari sampai besok pagi pun tak bakal ketemu kalau persoalannya cuma sekadar kepingin. Tidak lebih. Cuma kepingin!
Tokek bisulaan!

"Mas nggak marah kan?" pinta Mayang manja. Dengan jurus manja begini biasanya Tukijo langsung lumer.

"Motor cantik mungkin sesekali memang butuh ngadat. Jadi, sebaiknya tak usah buru-buru di-recall." ucap Tukijo ngawur.

Mayang tersenyum. Menyandarkan diri pada Tukijo tanpa benar-benar mempedulikan ucapan ngawur suaminya tadi. Ngawurlah kamu sejadi-jadinya, suamiku. Asalkan ngawur itu bukan dari jenisnya yang membawa sial. Cukuplah wajahmu yang bertugas sebagai sial itu. Dan aku dapatkan di balik sial itu sejuta kebaikan.

Tukijo lega. Mayang nyungsep ke dekapannya. Keduanya diam. Tapi di dalam saling bertelepati. Telepati tingkat tinggi yang membahas betapa hidup yang tanpa persoalan memanglah hambar. Malah persoalan itu  terkadang bisa bertugas sebagai penyumbang nikmat pada akhirnya. Dan itulah kenapa Mayang merasa perlu memicunya.
 Keduanya masih diam. Tapi di dada dipenuhi rasa aneh yang sering mereka alami. Sebagian manis, sebagian indah, selebihnya bahagia.
***
-Puja K-
2011


Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar