Links

Rabu, 25 Februari 2015

Doa yang Susah-Susah

(Sumber gambar: google)


Malam minggu kemarin saya ngendong (pergi main, nongkrong) ke rumah yang orang-orangnya sudah seperti saudara sendiri. Biasa lah warga negara jomblo seperti saya ini memang lebih suka berkumpul dengan masyarakat begini ketimbang sibuk keluar jalan malam mingguan. Lha iya mau malam mingguan sama siapa oh..
 Di teras rumah sudah ada dua orang sebut saja Kang Maman dan Kang mamas. Kami bertiga ngobrol ngalor ngidul mengisi malam sambil menikmati teh hangat. Malam yang damai, langit berserakan bintang.

Tidak ingat saya obrolan dimulai dengan topik apa, tapi karena malam itu ada sebuah tontonan kuda lumping tak seberapa jauh dari rumah ini, maka kami kemudian membahas tentang tontonan kesenian tradisional yang ada di Jawa dahulu. O iya, kami kebetulan adalah sekumpulan keturunan Jawa. Sebagai kumpulan manusia jawa yang hari ini terdampar di Pekanbaru, mengenang tentang soal yang berbau kejawa-jawa-an terasa cukup mengasyikkan. Bermacam tontonan seperti itu tidak mudah ditemui disini.
Dua partner ngobrol saya ini termasuk pernah merasakan masa kecil dan masa muda di jawa. Sedangkan saya sendiri lumayan lah, pernah saat kecil ikut kakek dan pernah tinggal dua tahun di Cilacap saat SMP. Punya pengalaman sebagai sesama ngapakers  (Jawa Banyumasan) membuat obrolan kami menjadi semakin hangat.
Wah, ebege ora apik lah, ora kaya nang Jawa.. (Ah, kuda lumpingnya tidak sebagus di Jawa)” ucap Kang Maman membuka obrolan.
“Ya iya lah, nang kene jarang ebeg banyumasan.. (Iya lah, disini jarang kuda lumping banyumasan.) Sing banyak ya daerah wetan (timur.) Kuda lumpingnya banyak yang mengikuti aliran Ponorogo.” Timpal Kang Mamas. Saya mendengarkan dengan santai.
“Tapi lumayan rame juga loh yang nonton.” Tambah Kang Maman.
“Lah ya wong itu adanya.. priwe..” balas Kang Mamas.
“Iya ya, kalau di Jawa lah banyak tontonan ya.. Sering ada wayang, ebeg, lengger, sintrenan. Wah, kelingan dahulu kalau nonton wayang jauhe ngepooll nyikiiil. (Jauh sekali jalan kaki). ” Ucap Kang Maman.
“Haha, iya ya. Belasan kilometer jalan sikil pun dijabani. Berangkat sore, sampe di tempat tontonan jam setengah dua belas malam. Nonton dua jam, terus pulang lagi. Sampai rumah pagi. Kalau pulangnya agak lambat, dunia sudah terang kok masih di jalan. Diejek orang.. hahahah..” Kenang Kang Mamas.
“Wah, temenanan. Aku kadang pulang pagi sekalian biar ora isin. Haha..” Kang Maman menambahkan.
“Sekarang kalau disuruh ngulangi biar pun dibayar satus ewu pun nggak mau aku. Dengkule kayak mau copot kok.. Hahaha..”
“Tapi pas saya SMP di Adipala, Cilacap (jawa Tengah), kalau ada tontonan wayang ramainya bikin geleng kepala saya waktu itu lho. Lah kakek nenek bapak ibu anak-anak semuanya nonton bisa kuat sampai pagi. Ada yang berdiri, ada yang jongkok, ada yang ndeprok, ada yang membawa tikar sendiri. Edan.. Disini jam sebelas saja orang udah pada bubar, tinggal yang sepuh-sepuh yang bertahan.” Saya nimbrung diskusi mengenang pengalaman saya dahulu.
“Oh, iya mas. Kalau daerah sana itu memang kebudayaan seperti wayang masih kental, apalah namanya itu.. sakral, nah iya sakral.” Kang Mamas membenarkan. Ya, memang iya. Di sana bahkan aroma kejawen masih bisa kita temui dengan mudah.
“Tapi di sini nggak ada yang dodolan gembus ya?” Kang Maman meledek.
“Hahaaaa… orang sini kalau lihat gembus ya pasti pada gumun. Panganan apaa iki? Bunder bolong tengahe tapi bukan donat!”
Jajanan Gembus (Sumber gambar: tatitiasurati.wordpress.com)

 
Bakul Gembus
 Gembus adalah nama makanan khas yang terbuat dari bahan dasar ubi kayu, berbentuk bulat dan bolong di tengahnya mirip dengan donat dan digoreng lalu diangkat dengan minyak yang koproh-koproh alias mengandung minyak berlebihan, tapi rasanya agak kecut-kecut gimana gitu..  Gembus sering dijual saat ada tontonan rakyat khususnya wayang kulit. Di tempat saya mengembara dulu itu, jika ada wayangan pasti ada penjual gembus berderet di sepanjang jalan lengkap dengan lampu teploknya. Jika ingin tahu kapan dan dimana akan ada wayangan, tanyalah kepada penjual gembus. Uniknya penjual gembus ini sering membuka lapak justru di tempat gelap dan agak jauh dari pusat tontonan. Sungguh strategi pemasaran yang di luar mainstream. Ada yang tau mengapa demikian?
“Padahal sebenarnya nonton wayang ya bukan cuma wayangnya yang melulu ditonton. Tapi juga nonton yang nonton. Heheh..” aku Kang Maman lalu menyemburkan asap tembakaunya.
“Hehe iya.. aku dulu juga suka nantangin bandar bangjo, tapi kalah terus. Ngapa ya? Padahal wis yakin banget yang keluar ijo. Tapi kok kayak dadunya itu bisa mbalik sendiri.” Kisah Kang Mamas. Bangjo adalah nama salah satu jenis permainan judi tebak dadu yang terkadang suka ada saat digelar acara hiburan. Nama bangjo mungkin dipilih karena warnanya yang abang (merah) dan ijo (Hijau). Mungkin lho ya, wong saya juga kurang tahu bagaimana persisnya ini permainan.
“Woh, main itu ya ora bakal menang kowe.. Katanya kalau mau menang itu harus bawa bunglon (hewan bunglon).” Komentar Kang Maman.
“Bawa bunglon kepriwe? Dikantongi celana? Ya nanti manukku dicokot oh.. Haha..”
Kuwee.. Bunglone dibungkus nganggo kain mori. Sebelum dadunya dibuka, kita lihat kalau bunglonnya ijo, berarti yang keluar ijo. Kalau bunglonnya malik abang, berarti yang keluar abang.. Kan bunglon bisa molak-malik (berubah) warnane..” jelas kang Maman. Saya ngeleg idu  (menelan ludah) demi mendengar percakapan yang makin gemblung ini. Soalnya teh di cangkir saya sudah mulai kemarau.
“Alah, aku wis pernah njajal. Bunglone ya gemblung warnane pada bae..” bantah Kang Mamas.
Nah kuwee.. nganggo bunglon memang. Tapi mestine ana dongane sing angel-angel mbok.. (Nah itu, pakai bunglon. Tapi pastinya ada doanya yang susah-susah mungkin..)” Kang Maman memberi penjelasan.
“Wah, lah yo edan. Main bangjo ya harus pinter berdoa juga berarti!” Timpal saya geli.
“Hahahahahahahha!”
Kami bertiga tertawa bersama. Saya geli kalau membayangkan betapa religiusnya kawula itu terkadang. Orang-orang akar-rumput yang sering capek badan capek pikiran menjalani kehidupan yang suka bikin nyesek ini, mempunyai berbagai caranya sendiri untuk menghibur hati seperti yang,  bahkan untuk  menang bangjo yang tergolong judi kelas teri saja ada doanya. Doanya susah-susah lagi.
Saya lalu mbayangne lagi, pejabat-pejabat itu kok ada yang pinter banget bolehnya  korupsi mbiyen itu belajar doanya kepiye ya? Susah-susah apa ndak ya kira-kira? Doa aman korupsi?
“Hussshh!!!!! Tanyakan pada bunglon dalam mori.”
Sumber gambar: Google.com



Kakang Puja
Ditulis: Rabu, 25 Februari 2015

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Ah apa iya...
      Waah, selamat! Anda adalah orang yang pertama berkomentar di blog saya. Mau hadiah apa? Hahahah!
      Terimakasih sudah berkunjung.

      Hapus
  2. biasa aja kang... kita saling silaturahmi kang... wkwkwkw

    BalasHapus