Ditulis: Pekanbaru, 25 Maret 2014
Lama
sudah rasanya tidak jalan-jalan. Mata ini sudah gatal lagi kepingin dicuci
pakai pemandangan selain kota Pekanbaru. Kebeneran, teman juga mengajak,
jadilah rencana jalan-jalan dibuat. Entah sejak kapan saya jadi hobi
jalan-jalan juga tidak tahu. Biar kere begini juga tahu-tahu sudah lumayan lah.
Beberapa daerah-daerah di Riau sudah
saya kunjungi. Mumpung masih muda. Mendatangi lokasi wisata alam adalah salah
satu tujuan kesukaan saya.
![]() |
(img source: http://ombolot.wordpress.com) |
Destinasi
perjalanan kali ini adalah air terjun Batu Dinding yang terletak di Desa
Tanjung Belit, lebih jelasnya dekat Desa Gema, Kec. Kampar Kiri, Kab. Kampar.
Lokasi air terjun ini berjarak 75 km
atau sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru.
Rabu,
19 Maret 2014, kami berkumpul di Panam pada pukul tujuh pagi. Sebenarnya pukul
tujuh itu dalam perjanjian terdahulu adalah waktu untuk start perjalanan. Namun
karena untuk menghormati kebudayaan bangsa (budaya ngaret), akhirnya kami
serombongan terdiri dari 5 unit sepeda motor, 5 joki dan 5 penumpang (serta
ratusan ekor ikan teri sambal), berangkat pada pukul 07.30 WIB. Dari
Panam kami memacu sepeda motor ke arah Kubang, untuk kemudian terjun ke jalan
lintas Sumatera yang diawali dengan daerah Teratak Buluh alias Perhentian Raja.
Dari daerah ini mengingat kanan kiri kebanyakan adalah areal dataran rendah dan
rawa beserta kalinya, maka kita akan disambut dengan banyak jembatan-jembatan
sepanjang jalan. Melewati jembatan-jembatan ini harus sedikit hati-hati karena
aspal jalan pada saat akan memasuki jembatan biasanya memiliki permukaan yang
agak njrenggul alias tidak rata. Kalau
dibantai dengan kecepatan tinggi, penumpang di jok belakang bisa terlompat lumayan
keras seperti kursi lontar pada pesawat tempur. Berdoa saja semoga boncenger Anda bukanlah spesies manusia
latah dan kagetan karena jika iya, punggung Anda bisa jadi landasan cubit yang
sempurna sebagai pelampiasannya.
Di
atas Jupiter hitam saya terus melaju. Jalanan cukup aman terkendali karena
entah mengapa pagi-pagi begini truk-truk super obesitas belum begitu ramai
melintas. Udara pagi yang masih lumayan dingin cukup membikin badan saya
sesekali menggigil.
Kami
terus melaju. Daerah Sungai Pagar sudah terlewati, Simalinyang terlewati, dan
akan terus kami lewati apa yang harus kami lewati. Pemandangan sekitar ya
seperti biasa, rawa, rumah-rumah penduduk, jembatan, kebun kelapa sawit, kebun
karet, kebun sawit lagi.Itu itu melulu. Ogah saya lama-lama melihatnya. Kalau
mata saya ini pengennya ya kiri kanan
itu berubah jadi sawah lengkap dengan pematangnya yang indah mirip di
lukisan-lukisan itu. Tapi kok belum sempat saya menggelar imajinasi tadi
tiba-tiba hidung saya sudah disogrok bau limbah pabrik kelapa sawit. Bubar!
Pendek
kata, akhirnya kami sampai di Lipat Kain.Di sini kami mampir mengisi bahan
bakar di SPBU. Perjalanan dilanjutkan. Di ujung kota Lipat Kain, terdapat
pertigaan dan kami mengambil arah kanan, keluar dari jalan lintas.
Kondisi
jalan lumayan bagus dan mulus, setidaknya lebih mulus ketimbang jalan lintas
tadi. Sepanjang jalan ini, kita akan melewati banyak tikungan cukup tajam. Bagi
yang hobi ngebut sambil miring kiri-kanan, saya jamin akan menyukai jalan ini.
Dari sini mata kita juga akan disuguhi pemandangan sekitar yang lumayan segar.
Daerah ini terbilang masih asri.Hampir seluruh permukaan tanah dekat jalan
ditumbuhi rumput hijau yang rapi dan indah.Rumput-rumput itu seperti rutin
dipangkas saking rapinya.
Ini adalah jenis
jalan yang paling saya sukai.Hijau di mana-mana. Mirip saat saya jalan-jalan di
daerah Taluk Kuantan dulu. Tapi hati-hati. Agak ke depan lagi hijau-hijau tadi
bukan sekadar di tepian jalan saja. Kotoran kerbau, dengan macam-macam jenis
tekstur dan kehangatannya, sudah menghampar di sepanjang jalan siap menyambut
siapa saja lengkap dengan aroma ‘harumnya’ yang lumayan mengagetkan indera
penciuman.
Ya, limbah hijau ini sejatinya tak kelewat
bahaya, karena belum ada sejarahnya ban bocor karena melindasnya. Kerbau-kerbau
itu toh doyannya makan rumput, bukan jarum jahit atau beling seperti yang
disuka kuda lumping. Kerbau ini masih normal dan sepertinya belum ada keinginan
untuk menjadi kerbau lumping.Jadi, benda yang terkadang sekilas mirip bolu
kukus raksasa itu sejatinya tak terlalu horror lah bagi para pengendara. Walau agak
aneh juga sensasinya kalau sampai terlindas ban motor. Anget-anget gimanaa
gitu. Haha!
Sambil
asyik menghindari ranjau kerbau di sepanjang jalan, tak terasa kami sudah
memasuki wilayah Desa Kuntu.Cukup ramai penduduk di daerah sini. Dengan jalan
yang sedikit naik turun dan masih banyak tikungan tajam, tak lama kemudian kami
sampai di Desa Gema. Ini desa yang asri menurut saya. Dengan latar belakang
pemandangan perbukitan dan hijau pepohonan, desa ini terasa adem di mata.
Dari
desa Gema kami ambil jalan sebelah kiri sebelum sungai. Tidak tahu saya itu
jalan apa. Yang saya tahu, begitu memasuki jalan ini, kita akan merasa seperti
menelusuri jalan untuk naik gunung. Ada beberapa tanjakan curam yang harus dilalui
sementara kondisi aspal jalan terbilang kurang bagus.Ia adalah jalan jenis
aspal kasar dan terdapat beberapa ruas jalan yang sudah mulai hancur dengan
kerikil-kerikil yang lepas. Sebaiknya sedikit berhati-hati saat melalui jalan
ini. Sepeda motor salah satu anggota rombongan mengalami kerusakan di awal-awal
tanjakan ini. Gear alias gigi tariknya aus.Gejalanya ya sudah seperti kita
tahu, mengeluarkan bunyi yang cukup khas saat mendaki. Krotok
krotok krotokk!
![]() |
Saantai mas.. udah deket kok.. |
Sedikit
panik juga saya. Bengkel disini lumayan jauh.Untunglah si joki sudah
mewanti-wanti dengan membawa kunci pas. Bukan cuma itu, rupanya dia juga
membawa gear cadangan! Dari sini saya mulai dikenalkan dengan keramahan
penduduk desa yang kami tuju. Beberapa warga yang melintas berhenti sebentar untuk menanyakan apa yang
terjadi. Walau jalanan relatif sepi, tapi setiap ada yang lewat mereka selalu
peduli.
![]() |
Awas bawaannya ketinggalan, bang.. |
Setelah selesai memperbaiki sepeda motor, kami melanjutkan perjalanan. Masih
di jalan yang sama, kita akan disambut dengan pepohonan hutan yang masih rimbun
dan hijau. Ada beberapa pohon beringin raksasa di tepi jalan.Sulurnya menjuntai
bermeter-meter ke bawah dengan indah.Agak angker juga mengetahui ada pohon
beringin tumbuh dengan besar dan setinggi itu. Namun pohon inilah yang pertama
kali membuat saya berdecak kagum. Keren!
Selepas
jalan yang mendaki tadi, kita akan menjumpai sebuah jembatan ukuran sedang
dengan sungai jernih di bawahnya. Di dekat jembatan ini juga terdapat papan
selamat datang yang memberi tahu kepada pemirsa sekalian bahwa ini adalah desa
wisata. Desa Tanjung Belit. Memandang hijau dan keasriannya, saya setuju saja
untuk mengamininya.Mengingat wilayah Provinsi Riau yang terbilang minim lokasi
wisata alam, tentu saja desa ini lebih mirip sebuah oase yang tersisa di antara
jutaan hektar lahan eksploitasi.
Perjalanan
terus berlanjut. Kami melewati jalanan desa yang cukup tenang.Di beberapa
persimpangan, kami agak ragu-ragu mengambil arah jalan. Maklum, tidak ada
anggota rombongan yang pernah ke tempat ini sebelumnya.Ada memang anggota yang
berasal dari daerah sekitar ini. Tapi ya namanya belum pernah kesini, tetap
saja ragu. Akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada warga sekitar.
Dari
hasil bertanya tadi, didapat informasi bahwa lokasi yang kami tuju sudah tidak
jauh lagi. Dan benar saja, beberapa jenak kemudian kami menemukan sebuah papan
nama yang kurang jelas bertuliskan lokasi parkir air terjun batu dinding.
Lokasi parkir yang saya maksud berupa
pekarangan rumah yang ditanami beberapa batang pohon sawit lalu diberi pagar
kayu. Di bawah pohon sawit itulah kami menitipkan sepeda motor.Pengunjung bisa
menitipkan barang-barang yang kurang perlu dan merepotkan di rumah pemilik
pekarangan itu.
Dari
sini kata penyedia jasa parkir tadi, untuk menuju lokasi air terjun harus
ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30 menit karena tidak memungkinkan lagi
untuk dilalui dengan kendaraan bermotor.Menurut sumber yang saya dapat dari
sebuah artikel di internet, untuk sampai ke lokasi air terjun batu dinding bisa
ditempuh dengan jalur darat maupun jalur air dengan menggunakan pompong, perahu
kecil bermesin. Tapi entah di mana kalau menggunakan jalur air itu. Mungkin
dari Desa Gema tadi.Kami berlanjut dengan jalan kaki.
Dari
lokasi parkir tadi kami terus berjalan dan mulai mendaki bukit. Di tanjakan
ini, terdapat persimpangan jalan.Bagi yang tidak tahu, persimpangan jalan
memang selalu membingungkan dan membikin ragu. Kami memutuskan untuk mengambil
jalan yang kanan.Kami terus berjalan dengan ragu-ragu. Kiri kanan jalan adalah
hutan yang diantaranya juga ditanami pohon karet warga.Jadi tidak melulu pohon
karet, tapi juga tidak sepenuhnya tumbuhan hutan. Jalan yang mendaki sudah
mulai memberatkan kaki. Agak jauh dari persimpangan kami bertemu seorang ibu
muda dan anaknya.Kepadanya lah kami menanyakan keraguan hati.Keraguan hati itu
terjawab. Walau tidak setiap jawaban adalah hal yang menggembirakan. Kami salah
jalan!
Kami
memutar balik kembali ke simpang kegalauan tadi dengan tulang belulang serasa
dilolosi dari badan. Bawaan yang kami tenteng serasa tambah bikin sebel
saja.Mestinya tadi ambil jalan yang kiri, bukan yang kanan. Ada yang menggerutu,
ada yang mulai cengep-cengep, ada
juga yang tertawa.
Kami
sudah kembali ke jalan yang benar (elah, mirip bahasa kitab suci saja). Dan
ternyata, jalan yang benar pun tak selalu mulus. Jalan ini pendakiannya malah
lebih dahsyat lagi, setidaknya untuk ukuran kami yang terhitung minim olahraga,
jalan ini lumayan bikin ngos-ngosan. Mendaki dan menurun terus kami jalani
dengan semangat terbarukan. Di beberapa bagian jalan kita bisa melihat sungai
bernama Subayang, jauh di bawah bukit dengan airnya yang jernih dan perahu
kecil mengapung di atasnya. Di seberangnya bukit hijau. Indah sekali.
Sekira
lima belas menit perjalanan, kami menjumpai sebuah pondok kecil dengan dua
ibu-ibu sedang beristirahat di bawahnya. Mungkin disini mereka berkebun atau
pun menoreh getah karet.Entahlah.Kami sudah mulai kelelahan.
“Masih
jauh lagi ke air terjun, bu?” Tanya saya.
“Masih
lagi..” jawabnya ramah.
“Wah,
ini sih bukan setengah jam..” celetuk salah seorang kami.
Kaki
terus kami ayunkan.Di bagian ini jalannya agak becek dan berair. Kami berjalan
dengan berjinjit dan sesekali melompat menghindari air. Di depansana jalan yang
mendaki sudah nampak kembali menanti. Untung saja tidak seberapa
panjang.Selanjutnya kita akan menemukan pondok papan yang agak lapang yang
memang dibuat untuk para pengunjung beristirahat sejenak. Sebentar kami
berhenti disini. Kalau lebih lama lagi, bisa-bisa ada yang nekat membongkar
bekal makanan dan menyantapnya dengan garang karena kami sudah mulai lapar. Kalau
itu sampai terjadi ya alamat sudah tujuan tak tercapai karena kekenyangan
sebelum saatnya.
Tak
jauh dari pondok tadi, kita akan menemukan sungai dangkal dengan bebatuan yang
lumayan besar-besar. Disini lah terpasang papan selamat datang air terjun batu
dinding. Estimasi kami, air terjun itu pastilah sudah dekat. Tapi gemuruh
airnya kok belum kedengaran?
![]() |
Entrance Notes |
Oh,
pendakian belum berakhir. Kami melangkah lagi. Di muka terdapat tanjakan yang
cukup tinggi dengan jalan setapak di antara pepohonan hutan dan semak belukar. Banyak
permukaan jalan setapak yang licin dan berbatu. Saya mendaki paling depan.
Menurut saya, di antara sekian tanjakan yang
sudah kami daki, bagian inilah yang paling terasa jauh dan sangat
melelahkan. Apalagi saya kebagian menenteng sekardus nasi sebagai bekal makan
siang nanti.Itu saja diangkat berdua dengan sebatang kayu sebagai pegangan
tandunya.
Beberapa kali kami
harus berhenti untuk istirahat karena saya cukup tahu diri. Rekan angkut saya
itu badannya agak tambun, pasti beban kakinya lebih berat ketimbang saya yang
berbadan gempal. (Alasan.. Saya juga capek loh. Ini kaki rasanya mau copot!)
Tak
cuma kami berdua. Jauh di bawah sana semua anggota juga mukanya nampak merah
mirip kepiting rebus. Bagi yang memiliki porsi bokong agak berlebih, jangan
berharap akan ada yang membopong. Mengangkat kaki masing-masing untuk satu
langkah saja rasanya berat minta ampun. Bawa bokong Anda sendiri!
Makin
ke atas, kami berdua yang menggotong nasi ini makin sering berhenti. Rasanya
kok tidak habis-habis tanjakannya. Kalau seandainya nasi ini tidak penting,
pastilah sudah buru-buru kami lempar ke jurang sana. Sampai bertemu
persimpangan dan bingung mana jalan yang benar, akhirnya kami berdua berhenti
dan menunggu semua anggota sampai. Setelah semuanya sampai dengan ngos-ngosan
dan keringat berleleran, ternyata kami kembali mengalami kegalauan
berjamaah.Ini mana jalan yang benar? Kiri
atau kanan? Jalan kiri menuruni tepian jurang curam. Jalan yang kanan menaiki
tanjakan yang lebih parah lagi. Kata hati saya mengatakan jalan menuju kebenaran,
eh air terjun, itu ya yang kiri. Entah kenapa hati saya berkata begitu, mungkin
karena sudah mulai depresi melihat tanjakan melulu.
Karena
melihat jalan kiri tepian jurang tadi berpalang kayu, maka rombongan mengambil
jalan yang kanan. Artinya, menanjak lagi Malah lebih berat lagi. Beberapa
anggota rombongan ada yang terpeleset kecil. Kaki saya sudah mulai bergetar. Rekan
angkut saya sudah berbeda orang. Jadi sekarang saya yang lebih sering meminta
istirahat hingga dari yang awalnya berjalan paling depan, kini malah menjadi
yang paling belakang.
Pendakian
terus berlanjut.Tapi, setelah berpuluh meter kami mendaki, tak juga nampak
titik terang.Jalan setapak yang kami ikuti lama kelamaan malah semakin tak
jelas arahnya.Seperti sangat jarang dilalui dan penuh dengan semak belukar.Sampai
akhirnya, kami berhenti. Kebuntuan menyelimuti. Kami seperti kumpulan domba kelenger yang tersesat.
Agak
lama kami berdiri dalam kebimbangan. Lanjut atau kembali? Wah, mungkin bener
apa kata hati saya tadi. Kami masih berdiri sambil mengumpulkan tenaga. Keputusan
belum dibuat.
“Eh,
pacet. Ada pacet!” seru seorang anggota rombongan memecah kebuntuan.
Segera
kami memeriksa sekeliling. Benar saja. Saya melihat beberapa hewan tak
bertulang itu sedang berjungkat-jungkit mencari mangsa.Awalnya biasa saja. lama-lama
kok agak horror juga. Dalam keadaan cemas, hewan yang bahkan cuma mirip ulat
kecil itu di mata kami terlihat sebagai binatang buas.
Kami
memutuskan untuk kembali dan menyingkir dari kesesatan ini. Tak seberapa jauh
berjalan, kami menemukan kemungkinan
jalan yang benar. Tapi kami tak langsung menyusurinya karena tak enak
rasanya kalau harus tersesat lagi.Kami kembali dimakan keraguan. Tapi ternyata
tak hanya itu. Rupanya ada seorang cewek dari rombongan yang kakinya dimakan pacet!
Ribut lah semuanya. Saya pun segera memeriksa kedua kaki. Walah..tau tau ada
tiga ekor pacet yang sudah nemplok di kaus kaki!
Ini
kali pertama saya digigit pacet. Tiga ekor pacet itu saya cabuti pakai tangan. Agak
sulit dicabut. Gigitannya cukup kuat walaupun terhalang kaus kaki.Saya periksa
lebih cermat lagi.Wah, ada lagi di betis bawah lutut. Yang ini sudah lumayan
gede. Dengan geli-geli sedap saya cabut. Ceprot! Saya pemecah rekor dengan
penerima gigitan pacet terbanyak dalam rombongan.
Tidak
sakit memang terkena gigitan lintah darat ini, karena sambil menggigit ia juga
sambil mengeluarkan zat anestetik untuk membius. Ia juga mengeluarkan zat anti
beku darah untuk memperlancar aktifitas penambangannya. Makanya, jika dicabut
dengan paksa seperti yang saya lakukan, pasti darah akan dleweran mengalir dan
cukup lama berhentinya. Sebenarnya kalau ditetesi air tembakau ataupun minyak
angin, dengan sendirinya pacet akan melepaskan gigitannya dan ngacir. Tapi
karena ini adalah perdana saya digigit pacet, grogi barangkali, ya sudah buruan
saya tarik saja. (Sampai tulisan ini dibuat, gigitan pacet di betis masih
terlihat hitam dan terkadang terasa gatal. Awet rupanya cindera mata dari hewan
yang tewas saya pites ini.)
Setelah
sekali lagi tersesat di hutan ini, akhirnya ketemu juga jalan itu.Benar saja,
jalan yang melalui lereng jurang tadi lah yang benar. Setelah menuruni lereng
ini, kita akan kembali berjumpa dengan sungai kecil bebatuan lagi. Besar
kemungkinan ini adalah sungai yang samadengan yang dijumpai pada entrance notes di depan tadi. Setelah
sungai ini, kita harus sekali lagi mendaki bukit terjal.Di balik bukit inilah
lokasi air terjun berada. Pada turunan terakhir ini, terbilang sangat curam dan
licin.Kita tidak bisa melangkah tanpa berpegangan pada pohon dan akar-akar yang
ada. Saling tolong-menolonglah disini. Terutama kalau ada anggota cewek dalam
rombongan.
Udara
sejuk dan gemuruh air sudah menyambut. Terbayar juga rasanya. Walau, air terjun
ini tak terlalu tinggi sebenarnya. Namun,ada perasaan yang sulit untuk
dikatakan. Karena setelah melalui perjalanan panjang dan terjal serta
berdarah-darah (akibat ulah terror pacet), akhirnya kami bersepuluh sampai
juga.
Kami
mulai berjalan dari tempat parkir tadi pukul 10.10 dan tiba disini pukul 11.35.
Artinya satu jam lebih kami berjalan termasuk karena tersesat. Jika tidak pakai
kesasar, mungkin tidak akan sampai satu jam kita sudah tiba. Medan yang harus
dilalui lumayan berat, namun cukup mengesankan.Kalau seandainya perjalanan cuma
dekat dan mudah saja, mungkin malah kurang menarik. Pemandangan hutan belantara
dengan jurang dan sungai di bawahnya selama perjalanan, sayang rasanya kalau
harus dilewatkan, apalagi bagi yang mencintai petualangan.
Sampai disini,
sudah ada tiga orang pengunjung lain yang sama-sama dari Pekanbaru. Segera saya
letakkan tas yang memberatkan punggung, melepas sepatu dan segera cuci tangan
serta muka. Kenalan dulu lah. Dingin sekali rasanya air disini. Badan masih
sangat panas dan berleleran keringat, kalau langsung nyemplung takut jadi
kaget.Kami beristirahat sambil main air. Saya membersihkan darah gigitan pacet
yang masih deras mengalir di kaki. Beberapa anggota pergi ke sungai bagian
bawah dan bersembunyi di balik batu-batu besar. Entah buang air atau sekadar
memeriksa kalau-kalau pacet di perjalanan tadi ada yang merambat sampai ke area
terlarang. Kan gawat juga. Hehe.
![]() |
Penulis baru sampai. Keringetan broh.. |
Walau gembira
karena sudah sampai di tempat tujuan, tapi perut yang sudah dari tadi terasa
lapar belum bisa dilupakan.Ini saatnya membongkar perbekalan yang dari tadi
kami tenteng dengan setengah modar.
Amboi..seluruh anggota makan dengan penuh
semangat. Selesai makan, kita sholat.Setelah itu barulah masing-masing
menceburkan diri ke kolam air terjun.
![]() |
Makan dulu sob.. |
![]() |
Yang akurr.. jangan rebutan ya.. |
![]() |
Awas kecantol mas.. |
Brrrrr… dingin
sekali airnya. Matahari yang berpijar di atas sana sama sekali tak terasa
panasnya. Beberapa kali saya harus naik dan berjemur di atas batu karena
menggigil mirip kucing kecemplung air. Oh ya, jangan sembarang melompat disini.
Banyak batu lumayan besar dan tajam di dasar sungai. Kita boleh keras kepala,
tapi setelah saya pegang dan perhatikan, sepertinya batu disini juga tak kalah
keras. Kalau tidak hati-hati, bisa bocor kepala kita.
Kalau mau
duduk-duduk di bebatuan sekitar air terjun, kita juga harus tetap hati-hati. Disini
juga masih ada pacet yang haus darah. Ada dua orang pengunjung lain yang saya
lihat bermain-main dengan hewan ini. Katanya kena waktu duduk di bebatuan dekat
pohon. Kalau mau sedikit aman, jauhi bebatuan dan pepohonan yang dekat dengan
tanah dan semak belukar. Pacet memang biasa hidup di hutan hujan tropis yang
lembab. Kita harus sering memperhatikan sekitar karena kita tidak akan terasa
saat dirambati hewan ini. Atau, duduklah di batu yang dikelilingi air di
sungai. Pacet tidak suka air. Tapi kalau tetep tidak mau ketemu pacet, ya tidak
usah ke hutan. :D
Puas rasanya pesta
air.Semuanya sudah kedinginan.Jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 14.20.
Kami segera kemas-kemas dan membersihkan sampah. Oh ya, sepertinya masalah
sampah masih kurang diperhatikan disini. Terdapat beberapa tong sampah memang
disini, namun tetap saja terdapat sampah yang berserakan. Sampah yang menumpuk
di tong sampah juga terlihat menggunung dan sudah lama tidak diproses lagi.
Bahkan di sepanjang perjalanan saya perhatikan terdapat sampah yang dibuang
sembarangan oleh pengunjung. Sayang sekali. Tempat ini masih alami, janganlah
kita kotori. Ini saja belum terlalu banyak yang mengunjungi, bagaimana nanti
kalau sudah sangat ramai?
Kami pulang. Kembali
mendaki beberapa bukit terjal. Namun, perjalanan pulang ini lebih mudah karena
tanjakan panjang lebih banyak kita jumpai saatberangkat tadi. Jadi, sekarang
adalah kebalikannya, lebih banyak jalur yang menurun dan terbilang tak seberapa
menguras tenaga. Kami berjalan santai sambil bercengkerama dan sampai di tempat
parkir dengan selamat.
Keluar dari Desa
Tanjung Belit, kami singgah ke tepian sungai (Mungkin masih sungai Subayang) di
Desa Gema untuk sejenak.
Sampai disini pukul 15.20. Perut rasanya kok mulai lapar lagi. Kami buka kembali perbekalan yang tersisa dan makan di tepian sungai ini.
Batu-batu kecil yang luas menghampar di sepanjang tepian sungai itu kok saya lihat mirip di pantai saja. Hehe, ngayal.
Sampai disini pukul 15.20. Perut rasanya kok mulai lapar lagi. Kami buka kembali perbekalan yang tersisa dan makan di tepian sungai ini.
![]() |
Jangan malu-malu ah.. |
Batu-batu kecil yang luas menghampar di sepanjang tepian sungai itu kok saya lihat mirip di pantai saja. Hehe, ngayal.
Pukul 16.00 kami
pulang menuju Pekanbaru. Dalam perjalanan saya berdoa, semoga sisa keindahan
ini tak segera punah dimakan perubahan jaman. Sampai jumpa, Desa Gema. Sampai
jumpa, Desa Tanjung Belit.
Ditulis: Pekanbaru, 25 Maret 2014
Ditulis: Pekanbaru, 25 Maret 2014
![]() |
Sampai jumpa lagi.. Wassalam. |