Links

Selasa, 17 Februari 2015

Memancing di Sungai Kampar, sungai Pagar




Ditulis: 01 April 2014
            Hah, belum habis nampaknya cerita soal jalan-jalan. Memang. Jalan-jalan, berpetualang kemana-kemana bareng teman-teman, apa sih yang tidak asyik?  Selagi sempat, kenapa tidak?
            Oke deh. Ini berawal saat saya sedang selesai shalat dzuhur dan keluar dari mushola di Pustaka Wilayah Soeman HS, pekanbaru. Tiba-tiba saya ditelpon oleh kakak sahabat saya.
            “Lek, dimana?”Tanya dia. (Panggilan lelek atau pak lek disematkan kepada saya lebih karena saya yang keturunan orang Jawa, semenjak semester pertama kuliah.)
            “Di puswil, kak. Ada apa?” jawabku.
            “Mancing yuk ke Sungai Pagar. Tapi, ke Lipat Kain dulu, kita nginap di rumah, baru besoknya kita mancing.”
            “Kapan?”
            “Nanti jam tigaan kita berangkat.”
            “Oke. Nanti aku kesana.”
            Begitulah kira-kira percakapan kami. Pukul empat kami bertolak dari Pekanbaru menuju Lipat Kain. Sampai di sana pukul lima lebih. Kami beristirahat sambil bercengkerama dengan orang tua teman kami ini. Sekira pukul setengah enam sore, kami pergi menuju ke bendungan Lipat Kain.
            Bendungan ini bernama Bendungan Sungai Paku. Berlokasi sekitar 6 KM dari kota kecamatan Kampar Kiri yaitu Lipat Kain. Dengan waktu tempuh sekira 1,5 jam dari kota Pekanbaru. Jalan masuk menuju ke bendungan ini berada tepat sebelum jembatan terakhir sebelum Lipat Kain dari arah Pekanbaru.
 Bendungan Lipat Kain
            Bendungan ini dahulunya dibuat untuk mengairi persawahan bagi masyarakat setempat. Namun kini sudah berubah hanya untuk mengairi kolam dan tempat rekreasi. Cukup luas areal bendungan ini. Jauh di tengah sana kita bisa melihat sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan hijau. Hampir setiap sore di sini selalu ada pengunjung yang datang. Ya, lumayan indah juga pemandangan di bendungan ini.

            Ini adalah kali kedua saya datang ke bendungan yang katanya banyak buayanya ini. Waktu pertama kali saya datang dulu, terdapat air terjun yang mengalir di pintu airnya. Namun kali ini air terjun itu tidak ada karena termasuk sedang musim kemarau. Setelah berkeliling sebentar, kami pulang karena hari sudah gelap.
            Sehabis shalat maghrib, kami diajak makan bersama-sama. Menunya bermacam-macam ikan sungai. Entahlah, saya tidak hafal nama-nama ikan itu. Yang penting bisa dimakan. Semuanya makan dengan lahap.
            Keesokan harinya, saat adzan subuh berkumandang kami bangun. Dingin udara disini. Listrik yang padam sedari tadi malam belum juga menyala lagi. Saya berjingkat ke sumur sambil memeluk lengan. Brrr..
            Dunia sudah mulai terang. Saya dan seorang teman jalan pagi ke jalan lintas. Niatnya mau sambil beli sandal jepit karena sandal yang saya pakai putus tadi malam waktu pulang isya dari masjid. Tapi karena kepagian, warung-warung dan toko belum ada yang buka. Kami berdua pulang lagi.
            Selama perjalanan pulang, terdengar Guntur berulangkali menggelegar di langit. Sepertinya hari mau hujan. Oh, terbayang dinginnya seperti apa pagi-pagi begini kalau kehujanan. Kami sedikit mempercepat langkah.Sementara gerimis mulai turun.Akhirnya sampai rumah juga. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi. Kami duduk dalam rumah sambil menikmati teh hangat bersama-sama. Sedaap.
            Udara di kampung ini terasa dingin khas pedesaan yang lebih banyak pepohonan ketimbang kota. Ditambah hujan pagi ini, udara jadi tambah dingin saja.Saya dari awal sudah ragu-ragu untuk mandi pagi. Tapi karena teman-teman akhirnya mandi semua, saya jadi mandi juga. Nggak enak jadi minoritas, bahkan dalam soal mandi sekalipun.
            Selanjutnya kami sarapan bersama. Pakai sayur bayam dan lauknya aneka ikan yang dimasak berbeda-beda (lagi). Wah, ini pemandangan yang indah sekali. Saya suka ikan. Aneka olahan ikan saya suka. Sambil makan, saya bercerita kepada teman bahwa di tempat KKN saya dulu, Pelalawan, ada sebuah masakan yang khas daerah sana. Bahan masakannya adalah ikan sungai. Ikan ini diolah dengan cara yang ekstrim menurut saya karena memang baru kali itu saya temui. Ikan yang biasanya diolah begitu adalah ikan baung. Tapi juga tidak menutup kemungkinan pada ikan jenis lainnya.
Kalau ikan yang setelah dibersihkan dan dibumbui biasanya langsung dimasak dan disantap, tidak dengan yang satu ini. Setelah dibumbui dan diolah dengan cara yang saya lupa mengingatnya secara rinci, ikan ini lalu disimpan dalam sebuah wadah dan ditutup rapat. Ikan ini baru akan dibuka dan dimasak lagi untuk dinikmati setelah berminggu bahkan berbulan kemudian. Kata teman saya yang pemuda warga desa itu,  malah  sampai tiga bulan lamanya.
Aneh juga pertama kali saya dengar pemuda ini mengajak ke rumahnya untuk makan ikan busuk. Makan ikan busuk? Ya, ikan busuk, begitu dia menyebutnya supaya gampang menjelaskan maksudnya kepada saya. Benar saja, pertama kali saya dihadapkan hidangan dengan lauk ini, saya hampir tak  tega untuk menyantapnya. Mencium baunya saja, bulu kuduk saya sudah merinding. Tapi orang ini menyantapnya dengan lahap sekali. Kata dia, kalau belum makan ini masakan, berarti sama saja belum pernah ke desa ini.  Inilah masakan paling enak yang pernah ada, katanya. Kagum juga saya dengan kebanggaan pemuda ini akan kampung halamannya.
Akhirnya saya berhasil dibuat penasaran. Satu dua kali cicip masih janggal rasanya. Lama-lama ya doyan juga. Nambah malah. Setelah makan, tangan saya masih bau khas masakan ini sampai seharian. Haha!
Selama bercerita pengalaman saya waktu di Pelalawan itu, rupanya didengar oleh kakak teman saya yang punya rumah ini. Katanya disini juga ada masakan dari ikan yang dibusukkan berbulan-bulan. Saya terkejut. Lho iya? Setelah diceritakan dengan jelas cara pembuatannya, saya jadi penasaran juga. Malah sampai dibukakan toples tempat penyimpanannya segala. Langsung deh baunya menyeruak ruangan ini. Untung saya sudah selesai makan. Namun rupanya berbeda dengan yang saya makan dulu, ikan busuk versi ini warnanya sampai hitam. Aromanya juga lebih mengerikan yang ini. Mungkin bumbunya juga berbeda. Karena ada salah satu teman saya yang kelihatan penasaran, akhirnya ibu teman saya menggorengnya beberapa waktu kemudian. Saya langsung menyingkir dari TKP. Takut hidung saya rusak. Hehe, mantap toh kuliner negeri kita?
Acara sarapan sudah lama selesai. Tapi hujan dari langit sana sepertinya belum mau berhenti. Padahal sudah pukul setengah sembilan. Kami mengobrol sambil menyiapkan keperluan untuk memancing nanti. Teh dalam gelas saya tuang lagi. Hangat lagi. Hujannya belum berhenti lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Hujannya masih betah! Weh, jadi kapan ini perginya? Kami galau. Alat memancing sudah siap. Perut sudah kekenyangan akibat sedari tadi terus menenggak teh. Mau internetan di hape, hujannya serem, takut disambar petir. Melihat ayah teman memintal jaring ikan, bosan malah jadi pusing. Kami tak mengerti harus berbuat apa lagi. Untuk mengatasi kebuntuan ini, kami memutuskan untuk ngorok kembali.
Pukul sebelas. Hujan sudah mulai berhenti. Tapi masih sedikit gerimis. Kami bangkit dari mengorok dan keluar rumah mengecek situasi. Nongkrong-nongkrong di muka rumah. Ngobrol ngalor-ngidul tak jelas. Kakak menyiapkan bekal di dapur.
Pukul setengah dua belas akhirnya kami berangkat. Dalam perjalanan masih berjumpa dengan sisa-sisa gerimis. Nggak bisa ngebut. Tak sampai satu jam kami tiba di daerah Sungai Pagar. Tujuan kami memancing ada di dalam daerah ini, namanya Rantau Berkasih. Sekira lima belas menit dari jalan besar. Jika kita dari arah Pekanbaru, kita akan menjumpai traffic light dengan hanya lampu kuning yang menyala. Ambil simpang ke kiri. Masuk ke dalam kita akan bertemu simpang tiga, silakan masuk ke kanan. Jalan masih aspal beberapa kilometer ke depan sampai menjumpai anak sungai. Disini akan kita jumpai warung-warung kecil yang menjual minuman dan makanan bagi pengunjung.
Sudah ramai orang memancing disini. Kami berhenti sebentar di jembatan berukuran sedang. Selanjutnya kami berkendara lagi menuju rumah pondok milik saudara teman kami. Tak berapa lama melewati jalan tanah, akhirnya kami sampai juga pada sebuah pondok yang cukup besar menurut saya untuk ukuran sebuah pondok.
Pondok (abaikan makhluk berkacamata)
Pondok ini ditinggali oleh Mak Dang-nya teman saya beserta seorang anak lelakinya. Pondok ini berada tak begitu jauh dari sungai Kampar tempat kami akan memancing. Sekitar lokasi ini merupakan hutan yang sudah tidak murni lagi, banyak pohon yang sudah ditebang.Sekeliling pondok ditanami beberapa batang pohon karet.
Kami meletakkan bawaan dan tas di pondok Mak Dang. Bersiap untuk segera memancing. Oon-nya kami, katanya mau memancing tapi tidak membawa umpan sama sekali. Kami tak bawa umpan karena katanya disini juga mudah cari cacing buat umpan. Jadi berdasarkan pembelaan kami, kami ini tak sepenuhnya salah, ada asbabul nuzulnya.
 Nyatanya, kami sudah berputar-putar melakukan eskavasi (Kayak arkeolog aja) bahkan di sekitar kandang kambing juga susah sekali menjumpai cacing. Rata-rata sepuluh kali cangkulan hanya ketemu satu ekor cacing. Di kampung saya, bebek terpeleset saja bisa nemu cacing! Well, dengan waktu yang lumayan tak sebentar akhirnya terkumpul juga satu per satu cacing ini. Setelah dirasa cukup, kami langsung pergi ke sungai.
Sampai di sungai, sudah ada dua mobil pick up parkir di sekitar sana. Ada beberapa orang yang sudah memancing di sungai. Kami mencari lokasi yang cocok. Disini saya cuma menonton saja. muka air cukup jauh dari tempat kami berdiri. Lha saya bawanya pancing manual tanpa pengerek. (nggak niat banget mau mancing).
Beberapa kali teman melemparkan kailnya ke sungai. Teman yang lain malah menggerutu karena tersangkut kailnya. Menunggu sekian lama tapi tak ada respon dari ikan di bawah sana. Saya yang cuma menonton mulai merasa bosan. Lha nggak dapat dapat juga. Yang pegang pancing saja sudah mblenger, apalagi yang cuma nonton. Saya melangkah mencari sesuatu yang bisa saya bikin sebagai pelampiasan. Noh, ketemu. Ada gundukan pasir raksasa. Saya memanjatnya seperti bocah edan.
Gunungan pasir tambang
Sejenak kemudian kami berpindah lokasi tak jauh dari tempat tadi. Disini umpan seorang kawan disambar. Benar, setelah sampai atas, seekor ikan lais berukuran tak terlalu kecil menggantung di ujung senar. Prestasi pembuka!
Gede banget mas..
Berikutnya beberapa ekor ikan lagi berhasil didapat. Tapi dengan ukuran yang kurang memuaskan. Tak lama kemudian lewat sebuah sampan kecil. Teman perempuan saya dan anak mak dang, mereka mau dengan curang menjala ikan di atas sana.
Bersampan  menjala
Selanjutnya saya meminta joran yang dipegang adik teman saya tadi. Saya ini kepingin mancing juga lho sodaraa.. walaupun joran minjem. Tapi walah, rupanya agak susah juga ternyata melempar kail model pengerek begini. Lama sekali saya tidak pegang joran modern seperti ini. Terakhir kali ya waktu memancing di sebuah pantai daerah Cilacap, Jawa tengah dulu. Duluuu.. sekali waktu saya masih SMP. Berulang kali saya mencoba melempar kail tapi gagal. Ujung senar itu malah meronta entah kemana-mana. Saya jadi takut kalau-kalau mata pancing itu malah nyantol di kuping.
Setelah diajari dan memperthatikan teman, akhirnya saya berhasil. Ternyata butuh sedikit perasaan juga. Ya ah, bukan cuma menulis. Melempar kail juga butuh feeling kalau tidak ingin kepala teman kena sambar.
Tidak berapa lama menunggu, kail saya terasa ada yang menarik. Lumayan berasa. Saya sentak sedikit dan saya tarik. Tapi setelah kira-kira setengah, tarikan jadi terasa enteng. Lepas pasti. Kecewa hati saya.
Lumayan lama di antara kami tak ada yang dapat lagi. Saya juga sudah diburu dua ekor pacet. Yang seekor malah sudah sempat merambat di kaki. Untung ketahuan. Heran saya, kemarin waktu ke air terjun, saya dapat gigitan pacet paling banyak di antara anggota rombongan. Lha sekarang cuma saya yang dikejar dua ekor pacet sekaligus. Apa darah saya sudah jadi manis seperti jus jeruk?
Sekian lama penantian, saya tak juga dapat ikan. Dari langit juga mulai turun hujan. Kami memutuskan untuk kembali ke pondok. Saya kembali dengan gontai bagai tentara yang kalah perang. Gitu doang? Mancingnya gitu doang? Nggak asyik.
Saya sungguh tidak puas. Masak saya belum ada dapat ikan sama sekali terus acara memancing harus diakhiri begitu saja. Saya mengajak adik teman untuk mancing lagi di sungai bagian belakang pondok Mak Dang. Hari masih gerimis tapi saya tetap nekat, orang yang saya ajak juga langsung menyahut semangat. Siip. Kami berangkat lagi.
Di atas rakit kayu yang mengapung, tempat para nelayan melabuhkan sampannya kami memancing. Jauh di seberang sungai sana adalah hutan dengan beberapa pohon sialang berdiri dengan gagah. Banyak lebah madu yang bersarang di dahannya. Lebah madu jenis tertentu memang paling suka membuat sarang di pohon sialang yang lumayan tinggi. Tak berapa lama, umpan saya disambar. Hoki saya memang di tempat ini sepertinya. Walau tak setiap hoki itu spektakuler. Ya, ikan yang saya dapat itu ternyata ukurannya hanya kecil saja. Kecil sekali malah. Cuma sekira jempol tangan!
Di atas rakit

 
Sabar menanti
Gerimis masih turun dari awan hitam yang menggantung di atas langit sana.  Pakaian saya mulai terasa basah. Saya mendapatkan ikan kedua dengan ukuran tak jauh berbeda dari yang pertama tadi. Tak berapa lama kemudian, dua orang teman juga menyusul kami. Kami jadi berempat. Sementara dua orang yang menjala naik sampan tadi belum juga kelihatan hidung mereka. Kami terus memancing.
Ikan ketiga saya dapat. Kali ini ukurannya lumayan. Sejempol kaki! Haha..saya jadi makin semangat. Cukup lama menunggu, ikan keempat menyusul. Kali ini lumayan merusak reputasi saya. Ukurannya cuma sebesar jari kelingking! Saya tersenyum kecut. Kail saya lempar lagi. Menanti lagi.
Dua orang teman pengendara sampan kembali. Mereka membawa ikan hasil tangkapannya. Wah, lumayan banyak dan gede-gede. Namanya juga curang. Mereka mengejek kami yang cuma dapat ikan sedikit ini. Setelah meletakkan ikan mereka ke rakit ini, mereka pergi menjala lagi. Kali ini ke arah bawah sungai.
Kami masih melanjutkan memancing. Beberapa ikan kami dapat. Situasi sudah mulai membosankan. Kami sudah mulai kelelahan. Saatnya mencari hiburan. Mandi dan bermain sampan. Padahal ya tidak bisa mengendalikan sampan. Beberapa kali kami karam. Hehe..
Kegiatan hari ini cukup menyenangkan. Ikan yang kami kumpulkan termasuk dari hasil menjala berjumlah lumayan. Acara memancing kami akhiri dengan menyantap ikan bakar yang kami dapat, diramu dengan sambal yang sangat pedas dan beberapa pucuk rotan bakar. Orang sekitar sini biasa mencari rotan di hutan sekitar sungai untuk dimakan, beberapa ada yang menjualnya ke pasar. Pernah makan pucuk rotan? Kalau belum, saya kasih tau bahwa rasanya tidak terlalu buruk, cuma sedikit getir, tapi tetap nikmat untuk disantap.
Beberapa pucuk rotan sedang dibersihkan (seperti tongkat)
 
Ikan sedang dibakar
 
Ikan sedang dibakar 2

Iwake sopo kui mas..

Demikian cerita perjalanan kami kali ini. Anda merasa jenuh dalam rutinitas kehidupan? Keluarlah sejenak dari rumah. Kunjungi tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah Anda datangi. Rasakan betapa Tuhan menciptakan alam ini tidaklah sambil bercanda. Alam ini indah kawan. Mari kita jaga bersama. Salam.

Ditulis:  Pekanbaru, 01 April 2014

1 komentar:

  1. terimakasih kak informasinya sangat membantu, jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2BNthKE

    BalasHapus