Hah, belum habis
nampaknya cerita soal jalan-jalan. Memang. Jalan-jalan, berpetualang
kemana-kemana bareng teman-teman, apa sih yang tidak asyik? Selagi sempat, kenapa tidak?
Oke deh. Ini berawal
saat saya sedang selesai shalat dzuhur dan keluar dari mushola di Pustaka
Wilayah Soeman HS, pekanbaru. Tiba-tiba saya ditelpon oleh kakak sahabat saya.
“Lek, dimana?”Tanya
dia. (Panggilan lelek atau pak lek disematkan kepada saya lebih karena saya
yang keturunan orang Jawa, semenjak semester pertama kuliah.)
“Di puswil, kak. Ada
apa?” jawabku.
“Mancing yuk ke
Sungai Pagar. Tapi, ke Lipat Kain dulu, kita nginap di rumah, baru besoknya
kita mancing.”
“Kapan?”
“Nanti jam tigaan
kita berangkat.”
“Oke. Nanti aku kesana.”
Begitulah kira-kira
percakapan kami. Pukul empat kami bertolak dari Pekanbaru menuju Lipat Kain.
Sampai di sana pukul lima lebih. Kami beristirahat sambil bercengkerama dengan
orang tua teman kami ini. Sekira pukul setengah enam sore, kami pergi menuju ke
bendungan Lipat Kain.
Bendungan ini bernama
Bendungan Sungai Paku. Berlokasi sekitar 6 KM dari kota kecamatan Kampar Kiri
yaitu Lipat Kain. Dengan waktu tempuh sekira 1,5 jam dari kota Pekanbaru. Jalan
masuk menuju ke bendungan ini berada tepat sebelum jembatan terakhir sebelum
Lipat Kain dari arah Pekanbaru.
![]() | ||
Bendungan Lipat Kain |
Ini adalah kali kedua
saya datang ke bendungan yang katanya banyak buayanya ini. Waktu pertama kali
saya datang dulu, terdapat air terjun yang mengalir di pintu airnya. Namun kali
ini air terjun itu tidak ada karena termasuk sedang musim kemarau. Setelah
berkeliling sebentar, kami pulang karena hari sudah gelap.
Sehabis shalat
maghrib, kami diajak makan bersama-sama. Menunya bermacam-macam ikan sungai. Entahlah,
saya tidak hafal nama-nama ikan itu. Yang penting bisa dimakan. Semuanya makan
dengan lahap.
Keesokan harinya,
saat adzan subuh berkumandang kami bangun. Dingin udara disini. Listrik yang
padam sedari tadi malam belum juga menyala lagi. Saya berjingkat ke sumur
sambil memeluk lengan. Brrr..
Dunia sudah mulai
terang. Saya dan seorang teman jalan pagi ke jalan lintas. Niatnya mau sambil
beli sandal jepit karena sandal yang saya pakai putus tadi malam waktu pulang
isya dari masjid. Tapi karena kepagian, warung-warung dan toko belum ada yang
buka. Kami berdua pulang lagi.
Selama perjalanan
pulang, terdengar Guntur berulangkali menggelegar di langit. Sepertinya hari
mau hujan. Oh, terbayang dinginnya seperti apa pagi-pagi begini kalau
kehujanan. Kami sedikit mempercepat langkah.Sementara gerimis mulai turun.Akhirnya
sampai rumah juga. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi. Kami duduk
dalam rumah sambil menikmati teh hangat bersama-sama. Sedaap.
Udara di kampung ini
terasa dingin khas pedesaan yang lebih banyak pepohonan ketimbang kota.
Ditambah hujan pagi ini, udara jadi tambah dingin saja.Saya dari awal sudah
ragu-ragu untuk mandi pagi. Tapi karena teman-teman akhirnya mandi semua, saya
jadi mandi juga. Nggak enak jadi minoritas, bahkan dalam soal mandi sekalipun.
Selanjutnya kami
sarapan bersama. Pakai sayur bayam dan lauknya aneka ikan yang dimasak
berbeda-beda (lagi). Wah, ini pemandangan yang indah sekali. Saya suka ikan. Aneka
olahan ikan saya suka. Sambil makan, saya bercerita kepada teman bahwa di
tempat KKN saya dulu, Pelalawan, ada sebuah masakan yang khas daerah sana. Bahan
masakannya adalah ikan sungai. Ikan ini diolah dengan cara yang ekstrim menurut
saya karena memang baru kali itu saya temui. Ikan yang biasanya diolah begitu
adalah ikan baung. Tapi juga tidak menutup kemungkinan pada ikan jenis lainnya.
Kalau ikan yang setelah
dibersihkan dan dibumbui biasanya langsung dimasak dan disantap, tidak dengan
yang satu ini. Setelah dibumbui dan diolah dengan cara yang saya lupa
mengingatnya secara rinci, ikan ini lalu disimpan dalam sebuah wadah dan
ditutup rapat. Ikan ini baru akan dibuka dan dimasak lagi untuk dinikmati
setelah berminggu bahkan berbulan kemudian. Kata teman saya yang pemuda warga
desa itu, malah sampai tiga bulan lamanya.
Aneh juga pertama kali saya
dengar pemuda ini mengajak ke rumahnya untuk makan ikan busuk. Makan ikan
busuk? Ya, ikan busuk, begitu dia menyebutnya supaya gampang menjelaskan
maksudnya kepada saya. Benar saja, pertama kali saya dihadapkan hidangan dengan
lauk ini, saya hampir tak tega untuk
menyantapnya. Mencium baunya saja, bulu kuduk saya sudah merinding. Tapi orang
ini menyantapnya dengan lahap sekali. Kata dia, kalau belum makan ini masakan,
berarti sama saja belum pernah ke desa ini. Inilah masakan paling enak yang pernah ada,
katanya. Kagum juga saya dengan kebanggaan pemuda ini akan kampung halamannya.
Akhirnya saya berhasil dibuat
penasaran. Satu dua kali cicip masih janggal rasanya. Lama-lama ya doyan juga. Nambah
malah. Setelah makan, tangan saya masih bau khas masakan ini sampai seharian.
Haha!
Selama bercerita pengalaman saya
waktu di Pelalawan itu, rupanya didengar oleh kakak teman saya yang punya rumah
ini. Katanya disini juga ada masakan dari ikan yang dibusukkan berbulan-bulan. Saya
terkejut. Lho iya? Setelah diceritakan dengan jelas cara pembuatannya, saya
jadi penasaran juga. Malah sampai dibukakan toples tempat penyimpanannya segala.
Langsung deh baunya menyeruak ruangan ini. Untung saya sudah selesai makan. Namun
rupanya berbeda dengan yang saya makan dulu, ikan busuk versi ini warnanya
sampai hitam. Aromanya juga lebih mengerikan yang ini. Mungkin bumbunya juga
berbeda. Karena ada salah satu teman saya yang kelihatan penasaran, akhirnya
ibu teman saya menggorengnya beberapa waktu kemudian. Saya langsung menyingkir
dari TKP. Takut hidung saya rusak. Hehe, mantap toh kuliner negeri kita?
Acara sarapan sudah lama
selesai. Tapi hujan dari langit sana sepertinya belum mau berhenti. Padahal sudah
pukul setengah sembilan. Kami mengobrol sambil menyiapkan keperluan untuk
memancing nanti. Teh dalam gelas saya tuang lagi. Hangat lagi. Hujannya belum
berhenti lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul
setengah sepuluh. Hujannya masih betah! Weh, jadi kapan ini perginya? Kami
galau. Alat memancing sudah siap. Perut sudah kekenyangan akibat sedari tadi
terus menenggak teh. Mau internetan di hape, hujannya serem, takut disambar
petir. Melihat ayah teman memintal jaring ikan, bosan malah jadi pusing. Kami
tak mengerti harus berbuat apa lagi. Untuk mengatasi kebuntuan ini, kami
memutuskan untuk ngorok kembali.
Pukul sebelas. Hujan sudah mulai
berhenti. Tapi masih sedikit gerimis. Kami bangkit dari mengorok dan keluar
rumah mengecek situasi. Nongkrong-nongkrong di muka rumah. Ngobrol
ngalor-ngidul tak jelas. Kakak menyiapkan bekal di dapur.
Pukul setengah dua belas
akhirnya kami berangkat. Dalam perjalanan masih berjumpa dengan sisa-sisa
gerimis. Nggak bisa ngebut. Tak sampai satu jam kami tiba di daerah Sungai
Pagar. Tujuan kami memancing ada di dalam daerah ini, namanya Rantau Berkasih.
Sekira lima belas menit dari jalan besar. Jika kita dari arah Pekanbaru, kita
akan menjumpai traffic light dengan
hanya lampu kuning yang menyala. Ambil simpang ke kiri. Masuk ke dalam kita
akan bertemu simpang tiga, silakan masuk ke kanan. Jalan masih aspal beberapa
kilometer ke depan sampai menjumpai anak sungai. Disini akan kita jumpai
warung-warung kecil yang menjual minuman dan makanan bagi pengunjung.
Sudah ramai orang memancing
disini. Kami berhenti sebentar di jembatan berukuran sedang. Selanjutnya kami
berkendara lagi menuju rumah pondok milik saudara teman kami. Tak berapa lama
melewati jalan tanah, akhirnya kami sampai juga pada sebuah pondok yang cukup
besar menurut saya untuk ukuran sebuah pondok.
![]() |
Pondok (abaikan makhluk berkacamata) |
Pondok ini ditinggali oleh Mak
Dang-nya teman saya beserta seorang anak lelakinya. Pondok ini berada tak begitu
jauh dari sungai Kampar tempat kami akan memancing. Sekitar lokasi ini
merupakan hutan yang sudah tidak murni lagi, banyak pohon yang sudah
ditebang.Sekeliling pondok ditanami beberapa batang pohon karet.
Kami meletakkan bawaan dan tas
di pondok Mak Dang. Bersiap untuk segera memancing. Oon-nya kami, katanya mau
memancing tapi tidak membawa umpan sama sekali. Kami tak bawa umpan karena katanya
disini juga mudah cari cacing buat umpan. Jadi berdasarkan pembelaan kami, kami
ini tak sepenuhnya salah, ada asbabul nuzulnya.
Nyatanya, kami sudah berputar-putar melakukan
eskavasi (Kayak arkeolog aja) bahkan di sekitar kandang kambing juga susah sekali
menjumpai cacing. Rata-rata sepuluh kali cangkulan hanya ketemu satu ekor
cacing. Di kampung saya, bebek terpeleset saja bisa nemu cacing! Well, dengan
waktu yang lumayan tak sebentar akhirnya terkumpul juga satu per satu cacing
ini. Setelah dirasa cukup, kami langsung pergi ke sungai.
Sampai di sungai, sudah ada dua
mobil pick up parkir di sekitar sana.
Ada beberapa orang yang sudah memancing di sungai. Kami mencari lokasi yang
cocok. Disini saya cuma menonton saja. muka air cukup jauh dari tempat kami
berdiri. Lha saya bawanya pancing manual tanpa pengerek. (nggak niat banget mau
mancing).
Beberapa kali teman melemparkan
kailnya ke sungai. Teman yang lain malah menggerutu karena tersangkut kailnya.
Menunggu sekian lama tapi tak ada respon dari ikan di bawah sana. Saya yang
cuma menonton mulai merasa bosan. Lha nggak dapat dapat juga. Yang pegang
pancing saja sudah mblenger, apalagi yang cuma nonton. Saya melangkah mencari
sesuatu yang bisa saya bikin sebagai pelampiasan. Noh, ketemu. Ada gundukan
pasir raksasa. Saya memanjatnya seperti bocah edan.
![]() | |
Gunungan pasir tambang |
Sejenak kemudian kami berpindah
lokasi tak jauh dari tempat tadi. Disini umpan seorang kawan disambar. Benar,
setelah sampai atas, seekor ikan lais berukuran tak terlalu kecil menggantung
di ujung senar. Prestasi pembuka!
![]() | |
Gede banget mas.. |
Berikutnya beberapa ekor ikan
lagi berhasil didapat. Tapi dengan ukuran yang kurang memuaskan. Tak lama
kemudian lewat sebuah sampan kecil. Teman perempuan saya dan anak mak dang,
mereka mau dengan curang menjala ikan di atas sana.
![]() |
Bersampan menjala |
Selanjutnya saya meminta joran
yang dipegang adik teman saya tadi. Saya ini kepingin mancing juga lho
sodaraa.. walaupun joran minjem. Tapi walah, rupanya agak susah juga ternyata
melempar kail model pengerek begini. Lama sekali saya tidak pegang joran modern
seperti ini. Terakhir kali ya waktu memancing di sebuah pantai daerah Cilacap,
Jawa tengah dulu. Duluuu.. sekali waktu saya masih SMP. Berulang kali saya
mencoba melempar kail tapi gagal. Ujung senar itu malah meronta entah kemana-mana.
Saya jadi takut kalau-kalau mata pancing itu malah nyantol di kuping.
Setelah diajari dan
memperthatikan teman, akhirnya saya berhasil. Ternyata butuh sedikit perasaan
juga. Ya ah, bukan cuma menulis. Melempar kail juga butuh feeling kalau tidak ingin
kepala teman kena sambar.
Tidak berapa lama menunggu, kail
saya terasa ada yang menarik. Lumayan berasa. Saya sentak sedikit dan saya
tarik. Tapi setelah kira-kira setengah, tarikan jadi terasa enteng. Lepas
pasti. Kecewa hati saya.
Lumayan lama di antara kami tak
ada yang dapat lagi. Saya juga sudah diburu dua ekor pacet. Yang seekor malah
sudah sempat merambat di kaki. Untung ketahuan. Heran saya, kemarin waktu ke
air terjun, saya dapat gigitan pacet paling banyak di antara anggota rombongan.
Lha sekarang cuma saya yang dikejar dua ekor pacet sekaligus. Apa darah saya
sudah jadi manis seperti jus jeruk?
Sekian lama penantian, saya tak
juga dapat ikan. Dari langit juga mulai turun hujan. Kami memutuskan untuk
kembali ke pondok. Saya kembali dengan gontai bagai tentara yang kalah perang. Gitu
doang? Mancingnya gitu doang? Nggak asyik.
Saya sungguh tidak puas. Masak
saya belum ada dapat ikan sama sekali terus acara memancing harus diakhiri
begitu saja. Saya mengajak adik teman untuk mancing lagi di sungai bagian
belakang pondok Mak Dang. Hari masih gerimis tapi saya tetap nekat, orang yang
saya ajak juga langsung menyahut semangat. Siip. Kami berangkat lagi.
Di atas rakit kayu yang
mengapung, tempat para nelayan melabuhkan sampannya kami memancing. Jauh di
seberang sungai sana adalah hutan dengan beberapa pohon sialang berdiri dengan
gagah. Banyak lebah madu yang bersarang di dahannya. Lebah madu jenis tertentu
memang paling suka membuat sarang di pohon sialang yang lumayan tinggi. Tak
berapa lama, umpan saya disambar. Hoki saya memang di tempat ini sepertinya. Walau
tak setiap hoki itu spektakuler. Ya, ikan yang saya dapat itu ternyata
ukurannya hanya kecil saja. Kecil sekali malah. Cuma sekira jempol tangan!
![]() | |
Di atas rakit |
![]() | |
Sabar menanti |
Gerimis masih turun dari awan
hitam yang menggantung di atas langit sana. Pakaian saya mulai terasa basah. Saya
mendapatkan ikan kedua dengan ukuran tak jauh berbeda dari yang pertama tadi. Tak
berapa lama kemudian, dua orang teman juga menyusul kami. Kami jadi berempat. Sementara
dua orang yang menjala naik sampan tadi belum juga kelihatan hidung mereka. Kami
terus memancing.
Ikan ketiga saya dapat. Kali ini
ukurannya lumayan. Sejempol kaki! Haha..saya jadi makin semangat. Cukup lama
menunggu, ikan keempat menyusul. Kali ini lumayan merusak reputasi saya.
Ukurannya cuma sebesar jari kelingking! Saya tersenyum kecut. Kail saya lempar
lagi. Menanti lagi.
Dua orang teman pengendara
sampan kembali. Mereka membawa ikan hasil tangkapannya. Wah, lumayan banyak dan
gede-gede. Namanya juga curang. Mereka mengejek kami yang cuma dapat ikan
sedikit ini. Setelah meletakkan ikan mereka ke rakit ini, mereka pergi menjala
lagi. Kali ini ke arah bawah sungai.
Kami masih melanjutkan
memancing. Beberapa ikan kami dapat. Situasi sudah mulai membosankan. Kami sudah
mulai kelelahan. Saatnya mencari hiburan. Mandi dan bermain sampan. Padahal ya
tidak bisa mengendalikan sampan. Beberapa kali kami karam. Hehe..
Kegiatan hari ini cukup
menyenangkan. Ikan yang kami kumpulkan termasuk dari hasil menjala berjumlah
lumayan. Acara memancing kami akhiri dengan menyantap ikan bakar yang kami
dapat, diramu dengan sambal yang sangat pedas dan beberapa pucuk rotan bakar.
Orang sekitar sini biasa mencari rotan di hutan sekitar sungai untuk dimakan,
beberapa ada yang menjualnya ke pasar. Pernah makan pucuk rotan? Kalau belum,
saya kasih tau bahwa rasanya tidak terlalu buruk, cuma sedikit getir, tapi
tetap nikmat untuk disantap.
![]() | ||
Beberapa pucuk rotan sedang dibersihkan (seperti tongkat | ) |
![]() | |||||
Ikan sedang dibakar |
![]() | |
Ikan sedang dibakar 2 |
![]() |
Iwake sopo kui mas.. |
Demikian cerita perjalanan kami kali ini. Anda merasa jenuh dalam rutinitas kehidupan? Keluarlah sejenak dari rumah. Kunjungi tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah Anda datangi. Rasakan betapa Tuhan menciptakan alam ini tidaklah sambil bercanda. Alam ini indah kawan. Mari kita jaga bersama. Salam.
Ditulis: Pekanbaru, 01 April 2014
terimakasih kak informasinya sangat membantu, jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2BNthKE
BalasHapus