![]() |
(Ilustrasi Kreatif) |
Malam kemarin saya telah bermimpi dibuatkan peyek oleh ibu saya. Jelas sekali bahwa peyek dalam mimpi saya itu adalah dari jenis peyek kacang kedelai. Peyek yang hampir selalu dibuat setiap kali saya pulang kampung maupun hendak pergi dari kampung.
Ditengok dari bentuknya mimpi saya ini jelas bukanlah mimpi
yang bermutu seperti mimpinya orang-orang suci. Lha iya, mimpi peyek lho.
Peyek! Bukan mimpi nemu emas atau sejenisnya. Bukan mimpi jenis ilham yang tak
sembarang orang bisa mengalaminya. Tapi mimpi saya itu pastilah mimpinya
seorang anak yang sedang merindukan kasih sayang ibunya yang disederhanakan
dalam bentuk peyek.
Tapi sudahlah. Toh sebenarnya saya bukan hendak mengisahkan
panjang lebar mimpi saya yang kurang bermutu itu. Saya cuma hendak mengatakan
bahwa ternyata membikin peyek itu tidak semudah memakannya.
Berangkat dari mimpi itulah saya kemudian berniat membuat
sendiri peyek itu. Saya lihat di lemari dapur ada kedelai, ada tepung beras,
ada kemiri, dan bumbu-bumbu lainnya. Saya cukup tahu apa saja bahan yang
dibutuhkan untuk membuat peyek. Tapi untuk memastikan lagi maka saya tanyakan
melalui pesan singkat kepada adik perempuan saya. Adik saya ini suka
membantu ibu menggoreng peyek saat di rumah. Dan benar saja, bahan-bahan untuk
membuatnya persis seperti dugaan saya. Hanya satu yang lolos saya duga, telur.
“Biar renyah,” kata adik saya.
Semua bahan sudah ada kecuali kencur. Di lidah orang Jawa
tidak akan sempurna rasanya peyek jika tidak disertakan kencur di dalamnya.
Itulah kenapa saya lalu pergi ke warung sekitar perumahan untuk membelinya.
Sayang, sudah dua warung yang saya datangi tapi keduanya sedang kehabisan stok
kencur. Saya harus keluar perumahan dan menempuh jarak sekira tiga kilometer
untuk mengejar kesempurnaan peyek itu. Maklum tempat saya tinggal ini memang
termasuk kota, tapi pinggirannya.
“Seorang bujang, jam sembilan malam membeli kencur ini buat
apa. Cuma setengah ons lagi.” Begitu mungkin batin si pemilik warung sayuran
itu. Saya sungguh tidak peduli.
Kencur saya bawa pulang. Kedelai yang saya rendam sepertinya
sudah tidak sabar lagi menunggu sedari tadi. Segera saya siapkan dan olah
bahan-bahan itu. Saya bikin adonannya dan tidak lupa saya pukul satu butir
telur sesuai rekomendasi adik saya. Adonan selesai.
“Tinggal menggorengnya saja. Semua pasti beres!” ucap saya
semangat.
Plung! Sreeengg! Saya masukkan ke dalam penggorengan dan
adonan peyek itu lalu mengembang dengan semangatnya.
“Lho, kok begini!?” ucap saya terkejut.
Saya sungguh belum pernah melihat peyek model begini. Ia
mengembang di luar dugaan saya. Tidak seperti layaknya peyek yang tipis saja.
Ia malah lebih mirip bakwan atau bahkan bakpau. Sungguh model peyek yang tidak
keren.
“Peyek bikinan saya montok-montok!” ucap saya geli sendiri.
Pikir saya, ini pasti gara-gara jumlah telur yang tidak
sesuai dengan takaran. Telurnya yang meskipun hanya satu butir pasti itu
terlalu banyak untuk ukuran adonan yang hanya sebaskom kecil. Maka kemudian
saya tambahkan lagi tepung berasnya karena pikir saya setidaknya ini akan
mengurangi pengaruh daya kembang si telur tadi.
Dan. . Woo. . peyek itu malah semakin menjadi-jadi dalam
mengembangkan badannya. Saya jadi frustasi.
“Ini pasti karena terlalu kental.” Pikir saya lagi sambil
menambahkan air ke dalam adonan.
Dan untuk yang ketiga kalinya, ya,, lumayan lah. Tidak
seperti bakwan dan bakpau lagi. Tapi juga tetap tidak seperti peyek. Entah
seperti apa.
Begitulah bahkan setelah tiga kali saya modifikasi
peyek itu tetap saja tidak menjadi peyek yang memuaskan hati. Fungsi peyek itu
pun sudah lain lagi. Tidak hanya saya makan, ia juga bisa saya tertawai. Peyek
itu pada akhirnya memang jadi, tapi dengan kualitas bentuk dan rasa yang belum
pernah saya temui.
“Gimana rasanya, enak nggak?” Tanya adik saya lewat pesan
singkat.
“Rasanya aneh. Besok kalau pulang harus berguru lagi sama
mama’.” Balas saya.
“Hahaha! ” Balasnya tertawa.
“Krriuk. . . krriuk. . . krenyess. . krenyess. .” bunyi
peyek saya.
Pekanbaru, 1 April 2013 Puja K