![]() |
Sumber: google. |
Ada banyak tahapan yang harus dilewati seorang
manusia mulai dilahirkan sampai pada akhir hidupnya. Dalam ilmu psikologi
perkembangan dijelaskan bahwa seorang anak manusia akan mengalami
tahapan-tahapan yang terus berlanjut sesuai tugas perkembangannya. Ada masanya
ia belajar untuk berjalan, masa belajar bicara, dan mengenal dunia sekitarnya.
Ada tahapan dimana seorang anak akan mulai menyukai
kegiatan menanam suatu tanaman seperti sayuran, pohon buah-buahan dan lain
sebagainya dan ia melakukannya dengan coba-coba tanpa paksaan. Setelah bosan,
mungkin ia akan mulai menyukai hal yang lainnya seperti merawat hewan
peliharaan. Sudah. Saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar lagi karena
saya juga bukan dosen psikologi. Nanti kalau salah malah bisa tidak benar.
Soal tahapan di atas setelah saya pikir-pikir ada
benarnya juga. Lha iya wong para suhu psikologi itu pasti melakukan penelitian
dengan segala ilmu titen-nya. Sejalan
dengan teori perkembangan di atas, saya ternyata juga mengalaminya. Saya pernah
suka sekali memperhatikan tumbuh-tumbuhan dan bagaimana cara menanamnya. Pada
masa sekolah dasar, saya pernah diajari cara mencangkok oleh guru saya,
langsung praktek kepada pohon mangga di pekarangan sekitar sekolah. Hasilnya?
Cangkokan saya itu tak pernah mau mengeluarkan akarnya. Gagal. Di lain waktu
saya juga melakukan okulasi tunas bahkan pada pohon ubi kayu, jenis tanaman
yang amat mudah ditanam tapi lagi-lagi juga tidak berhasil. Entah saya yang
belum benar melakukannya, atau pohon itu saja yang malas bertumbuh walau untuk
sekadar menyenangkan hati saya.
Semua kegagalan-kegagalan itu tidak pernah saya
sesali. Saya tetap suka mencoba hal-hal baru lainnya. Saya pernah menangkap
anak-anak ikan lele kecil di sebuah parit pekarangan belakang rumah. Karena
masih kecil, lalu saya berinisiatif untuk memeliharanya di sebuah bekas sumur
belik kecil pekarangan rumah. Setiap hari mereka saya jenguk dengan semangat.
Saat mereka sudah sedikit lebih besar dari sebelumnya, eh lah kok ndilalah sumur belik itu kebanjiran oleh
air hujan. Saya lupa berhitung sebelumnya bahwa lokasi perikanan saya itu
memang sebuah rawa yang suka terkena terjangan arus air dadakan ketika musim
hujan datang. Ya sudah. Ketika ada godaan meluapnya air hujan, lele-lele celaka
itu segera lupa bahwa mereka itu sedang saya pelihara. Bubar semuanya. Sakitnya
hati saya.
Saya juga pernah begitu mencintai anak ayam. Tapi
hanya seekor saja. Kok bisa? Lha iya, saat anak ayam itu masih kecil baru
menetas dan masih imut-imutnya, dia terinjak oleh induknya sendiri. Kaki
kirinya mengalami cedera. Bahasa jawanya mungkin kecetit. Iba hati saya melihat anak ayam ini tertinggal oleh
induknya karena ia kesulitan berjalan. Selanjutnya anak ayam ini saya rawat
seperti adik sendiri. (Lha gimana mau saya bilang, saya rawat seperti anak
sendiri. Wong saya waktu itu juga masih anak-anak.) . Saya rajin memberinya
makan hingga pada akhirnya ia menjadi begitu jinak dengan saya. Saat ia sudah
lancar berjalan dan kembali bergabung dengan teman-teman kandungnya, ia pun tak
melupakan saya dan tetap jinak dengan saya. Sungguh suatu hubungan antara anak
manusia dan anak ayam yang sangat harmonis.
Waktu terus berjalan dan selalu penuh teka-teki atas
hubungan saya dengan anak ayam ini. Tiba-tiba datang sebuah musibah yang
menghancurkan hati saya. Gerombolan anak-anak ayam itu diserang oleh seekor
biawak. Salah satu korbannya adalah anak ayam kesayangan saya itu. Ia ditelan
hidup-hidup oleh biawak laknat itu. Saya jadi benci kepada bangsa biawak. Tapi
saya masih bisa berpikir jernih. Saya malah membayangkan seandainya biawak itu
tertangkap oleh saya, akan saya ajarkan ia cara hidup yang sehat tanpa harus
mengancam eksistensi koloni hewan lain. Biawak ini akan saya ajari pola hidup
vegetarian. Ketika saya berhasil, biawak ini akan saya lepas ke alam bebas
dengan harapan ia akan menjadi duta per-vegetarian-an dari bangsa biawak.
Seluruh biawak di Indonesia harus belajar kepada biawak asuhan saya ini tentang
bagaimana menjadi biawak yang seharusnya. Biawak vegetarian.
Lama waktu berlalu saya vakum dari dunia ternak
hewan. Hingga pada masa saya SMP di Jawa Tengah, semangat saya untuk memelihara
sesuatu itu bangkit lagi. Kali ini saya tertarik memelihara kelinci. Hewan
pengerat imut yang dalam film kartun selalu didentikkan dekat dengan wortel.
Singkat kata saya mendapatkan sepasang kelinci dewasa dengan membeli kepada
kerabat seorang teman sekolah. Kandang untuk kelinci saya ini pun sudah saya
siapkan beberapa hari sebelumnya. Jenis kandang yang saya sediakan adalah
kandang ndeprok, yaitu kandang dengan
lantai tanah. Saya buat demikian karena pikir saya, supaya mereka bisa hidup
agak mirip dengan habitat aslinya. Walau tidak mirip amat ya setidaknya mereka
bisa menyentuh tanah. Dari informasi yang saya dapat dari orang-orang, kalau
kelinci dipelihara dengan kandang lantai tanah, maka ia akan menggali lubang
sebagai sarangnya. Tak jadi masalah bagi saya. Asal kelinci saya bahagia.
Namun bersama itu kemudian, datang pula berita bahwa
jika kelinci melahirkan dalam lubang sarangnya di bawah tanah, maka kita tidak
boleh memegang anaknya sebelum benar-benar besar. Bisa mati nanti. Walah, kok
ya kejam amat. Anak kelinci itu masa paling imut-imutnya ya justru kalau masih
kecil. Masa iya ndak boleh dipegang?
“Ya embuh. Kata embah memang begitu. Aku memang
belum pernah lihat sendiri. Lha wong aku manut mbahku kok. Kalau dilanggar bisa
kualat nanti.” Kata teman saya ketika ditanya soal itu. Wah, kok aneh banget.
Sulit dipercaya. Masa iya cuma dipegang terus bisa mati. Memangnya tangan
manusia itu beracun kayak ekornya kalajengking apa? Kata embah. Kata embah
lagi. Ada-ada saja orang dulu itu. Saya tidak percaya. Wong lebih mirip tahayul
gitu kok. Pokoknya saya bukan anak yang bisa dibodhoni begitu saja hanya karena
kata embah- kata embah begitu.
Saya tidak peduli dengan apa yang katanya orang-
katanya orang begituan tadi. Kelinci saya itu hidup berbahagia di kandangnya.
Benar saja, ternyata kelinci itu memang beneran ngerong, menggali lubang di tanah buat sarangnya. Saya menafkahi
mereka dengan rumput-rumput hijau. Saya sampai hafal mana rumput kesukaan
mereka, dan mana rumput yang tidak mereka suka.
Setelah beberapa waktu hidup dalam cinta, apa yang
saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kelinci betina saya hamil! Pasti
dihamili pejantannnya. Semakin hari semakin besar perut kelinci betina itu,
semakin tak sabar pula saya menanti kelahiran bayi-bayinya. Saya berdoa dalam
hati semoga kelinci saya dianugerahi anak dengan warna putih semuanya. Kan imut
banget gitu. Tapi kayaknya doa saya waktu itu kok rada bodho. Wong pejantan dan
betinanya saja sama-sama belang hitam putih, masak iya bisa anaknya putih
mulus.
Saat yang dinanti tiba. Perut induk kelinci saya
sudah mbalik kempes seperti masa gadisnya lagi. Tetapi kok, lho anaknya mana? Woh,
ya beneran. Anaknya diumpetin di dalam rong-nya, di dalam lubang sarangnya. Pelit
sekali. Di area masuk lubangnya itu ditutupi rapat pakai rumput-rumput kering
sebagai portal pengaman. Mengintip pun tidak bisa. Seandainya tidak ditutup pun
saya tidak tahu sedalam apa lubang sarang itu. Induk kelinci itu hanya masuk
saat hendak menyusui anaknya saja. Selebihnya ia beraktivitas di luar lubang.
Hari-hari terasa lama sekali berganti. Setiap pagi
saya tengok ke kandang dengan harapan mbok-mbokan
anak-anak kelinci itu sudah diijinkan bermain di luar oleh induknya. Namun
harapan saya tak kunjung dikabulkan oleh Tuhan. Atau induk kelinci ini yang
memang terlalu judes.
Sampai suatu hari saya dikejutkan dengan sebuah
tanah yang ambles tepat di sisi luar kandang. Tanah itu ambles karena terkena
hujan deras pada malam harinya. Setelah saya periksa lebih lanjut ternyata
amblesan itu adalah lubang lorong sarang kelinci saya. Terlihat ada
rumput-rumput kering dan bulu kelinci yang mrotoli di dalamnya. Dilihat dari
ciri-cirinya, sepertinya air hujan sudah banyak masuk ke lubang ini. “Wah,
kepiye ini? Jangan-jangan anak-anak kelinci saya kelelep kena air hujan.” Batin
saya.
Khawatir dengan dugaan saya, maka lubang itu saya
bersihkan dari sampah-sampah yang terbawa oleh air hujan. Benar saja, tak
begitu jauh saya korek, saya temukan empat ekor anak kelinci saya.
Alhamdulillah mereka masih selamat. Walau tidak ada yang polos putih, tapi
mereka lucu-lucu sekali. Saya belai sedikit seekor anak kelinci. Lembut sekali.
Senangnya hati saya. Saya bersihkan lorongnya supaya sang induk bisa menemukan
anaknya.
Sore hari sepulang saya sekolah. Betapa terkejutnya
hati saya. Anak-anak kelinci yang imut itu sudah mati semuanya di luar lubang.
Mati mengenaskan dengan sedikit luka di masing-masing lehernya. Siapa yang tega
melakukan ini pada saya?? Hampir menangis saya atas tragedi genoside ini.
Mereka yang sudah saya selamatkan dari reruntuhan longsor, kini diam tak
berkutik di tepi lubang. Segera saya temui induknya yang sedang santai di dalam kandang. Dengan
agak marah dia saya interogasi.
“Siapa yang telah membunuh mereka? Kamu? Kenapa kamu
setega itu? Mereka sama sekali tidak berdosa! Jangan diam saja. Jawab
pertanyaan saya! Siapa?!” induk kelinci itu diam melengos saja sambil
menggerak-gerakkan hidungnya. Verdom zeg!
Puja K, Pekanbaru, 06 Desember 2014