Links

Sabtu, 06 Desember 2014

Induk Kelinci yang Merasa Dikhianati

Sumber: google.

Ada banyak tahapan yang harus dilewati seorang manusia mulai dilahirkan sampai pada akhir hidupnya. Dalam ilmu psikologi perkembangan dijelaskan bahwa seorang anak manusia akan mengalami tahapan-tahapan yang terus berlanjut sesuai tugas perkembangannya. Ada masanya ia belajar untuk berjalan, masa belajar bicara, dan mengenal dunia sekitarnya.
Ada tahapan dimana seorang anak akan mulai menyukai kegiatan menanam suatu tanaman seperti sayuran, pohon buah-buahan dan lain sebagainya dan ia melakukannya dengan coba-coba tanpa paksaan. Setelah bosan, mungkin ia akan mulai menyukai hal yang lainnya seperti merawat hewan peliharaan. Sudah. Saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar lagi karena saya juga bukan dosen psikologi. Nanti kalau salah malah bisa tidak benar.


Soal tahapan di atas setelah saya pikir-pikir ada benarnya juga. Lha iya wong para suhu psikologi itu pasti melakukan penelitian dengan segala ilmu titen-nya. Sejalan dengan teori perkembangan di atas, saya ternyata juga mengalaminya. Saya pernah suka sekali memperhatikan tumbuh-tumbuhan dan bagaimana cara menanamnya. Pada masa sekolah dasar, saya pernah diajari cara mencangkok oleh guru saya, langsung praktek kepada pohon mangga di pekarangan sekitar sekolah. Hasilnya? Cangkokan saya itu tak pernah mau mengeluarkan akarnya. Gagal. Di lain waktu saya juga melakukan okulasi tunas bahkan pada pohon ubi kayu, jenis tanaman yang amat mudah ditanam tapi lagi-lagi juga tidak berhasil. Entah saya yang belum benar melakukannya, atau pohon itu saja yang malas bertumbuh walau untuk sekadar menyenangkan hati saya.
Semua kegagalan-kegagalan itu tidak pernah saya sesali. Saya tetap suka mencoba hal-hal baru lainnya. Saya pernah menangkap anak-anak ikan lele kecil di sebuah parit pekarangan belakang rumah. Karena masih kecil, lalu saya berinisiatif untuk memeliharanya di sebuah bekas sumur belik kecil pekarangan rumah. Setiap hari mereka saya jenguk dengan semangat. Saat mereka sudah sedikit lebih besar dari sebelumnya, eh lah kok ndilalah sumur belik itu kebanjiran oleh air hujan. Saya lupa berhitung sebelumnya bahwa lokasi perikanan saya itu memang sebuah rawa yang suka terkena terjangan arus air dadakan ketika musim hujan datang. Ya sudah. Ketika ada godaan meluapnya air hujan, lele-lele celaka itu segera lupa bahwa mereka itu sedang saya pelihara. Bubar semuanya. Sakitnya hati saya.
Saya juga pernah begitu mencintai anak ayam. Tapi hanya seekor saja. Kok bisa? Lha iya, saat anak ayam itu masih kecil baru menetas dan masih imut-imutnya, dia terinjak oleh induknya sendiri. Kaki kirinya mengalami cedera. Bahasa jawanya mungkin kecetit. Iba hati saya melihat anak ayam ini tertinggal oleh induknya karena ia kesulitan berjalan. Selanjutnya anak ayam ini saya rawat seperti adik sendiri. (Lha gimana mau saya bilang, saya rawat seperti anak sendiri. Wong saya waktu itu juga masih anak-anak.) . Saya rajin memberinya makan hingga pada akhirnya ia menjadi begitu jinak dengan saya. Saat ia sudah lancar berjalan dan kembali bergabung dengan teman-teman kandungnya, ia pun tak melupakan saya dan tetap jinak dengan saya. Sungguh suatu hubungan antara anak manusia dan anak ayam yang sangat harmonis.
Waktu terus berjalan dan selalu penuh teka-teki atas hubungan saya dengan anak ayam ini. Tiba-tiba datang sebuah musibah yang menghancurkan hati saya. Gerombolan anak-anak ayam itu diserang oleh seekor biawak. Salah satu korbannya adalah anak ayam kesayangan saya itu. Ia ditelan hidup-hidup oleh biawak laknat itu. Saya jadi benci kepada bangsa biawak. Tapi saya masih bisa berpikir jernih. Saya malah membayangkan seandainya biawak itu tertangkap oleh saya, akan saya ajarkan ia cara hidup yang sehat tanpa harus mengancam eksistensi koloni hewan lain. Biawak ini akan saya ajari pola hidup vegetarian. Ketika saya berhasil, biawak ini akan saya lepas ke alam bebas dengan harapan ia akan menjadi duta per-vegetarian-an dari bangsa biawak. Seluruh biawak di Indonesia harus belajar kepada biawak asuhan saya ini tentang bagaimana menjadi biawak yang seharusnya. Biawak vegetarian.
Lama waktu berlalu saya vakum dari dunia ternak hewan. Hingga pada masa saya SMP di Jawa Tengah, semangat saya untuk memelihara sesuatu itu bangkit lagi. Kali ini saya tertarik memelihara kelinci. Hewan pengerat imut yang dalam film kartun selalu didentikkan dekat dengan wortel. Singkat kata saya mendapatkan sepasang kelinci dewasa dengan membeli kepada kerabat seorang teman sekolah. Kandang untuk kelinci saya ini pun sudah saya siapkan beberapa hari sebelumnya. Jenis kandang yang saya sediakan adalah kandang ndeprok, yaitu kandang dengan lantai tanah. Saya buat demikian karena pikir saya, supaya mereka bisa hidup agak mirip dengan habitat aslinya. Walau tidak mirip amat ya setidaknya mereka bisa menyentuh tanah. Dari informasi yang saya dapat dari orang-orang, kalau kelinci dipelihara dengan kandang lantai tanah, maka ia akan menggali lubang sebagai sarangnya. Tak jadi masalah bagi saya. Asal kelinci saya bahagia.
Namun bersama itu kemudian, datang pula berita bahwa jika kelinci melahirkan dalam lubang sarangnya di bawah tanah, maka kita tidak boleh memegang anaknya sebelum benar-benar besar. Bisa mati nanti. Walah, kok ya kejam amat. Anak kelinci itu masa paling imut-imutnya ya justru kalau masih kecil. Masa iya ndak boleh dipegang?
“Ya embuh. Kata embah memang begitu. Aku memang belum pernah lihat sendiri. Lha wong aku manut mbahku kok. Kalau dilanggar bisa kualat nanti.” Kata teman saya ketika ditanya soal itu. Wah, kok aneh banget. Sulit dipercaya. Masa iya cuma dipegang terus bisa mati. Memangnya tangan manusia itu beracun kayak ekornya kalajengking apa? Kata embah. Kata embah lagi. Ada-ada saja orang dulu itu. Saya tidak percaya. Wong lebih mirip tahayul gitu kok. Pokoknya saya bukan anak yang bisa dibodhoni begitu saja hanya karena kata embah- kata embah begitu.
Saya tidak peduli dengan apa yang katanya orang- katanya orang begituan tadi. Kelinci saya itu hidup berbahagia di kandangnya. Benar saja, ternyata kelinci itu memang beneran ngerong, menggali lubang di tanah buat sarangnya. Saya menafkahi mereka dengan rumput-rumput hijau. Saya sampai hafal mana rumput kesukaan mereka, dan mana rumput yang tidak mereka suka.
Setelah beberapa waktu hidup dalam cinta, apa yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kelinci betina saya hamil! Pasti dihamili pejantannnya. Semakin hari semakin besar perut kelinci betina itu, semakin tak sabar pula saya menanti kelahiran bayi-bayinya. Saya berdoa dalam hati semoga kelinci saya dianugerahi anak dengan warna putih semuanya. Kan imut banget gitu. Tapi kayaknya doa saya waktu itu kok rada bodho. Wong pejantan dan betinanya saja sama-sama belang hitam putih, masak iya bisa anaknya putih mulus.
Saat yang dinanti tiba. Perut induk kelinci saya sudah mbalik kempes seperti masa gadisnya lagi. Tetapi kok, lho anaknya mana? Woh, ya beneran. Anaknya diumpetin di dalam rong-nya, di dalam lubang sarangnya. Pelit sekali. Di area masuk lubangnya itu ditutupi rapat pakai rumput-rumput kering sebagai portal pengaman. Mengintip pun tidak bisa. Seandainya tidak ditutup pun saya tidak tahu sedalam apa lubang sarang itu. Induk kelinci itu hanya masuk saat hendak menyusui anaknya saja. Selebihnya ia beraktivitas di luar lubang.
Hari-hari terasa lama sekali berganti. Setiap pagi saya tengok ke kandang dengan harapan mbok-mbokan anak-anak kelinci itu sudah diijinkan bermain di luar oleh induknya. Namun harapan saya tak kunjung dikabulkan oleh Tuhan. Atau induk kelinci ini yang memang terlalu judes.
Sampai suatu hari saya dikejutkan dengan sebuah tanah yang ambles tepat di sisi luar kandang. Tanah itu ambles karena terkena hujan deras pada malam harinya. Setelah saya periksa lebih lanjut ternyata amblesan itu adalah lubang lorong sarang kelinci saya. Terlihat ada rumput-rumput kering dan bulu kelinci yang mrotoli di dalamnya. Dilihat dari ciri-cirinya, sepertinya air hujan sudah banyak masuk ke lubang ini. “Wah, kepiye ini? Jangan-jangan anak-anak kelinci saya kelelep kena air hujan.” Batin saya.
Khawatir dengan dugaan saya, maka lubang itu saya bersihkan dari sampah-sampah yang terbawa oleh air hujan. Benar saja, tak begitu jauh saya korek, saya temukan empat ekor anak kelinci saya. Alhamdulillah mereka masih selamat. Walau tidak ada yang polos putih, tapi mereka lucu-lucu sekali. Saya belai sedikit seekor anak kelinci. Lembut sekali. Senangnya hati saya. Saya bersihkan lorongnya supaya sang induk bisa menemukan anaknya.
Sore hari sepulang saya sekolah. Betapa terkejutnya hati saya. Anak-anak kelinci yang imut itu sudah mati semuanya di luar lubang. Mati mengenaskan dengan sedikit luka di masing-masing lehernya. Siapa yang tega melakukan ini pada saya?? Hampir menangis saya atas tragedi genoside ini. Mereka yang sudah saya selamatkan dari reruntuhan longsor, kini diam tak berkutik di tepi lubang. Segera saya temui induknya  yang sedang santai di dalam kandang. Dengan agak marah dia saya interogasi.
“Siapa yang telah membunuh mereka? Kamu? Kenapa kamu setega itu? Mereka sama sekali tidak berdosa! Jangan diam saja. Jawab pertanyaan saya! Siapa?!” induk kelinci itu diam melengos saja sambil menggerak-gerakkan hidungnya. Verdom zeg!

Puja K, Pekanbaru, 06 Desember 2014
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar