![]() | |
Ilustrasi (google) |
Selepas
maghrib tadi saya menghadiri undangan kenduri. Acara diisi dengan tahlil dan
mendoakan ahli kubur dari orang tua dan
sanak famili si empu hajat. Eh lah kok saya yang diminta buat memimpin tahlil
dan doa. Kebetulan memang saya mengajari ngaji anak-anak setiap selesai maghrib
di mushola dekat rumah si empu hajat. Bagi saya soal memimpin kenduri ini memang
bukan pertama kali, tapi saya tak pernah dengan undangan sebanyak ini. Tak banyak
sebenarnya, tak lebih dari dua puluh orang. Tapi di kampung saya, soal beginian
pasti jatahnya kyai sesepuh desa. Lah saya kan masih imut begini? :D
Tiba-tiba
saya teringat perkataan ibu. Kalau saya susah disuruh pergi mengaji, pasti dia
akan bilang, “Lah gimana nanti kalau udah jadi bapak-bapak, kalau kenduri nggak
bisa kalau disuruh mimpin doa,, malu…” Biasanya saya akan diam dan langsung
pergi mengaji ke masjid.
Saya jadi
mbatin; “Ini lho mak, anakmu sekarang sudah bisa mimpin doa kenduri tingkat RT.
:D”
Membicarakan
soal kenduri tak akan bisa lepas dari nasi
berkat atau nasi kenduri. Khususnya bagi seorang muslim asal Jawa yang masih
kental ke-NU-annya. Nasi berkat adalah hasil dari kearifan lokal yang “Indonesiawi”.
Di Arab Saudi sana tidak ada istilah mirip kenduri yang isinya tahlilan, dzikir,
berdoa kemudian pulang sambil menenteng nasi berkat. Soal kontroversi tentang
acara kenduri atau tahlilan dari paham selain NU/aswaja, saya tak akan
membahasnya di sini.
Nasi berkat
biasanya berisi nasi, nasi gurih, lauk
ayam atau daging, sayur, sambal, kerupuk, tempe goreng, telur rebus dan
lain-lain, bisa berbeda-beda tiap daerah dan acaranya.
Penyebutan
berkat dari segi bahasa merupakan saduran bahasa arab ‘barkatun’ atau ‘barokatun’,
yang artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus. Ada pula yang mengatakan
bahwa nama berkat berasal dari singkatan ‘brek terus diangkat’ maksudnya begitu
‘brek’ (bunyi) diletakan, kemudian diangkat untuk dibawa pulang masing-masing
tamu undangan. Pemberian nasi berkat dilakukan dengan niat sedekah dari tuan
rumah yang memiliki hajat. Sebuah kegiatan sosial agama yang indah.
Lihatlah urutan
kebaikan di dalamnya. Orang yang memberi nasi berkat senang karena bisa
bersedekah dan rumahnya dijadikan tempat dzikir. Orang yang diberi nasi berkat
senang bisa membawakan oleh-oleh bagi istri dan anaknya, dan anaknya gembira
menanti datangnya berkat. Lalu mereka
makan nasi berkat dengan gembira dan kenyang. Wahai, orang dengan taraf bahagia
seperti itu, bagaimana tidak lalu mendoakan dengan ikhlas bagi si pemberi? Dan bukankah mendoakan kebaikan bagi orang lain adalah juga
berarti kebaikan bagi si pendoa? Pendek kata, sedekah itu luar biasa. Bahkan untuk
setingkat nasi berkat. Di sini juga akan semakin terasa bahwa sejatinya memberi
itu adalah juga menerima.
Malam ini saya
makan dengan separuh nasi berkat karena saya memang sendirian di rumah. Tidak akan
habis saya makan sendiri itu nasi berkat. Sambil makan saya juga sambil
berterimakasih dan mendoakan si pemberi. Karena soal nasi berkat yang sedang
saya makan ini tak berhenti di sini saja, sambil makan, saya sambil terus
terkenang masa kecil saya. Seperti pernah juga saya singgung di tulisan sebelumnya , betapa saya kecil dahulu adalah penggemar nasi berkat. Menunggu bapak
pulang kenduri adalah momen yang sangat bikin kangen bagi saya. Setiap detik
terasa lebih lama ketimbang biasanya.
Saya lalu
jadi membayangkan seorang bapak-bapak yang pulang menenteng sebungkus nasi
berkat untuk anak dan isterinya. Wuah, lah kok enak sekali kayaknya. Makan nasi
berkat bareng-bareng. Lah saya kok jadi makin merasa sendirian. Wuaah, saya ini kenapa?
Pekanbaru,
11 Juni 2015.