Kali ini
saya akan berbagi kisah perjalanan ke sebuah air terjun yang sangat ingin saya
kunjungi. Air terjun Pangkalan Kapas, atau Air Terjun Lubuk Bigau. Pernah dengar? Air Terjun ini adalah yang
tertinggi di Riau. Sekitar 150 Meter! Malah menurut penunjuk jalan, tingginya
sampai 250 Meter. Well, berbeda-beda
memang versinya, karena mungkin belum ada pengukuran yang benar-benar
terkonfirmasi. Kerennya air terjun setinggi itu langsung jatuh dari puncaknya
sampai ke dasar tanpa sedikit pun menyentuh dinding tebing. Saya bahkan tak
menyangka sebelumnya ada air terjun seperti ini di wilayah Riau. Mungkin memang
belum cukup dikenal, tapi justru itulah yang semakin membuat saya ingin
mengunjunginya. Saking inginnya saya ke sana, saya sempat berjanji dalam hati,
bahwa saya tidak akan pergi ke mana-mana apalagi ke luar daerah Riau sebelum
kesampaian pergi ke ini air terjun.
INTRO
Saya mendengar kabar soal air terjun
ini gara-gara pada bulan Desember 2014 lalu ada seorang kawan yang kuliah di
Jogja, minta ditemankan kepada saya jalan-jalan untuk keperluan mengambil
gambar beberapa tempat wisata di Riau buat tugas kuliahnya. Bahasa kerennya yah
saya jadi travel guide dadakan lah.
Hehe.
LOKASI
Sebagai
informasi awal, Air Terjun Lubuk Bigau atau juga disebut dengan Air Terjun
Pangkalan Kapas, berada di Desa Lubuk Bigau, Kecamatan Kampar Kiri Hulu,
Kabupaten Kampar. Juga disebut Air Terjun Pangkalan Kapas karena Desa Lubuk
Bigau merupakan pecahan dari desa besar atau kenagarian yang bernama Pangkalan
Kapas.
Untuk
sampai ke Desa Lubuk Bigau, ada dua jalur yang bisa dilalui. Yaitu melalui
Kelurahan Lipat Kain, Kecamatan Kampar Kiri Hulu (5-6 jam jika perjalanan
lancar, tidak hujan) dan melalui sebuah daerah di Kabupaten Lima Puluh Kota,
Provinsi Sumatera barat. Tak ada yang lebih mudah dari kedua jalan tersebut.
Untuk
sampai ke sana, kalau banyak dana boleh menggunakan mobil 4 WD (biasanya yang
melalui Sumbar). Atau berdasar info yang kami dapat dari dinas pariwisata, dari
Pekanbaru menggunakan mobil biasa, sampai di desa terakhir di Sumbar sudah ada
yang menyediakan sewa mobil 4 WD sampai ke desa Lubuk Bigau.
Kalau mau
ngirit dikit, bisa menggunakan sepeda motor (biasanya yang lewat Lipat Kain).
Syaratnya agar perjalanan lancar (ini sangat penting), sepeda motor harus benar-benar
sehat secara keseluruhan, menggunakan ban cangkul alias ban untuk medan berat,
dan spakbor dilepas. Sangat ideal menggunakan sepeda motor trail. Tidak
disarankan menggunakan sepeda motor jenis matic. Kenapa? Simak saja sampai
habis.
***
Kilas balik. Berbekal sedikit
informasi, pada tanggal 13 Desember 2014 lalu kami berangkat dengan sebuah
mobil A*anza. Kunjungan ke air terjun ini adalah plan dadakan, tidak ada di daftar rencana kami jauh-jauh hari. Sayang
sungguh disayang, perjalanan kami waktu itu tak sampai pada tujuan, malah
nyasar ke daerah Danau Sontul, pedalaman Kampar kiri. Itu pun sempat terjadi
insiden dorong-mendorong mobil karena mobil yang kami gunakan adalah mobil
pendek, sementara jalan yang kami lalui bergelombang dan berlumpur di
sana-sini. Walau nyasar, kami tetap mengunjungi sungai indah berbatu besar-besar
di hutan sekitar desa itu. Dengan pakaian berlumpur karena mendorong mobil kami
pulang membawa sedikit kecewa. Selebihnya adalah dendam, kapan saya akan sampai
ke air terjun indah itu?
****
THE
BEGINNING
Dari hari kegagalan itu, saya masih
terus memikirkan bagaimana caranya dan kapan saya akan bisa ke sana. Eh, pada
tanggal 28 Februari lalu ada sebuah status teman yang tiba-tiba mak sliwer di beranda Facebook
menuliskan sedang dalam perjalanan mau ke sana, sekejap saya langsung berubah
menjadi makhluk paling kepo di dunia.
Rupanya dia senior di kampus saya. Tidak ingat kami berteman di FB sejak kapan,
dan siapa duluan yang nge-add. Kenal sungguhan juga tidak. Tsaah. Rupanya
memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Saya dan seorang teman yang
saya komporin buat pergi langsung
menginterogasi sang senior itu. Bahkan saya tunggu sampai dia keluar dari zona
tanpa sinyal sepulangnya dari sana.
Saya yang sebelumnya pusing karena
memikirkan bahwa kalau ke sana harus pakai mobil 4 WD, langsung sumringah begitu tau bisa ke sana pakai
sepeda motor. Lha iya, harus berapa lama saya nabung buat sewa mobil 4 WD itu?
Pakai Tamiya 4 WD kali murah yak? Heheh.
PREPARING
Akhirnya diputuskan lah bahwa kami
akan pergi pada tanggal 21 Maret 2015, kebetulan tanggal merah dilanjutkan hari
Minggu, biar agak longgar waktunya. Estimasi kami, dua hari adalah total waktu
minimal yang dibutuhkan jika perjalananan lancar.
Banyak hal yang harus dipersiapkan
dan dipertimbangkan demi kelancaran perjalanan nanti. Soal perlengkapan seperti
tenda, sudah dibahas dari niat sewa tenda, sampai akhirnya malah membawa
terpal. Tak lupa pula logistik dan obat-obatan. Sepeda motor juga harus dibikin
sehat, servis ganti oli dan ganti ban semi cangkul. Ban depan saya sudah lumayan botak,
duit terbatas. Maka saya siasati, ban belakang saya pindahkan ke depan, dan
kekosongan ban belakang diganti dengan ban cangkul baru. Roda depan besar ini
ternyata memberikan manfaat juga, saat di jalan licin, motor jadi tidak terlalu
mudah tergelincir karena penampang besar, grip
jadi dapat lebih besar, juga tidak terlalu mudah terperosok ke lumpur.
Kekurangannya, nyetirnya jadi butuh tenaga lebih ketimbang ban ukuran normal.
![]() |
(Foto nyolong dari time line Sobat Ijul, ban kitorang berdua kembar. haha.. *http://metalbalbut.wordpress.com*) |
Waktu seminggu lebih terasa cukup
untuk menyiapkan segalanya termasuk olahraga kecil-kecilan supaya terbiasa saat
trekking nanti. Dari informasi yang
saya dapat bahwa jalan kaki menuju air terjunnya membutuhkan waktu kurang lebih
empat jam, sudah saya bayangkan bagaimana beratnya. Ya, memang saya bayangkan
seberat-beratnya supaya mental tidak kaget.
DEPARTURE
Tanggal 21 Maret 2015. Speaker masjid mengumandangkan bacaan mengaji tartil,
tanda waktu subuh tak akan lama lagi tiba.
Alarm hp meraung-raung. Malam setelah packing tadi saya susah mau tidur. Saya tidur cuma 2,5 jam saja. Mata
masih terasa berat, saya paksakan buat mandi. Brrr…
Singkat kata, pukul 05.30 saya
berangkat sekalian menjemput teman yang akan saya bonceng, sang navigator ke
daerah Rimbo Panjang. Setelah itu kami langsung menuju ke simpang Kubang Raya,
tempat yang kami pilih untuk berkumpul. Di sini kami berdua menunggu. Setengah
jam menunggu, belum ada kejelasan kapan anggota lain akan tiba. Ini sudah molor
sekali. Ada pula yang masih dalam perjalanan dari Siak. Walah, edan. Bisa kacau
ini jadwal. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu di rumah teman yang saya
bonceng di Lipat Kain saja langsung. Di sana saya bisa sambil membongkar
spakbor dan body motor sebagai
antisipasi kalau turun hujan, mengikuti saran dari teman di FB yang pergi ke
sana kemarin. Spakbor mereka hancur katanya gara-gara penuh dengan tanah liat
yang lengket sehingga menghambat laju roda.
Ketika saya tengah membongkar motor,
rombongan pertama datang dengan tiga sepeda motor. Agak lama kemudian datang
lagi rombongan dengan tiga motor. Jumlahnya jadi tujuh sepeda motor dan empat
belas orang anggota termasuk saya. Agak di luar perkiraan awal karena yang
konfirmasi hanya sekitar delapan sampai sepuluh orang. Bukan apa-apa, saya cuma
khawatir yang dadakan ikut ini kalau kurang tahu seperti apa rute yang akan
dilewati, kurang persiapan, terus banyak hambatan dan mentalnya down kan malah kasihan sendiri. Hehe..
Kami meneruskan aksi
bongkar-bongkar. Saya agak kaget ternyata ada rombongan yang pakai sepeda motor
tipe matic, motor Mio keluaran awal.
Wah, yakin ini? Tapi mending sih, spakbor belakang motor mio keluaran lama
memiliki ruang yang agak lebar ketimbang yang baru-baru keluar, jadi tidak
begitu nyangkut oleh lumpur. Tapi tetap saja agak rendah badannya sehingga
rawan nyangkut di jalan yang bergelombang parah. Ya, gimana lagi. Bongkaaar!
Pendek kata setelah semua persiapan
beres, makan juga udah, kami berangkat dari Lipat Kain sekira pukul satu siang.
Eh, kurang dikit. Waktu yang sungguh meleset jauh dari yang sudah direncanakan.
Ini hati saya sudah nggak enak aja bawaannya. Mau jam berapa sampai sana?
Habis kota kecil Lipat Kain, kami
masuk ke simpang sebelah kanan, tak seberapa jauh, kita akan bertemu simpang
tiga, yang kiri mengarah ke daerah Kuntu dan Gema, yang kanan itu tujuan kita.
Jalan masih aspal sampai beberapa kilometer ke depan. Setelah itu jalan aspal
habis dan berganti jalan tanah berkerikil. Masih lumayan enak dilalui. Maju ke
depan lagi kita akan menjumpai beberapa
jalan dengan pengerasan beton. Beton ini masih putus-putus sekira jarak
beberapa ratus meter hingga satu kilometer. Terus begitu dari desa satu ke desa
lainnya. Tidak ingat saya desa apa saja yang kami lalui. Saya fokus berkendara.
Sampai di desa Batu Sasak kami
berhenti untuk istirahat. Tidak ingat juga saya waktu itu jam berapa. Setelah
dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan yang masih panjang. Dari desa ini kita
mulai disambut dengan jalanan yang naik turun seperti roller coaster. Awal-awal dari desa ini, jalanan kembali dilapisi
dengan beton sampai beberapa kilometer ke depan. Setelah beton ini terlewati
habis, barulah kita melewati jalan yang sesungguhnya.
OFFROAD
Perlahan-lahan jalanan becek,
berlumpur dalam, tanjakan super entah berapa derajat mulai menghadang kami.
Sepeda motor mulai berkenalan dengan trek berat di sini. Pada beberapa tanjakan
kami sanggup lewati. Pada banyak tanjakan kami harus menurunkan penumpang,
bahkan saking tingginya itu tanjakan, kami juga harus menurunkan diri sendiri
dan mendorong sepeda motor yang dari raungannya terdengar sudah kepingin
meledakkan diri.
Kami beristirahat untuk yang
pertama, untuk medan berat pertama ini, dengan jantung jedug-jedug seperti
speaker aktiv yang over loudness. Oh iya, ada anggota yang cewek bawa motor
sendiri lho. Setrong juga untuk seorang cewek.
Saya salut sekaligus ketar-ketir
nih. Jalannya bener-bener ekstrem.
Kami cukupkan istirahat dan
meneruskan perjalanan. Seperti saya katakan, tanjakan tadi adalah perkenalan.
Maka ke depan berikutnya entah berapa kali kami harus naik turun dari sepeda
motor. Beberapa anggota sudah ada yang terjatuh karena terpeleset. Saya tidak
bisa membayangkan betapa sulitnya masyarakat yang hidup di daerah ini, dengan
akses jalan seberat ini. Saya malah sempat tidak percaya bahwa ini masih berada
di wilayah Kabupaten Kampar.
Ke depan, beberapa desa kami lewati.
Langit mulai terlihat agak gelap seperti akan turun hujan. Kabut mulai
menyelimuti sekitar. Kami jadi terpisah. Saya dan satu motor anggota lain di
depan. Sisanya di belakang. Mungkin juga terpisah. Kami berdua sempat beberapa
kali berhenti menunggu anggota yang di belakang tapi tak kunjung kelihatan.
Gerimis mulai turun. Kabut makin banyak. Kami berdua berjalan pelan-pelan. Tak
lama kemudian hujan turun, perlahan lalu semakin deras. Kami dua sepeda motor
sampai di sebuah desa dan berteduh di sini. Hujan turun deras sekali. Kami
tidak tahu apakah rombongan di belakang berhenti atau masih terus berjalan. Ada
HP pun kurang berfungsi karena sinyal sudah tidak terjangkau sedari awal masuk
hutan tadi.
Kami berteduh sambil memakan jagung
rebus. Kebetulan ada seorang bapak penjual jagung rebus juga sedang berteduh di
sebuah warung milik warga. Saya terkejut. Bapak ini ternyata berjualan dari Payakumbuh,
Sumbar. Ya, jalan yang kami lalui memang tembus ke sana. Dari Payakumbuh, kata
bapak penjual jagung tersebut membutuhkan waktu empat jam perjalanan
menggunakan sepeda motor. Begitu tiap hari ia melakoni hidupnya yang sudah
bertahun-tahun jualan jagung di desa-desa daerah ini. Luar biasa.
Mungkin sekitar satu jam lebih kami
menunggu, barulah rombongan di belakang muncul dengan basah kuyup. Ternyata
mereka terus berjalan. Saya membayangkan ke depan pasti jalanan entah seperti
apa rupanya. Hari sudah menjelang sore. Tinggal satu desa lagi. Kami
melanjutkan perjalanan panjang ini. Karena hujan, jalanan pasti becek dan
berlumpur. Tidak bisa tidak, sampai desa terakhir pasti hari sudah malam.
Lagi dan lagi kami harus berjuang
keras melalui jalan naik turun berlumpur, berbatu cadas. Banyak sekali
permukaan jalan licin dan berlumut. Ditambah lagi guyuran hujan deras tadi,
jalan yang lengket semakin menjadi. Jika jalanan menanjak curam, penumpang
harus diturunkan karena sepeda motor tidak kuat ataupun ban yang cuma ngesot.
Jika jalanan menurun curam dan licin, penumpang juga harus diturunkan untuk
menghindari resiko terjatuh.
![]() |
(Tanah lengket menhgambat laju sepeda motor) |
![]() | |||
(ke depan, tanah lengket benar-benar sanggup melapisi sekujur motor) |
![]() |
(mak nyuss.. kaki siapa ya?) |
Sejauh ini, saya belum ada terjatuh karena ban semi cangkul di belakang dan ban besar di depan memberikan grip yang cukup baik. Bagi yang menggunakan ban biasa, sepeda motor bisa melorot begitu saja walaupun sudah direm. Untuk melakukan pengereman yang aman saya lebih banyak menggunakan engine brake atau pengereman dibantu putaran mesin ketimbang menarik tuas rem. Jadi ban tidak terkejut dan melorot. Susahnya yang pakai motor matic, tidak bisa melakukan engine brake, sehingga sepenuhnya mengandalkan rem dan resiko terpeleset lebih besar. Tapi di tanjakan aman, harus saya akui itu matic torsinya gede, lah jupi saya sudah ngeden lah kok dia enak-enakan nyalip. Hehe..
Hari terus berangsur gelap. Ini jelas
sudah malam. Kalau saya boleh menerka, mungkin sekitar pukul setengah delapan
malam. Tak cukup konsentrasi untuk sekadar melongok jam di tangan. Jalanan terlalu
mengerikan. Sisa gerimis masih ada sedikit. Sepanjang jalan yang terlihat hanya
jalan tanah lengket dan kiri kanan pepohonan hutan cukup lebat. Kami terus berjalan
perlahan. Saya bersyukur karena sejauh ini motor tidak ada masalah. Saya terus
di urutan depan menjajaki sekujur jalan.
“Pilih jalan yang bagus dong!” kata
teman yang saya bonceng.
“Loh, memangnya ada jalan yang
bagus?” jawab saya kalem.
Sampai di ujung sebuah turunan
panjang nan berbatu, saya terhenyak. Perlahan sorot lampu sepeda motor saya
menerpa sebuah sungai kecil mengalir deras. Tidak ada jembatan. Saya menunggu
rombongan di belakang. Setelah sampai, semuanya mulai panik. Lha ini gimana mau
lewat? Jam di tangan menunjukkan pukul delapan malam lebih. Dunia sekitar gelap
gulita. Beberapa anggota mengecek kedalaman sungai. Arusnya deras, airnya yang
terdalam setinggi pinggang.
Setelah beberapa anggota
memperhatikan gerakan air, ternyata air bergerak surut. Kami sepakat menunggu
sampai air surut. Beberapa anggota merasa kedinginan. Saya diam menghemat
energi. Suasana hening diiringi riak air yang deras mengalir. Kunang-kunang
kerlap-kerlip berterbangan, tanda udara masih segar. Namanya juga hutan. Dalam
hati saya bergumam, sampai kapan ini nunggunya air surut? Hujan deras sore tadi
pasti menumpahkan banyak sekali air.
Lama sekali kami menunggu, mungkin
sekitar satu jam. Tapi itu adalah satu jam yang lama sekali. Samar-samar kami
dengar suara sepeda motor dari arah bukit di belakang. Ternyata bapak penjual
jagung yang tadi sore dan tiga orang pemuda yang mengaku dari Batu Sasak.
Beruntungnya kami. Orang-orang ini tentu sudah biasa lewat sini sehingga tahu
apa yang harus dilakukan. Mereka lalu mencari dua batang kayu yang seukuran
lengan besar sedikit. Ya, sepeda motor kami gotong berempat orang, satu demi
satu. Terasa deras sekali arus air. Saat menggotong motor, saya bisa berjalan
mantap. Tapi sekembalinya untuk menggotong motor yang lain, saya berjalan
terhuyung-huyung bahkan nyaris jatuh menahan arus.
Setelah semua berhasil menyeberang
sungai, kami melanjutkan perjalanan. Kami sangat beruntung karena dibantu tiga
orang pemuda desa tadi. Pengendara cewek digantikan oleh pemuda tadi, dan
membonceng ke pemuda lainnya. Pemuda-pemuda ini sangat lihai berkendara di
jalan licin. Saya bersyukur ada mereka, tapi saya juga harus tetap waspada,
karena saya juga tidak kenal mereka. Ini di tengah-tengah hutan dan segalanya
bisa terjadi.
THE REAL OFFROAD
Selepas dari sungai tadi, inilah
jalan yang paling berat dari seberat-berat jalan yang pernah kami lalui
sebelumnya. Jalan ini habis digeledor, didorong, diratakan dengan bulldozer.
Jalan naik turun, sangat licin, dan tanahnya itu lengket luar biasa. Ia bisa
menempel sangat tebal pada tapak kaki. Pada setiap tanjakan hampir selalu motor
harus dituntun. Bahkan motor saya yang pakai ban semi cangkul pun hanya
berputar di tempat sementara motor diam saja karena saking lengketnya tanah.
Saat berhenti sebentar, saya cek ban
bagian belakang, wah semuanya penuh dengan tanah. Rantainya tidak kelihatan
karena dibungkus tanah kuning tebal sekali. Saya membersihkan tanah dari ban
supaya tidak terlalu licin, walau logikanya, berjalan satu dua meter ke depan
juga sudah penuh tanah lagi.
Malam gelap diselimuti kabut. Kami
terseok-seok di atas jalan licin. Motor berjalan sangat lambat. Tenaga yang
tersisa sudah semakin sedikit. Di sebuah tanjakan tinggi, seorang anggota
berteriak-teriak minta bantuan dari bawah. Diketahuilah bahwa salah satu sepeda
motor kami mengeluarkan asap berbau gosong. Motor matic Mio tepatnya.
Kemungkinan asap berasal dari rumah karet belting yang terlalu panas atau juga
dari kampas ganda yang mulai gosong. Penyebabnya saat di tanjakan, ban dipenuhi
tanah sehingga berat dan ban tidak mampu berputar, sementara mesin tetap dipacu
tinggi. Ini motor harus dibantu dorong dari belakang untuk bisa sampai ke atas
tanjakan. Akhirnya, satu lagi penumpang cewek harus dibonceng oleh pemuda yang menolong
kami.
Dengan sisa tenaga yang ada, saya
terus melajukan motor sebisanya. Saya harus mengejar anggota yang dibonceng
pemuda tadi. Saya takut kalau terjadi apa-apa nanti kepiye? Ini hutan belantara
je.. tidak ada kantor polisi. Walah, rasa was-was sudah membungkus saya seperti
tepung membungkus ayam goreng kentucky.
Saya terus ngebut sebisanya,
meninggalkan rombongan di belakang, tapi cewek yang dibonceng di depan tadi
belum kelihatan juga. Pemuda di depan tadi seperti bisa melajukan sepeda motor
bagaikan di jalan aspal, bahkan di jalan yang begitu brengsek ini. Entah berapa
kali saya terjatuh dan bangkit lagi. Maklum juga, badan sudah sangat loyo. Satu
kali motor saya nyangkut berdiri di jembatan kayu kecil, dan saya yang
nyemplung di bawahnya. Lah untung itu motor tidak terus ikut nyemplung menimpa
saya. Betis kiri saya yang lecet terkena pijakan kaki, sudah tak terasa lagi. Saya
cuma sedang bingung, ini gimana caranya ngangkat motor saya yang nyangkut.
Saat saya sedang mumet ngakalin
motor yang nyangkut itu eh, tiba-tiba seorang pemuda yang membantu kami, yang
tadi saya tinggalkan bersama rombongan di belakang sudah menyusul saya. Mereka sudah
terbiasa hidup di alam begini sehingga jalan yang hancur seperti neraka bagi
kami, bagi mereka tak terlalu menjadi masalah. Kami lalu mengangkat sepeda
motor saya yang nyangkut. Kami lanjut berjalan lagi. Dari sini saya masih
terjatuh lagi satu kali. Sepasang kaki sudah gemetaran sedari tadi. Jalanan lengket
dan licin seperti tidak menginginkan kami berdiri.
Tak peduli
seberapa loyo badan saya, saya terus berusaha berdiri lagi. Sekarang, dua orang
cewek sudah digondol dua orang tak dikenal di depan sana. Pokoknya saya harus
kejar. Maju lagi. Ngesot lagi. Wes, pokoknya ndak itungan berapa kali motor
saya harus ngesot indah. Mesinnya sampai berbunyi rrrrr setiap di tanjakan
tinggi. Ini kalau sampai jebol mesinnya ya sudah nangis lah saya di tengah
hutan belantara. Di jok belakang, teman yang saya bonceng tak pernah
menghentikan doanya. Malam itu, seperti malam paling gelap, paling panjang yang
pernah saya lalui.
Akhirnya setelah entah seberapa lama, sampai
juga saya di desa. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tersusul juga
anggota cewek yang tadi di depan. Lega rasanya. Mereka tidak apa-apa. Haha.. Saya
beristirahat dan minum banyak sekali. Kalau
tidak salah, sekira pukul sepuluh malam saya sampai di desa itu. Agak lama kami
menunggu, rombongan di belakang belum juga menyusul. Kami lalu dibawa ke rumah
seorang warga yang memang sudah biasa dijadikan tempat menginap bagi pengunjung
yang kemalaman seperti kami. Setelah
beberapa lama barulah seluruh rombongan sampai dengan lengkap. Well, kami harus
berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah menolong kami.
Haha..
Lelah sekali rasanya badan. Kami
berkendara naik turun perbukitan kurang lebih sepuluh jam karena trek berat
setelah diguyur hujan. Di rumah warga ini kami juga dipertemukan dengan orang
yang biasa menjadi pemandu jika dibutuhkan untuk menuju air terjun. Awalnya
sebelum berangkat saya berencana tidak pakai pemandu, tetapi karena rombongan
terbilang banyak, dan sebagian besar cewek, maka saya ragu kalau tanpa pemandu.
Rombongan sebanyak itu kalau tersesat sedikit saja bisa panik dan tambah
kacau. Sembari mereka negosiasi dan
mengobrol dengan warga, saya berbaring karena terasa capek sekali ini badan.
Capek sekali karena ditambah nguber-nguber sang pemuda jagoan motor offroad tadi. Hehe.. Badan yang saking
capeknya malah agak susah dibawa tidur.
Pagi hari pukul setengah lima saya
terbangun sambil menggigil. Jaket hangat tebal yang saya pakai juga kurang
hangat rasanya. Udara pagi di desa ini sangat dingin. Pendek kata, setelah
semua siap, sekira pukul enam lebih kami berangkat bersama pemandu. Kami
menyusuri jalan beton kecil di antara pepohonan karet warga dan hutan dengan
sepeda motor, kira-kira sejauh satu setengah kilometer. Sampai di ujung jalan,
dimana jalan beton tadi habis kami memarkirkan sepeda motor. Di sini sudah ada
beberapa sepeda motor pengunjung lain yang berangkat dari kemarin hari.
JALAN KAKI
Sekira pukul tujuh. Dari sini jalan
kaki dimulai. Katanya sih sekira 3 sampai 4 jam perjalanan. Yup, satu dua
langkah kaki dijalankan membelah hutan belantara. Mengikuti jalan setapak yang
sudah ada, dan tak seberapa jelas jalurnya. Sesekali terdengar teriakan dari
dalam hutan, tapi tidak jelas entah dari mana. Kadang terdengar seperti
teriakan orang yang bersahut-sahutan. Setelah saya tanya pada pak pemandu,
apakah benar itu orang yang pulang dari air terjun?
“Haha, di
sini mana ada orang.” Katanya dengan santai. Pak pemandu ini jalannya cepat
sekali.
Terkadang
kita masih kebingungan mengambil jalan karena meskipun dengan pemandu, tapi si
pemandu ini tiba-tiba sudah berjalan jauh di depan sana. Bagus juga sih, kalau
nurutin kita ini ya kapan sampainya. Tapi kalau ada yang nyasar kepiye? Ah, pak
pemandu tentu lebih tau. Wong dia sudah biasa.
Kami terus berjalan. Awal-awal
perjalanan, kita akan menyeberangi beberapa sungai dangkal. Jalur awal yang
kita lalui kebanyakan berupa jalan yang dipenuhi semak belukar, tumbuhan pakis
kawat yang suka nyantol di sepatu, tas dan baju. Topi rimba yang saya pakai
beberapa kali tersangkut. Bagi yang cewek, jilbabnya pasti suka kecantol.
![]() |
(istirahat sejenak) |
Maju ke depan lagi, jalur sudah agak
lega, tak ada lagi pakis kawat yang nakal mencumbu langkah. Kami beristirahat
sejenak. Saya mulai gerah dan melepas jaket tebal. Ini tanjakan pertama.
Istilahnya, inilah tanjakan pemanasan. Kabut mengelilingi kami. Bahkan uap yang
naik dari kaus yang basah karena keringat pun bisa dilihat. Badan saya ngebul
mirip mie instan yang baru diseduh.
Kami lanjutkan langkah kaki. Jalur kali
ini sedikit naik turun di sekeliling pohon-pohon hutan. Seperti biasa, sang
pemandu sudah berjalan jauh di depan. Kami
terus mengikuti. Di sepanjang jalur terdapat beberapa pohon yang diikat dengan
tali plastik raffia sebagai tanda. Entah siapa yang memasangnya. Setiap kami
ragu, kami akan mencari tanda tali itu sambil “mengendus-endus” tanah mana yang
paling sering diinjak. Atau mencari pohon yang terdapat bekas bacokan parang. Nampaknya
sang pemandu rajin membuat tanda bacokan pada pohon setiap melakukan kegiatan
memandu.
Langkah demi langkah kami lalui
sampai terpisah menjadi beberapa kelompok, sesuai kecepatan jelajah kaki. Kelompok
yang depan, beberapa orang dengan pemandu, saya dan beberapa orang di tengah,
dan kelompok terakhir di belakang. Kalau semua harus menunggu yang jalannya
lambat, entah berapa jam kami akan sampai di tujuan. Sebab semakin besar
kelompok, semakin banyak berhenti.
Sepanjang jalan kita akan disuguhi
kesejukan udara yang benar-benar menyegarkan. Kadang kita dengar suara hewan
hutan seperti teriakan manusia bersahut-sahutan. Mungkin kumpulan hewan primata.
Sesekali di beberapa jalur terdengar gemuruh air terjun. Namun entah air terjun
yang mana. Karena ternyata, lumayan banyak juga air terjun kecil-kecil selain
air terjun utama tujuan kami. Kondisi trek yang dilalui bervariasi kontur tanah
dan tingkat kesulitannya.
Kita juga akan menjumpai bebatuan
yang menjorok ke tepian jurang dengan air terjun kecil mengalirinya. Kami mengisi botol air minum di sini. Airnya bersih
dan enak untuk diminum. Kita bisa beristirahat sejenak di bawahnya. Sayang,
dinding batu dan atap tebing ini sudah banyak dicoret-coret oleh pengunjung yang kurang bertanggung jawab. Apa gunanya
coba?
![]() |
(Anggap saja saya tidak ada) |
![]() |
(view ke jurang) |
Setelah cukup istirahat, kami
melanjutkan perjalanan. Dari sini kita akan semakin banyak menjumpai tanjakan. Namun
juga masih bertemu beberapa jalur menurun untuk kemudian menanjak lagi. Langkah
saya mulai tertinggal lagi oleh pemandu. Ada dua orang anggota cewek yang
sanggup terus berjalan bersama pemandu. Salut saya dengan stamina mereka yang
lumayan setrong.
Langkah saya mulai terasa berat di
sini. Beban tas yang saya bawa dobel, depan belakang, membawa logistik. Beberapa
kali kita harus terpeleset dan berpegangan pada pohon semak. Agak jauh ke
depan, kita akan bertemu tangga yang dibuat dengan kayu bulat seadanya dan
sudah mulai lapuk. Tingginya sekira tiga meter menaiki tebing. Anak tangganya
terbilang terlalu tinggi untuk para anggota cewek. Saya naik sambil menggendong
dua tas, di punggung dan di dada. Pak pemandu dengan enaknya merekam saya yang
gemetaran memanjat.
Selepas dari tangga tadi, kita akan
menjumpai satu lagi jalur menurun, di sini lah tempat terakhir kita bisa
mendapatkan air sebelum sampai puncak di air terjun nanti. Disarankan untuk
mengisi air di sini.
Setelah itu, hampir sepenuhnya jalur
yang kita lalui adalah tanjakan. Semakin menanjak semakin sering kita berhenti.
Semuanya terlihat kelelahan. Kecuali pemandu tentunya. Kali ini semua anggota
berkumpul lengkap. Ada seorang anggota cewek yang hampir menyerah di sini. Entah
menangis apa tidak saya tidak tahu. Biarlah anggota lain yang membujuk. Saya kurang
ahli dalam hal bujuk-membujuk.
Pak pemandu melanjutkan langkah
meninggalkan kami yang bingung. Saya mengekor pak pemandu. Pelan tapi pasti. Saya
yakin, anggota yang ingin menyerah itu pasti bisa dibujuk.
Saya terus
melangkah. Dan semakin ke atas, semakin mental kita diuji. Tanjakan seperti
tidak ada habisnya. Beberapa anggota sudah menanyakan krim pereda nyeri otot
kepada saya. Yah, kaki saya juga sudah gemetaran sebenarnya.
Selanjutnya kami terus melangkah. Beban
di punggung terasa sangat berat hingga beberapa kali saya mesti melepaskannya
dan meletakannya di tanah yang bisa buat duduk. Terkadang juga cuma bersandar
di pohon karena terlalu sulit untuk duduk. Satu langkah di sini terasa sangat
berat. Saya mulai tertinggal lagi. Beberapa orang sudah menyalip saya. Biarlah mereka
duluan. Saya berjalan perlahan-lahan. Yang penting selamat.
Sekarang saya berada di
tengah-tengah sendirian. Tidak tahu saya entah seberapa jauh lagi itu air
terjun. Sepertinya mental saya juga mulai menurun. Ragu, antara sanggup dan
tidak. Saya berisitirahat cukup lama.
Setelah cukup, saya berdiri dan
melangkah lagi. Lima langkah berhenti. Maju ke depan lima langkah dan berhenti
lagi. Begitu terus entah beberapa lama. Lama kelamaan, target saya cuma dari
satu pohon ke pohon lain dan harus istirahat. Lelaaaah sekali.
Beberapa saat kemudian saya berjalan
lagi. Sesekali berpegangan pada akar pohon di tanah saat trek sangat curam. Terus
melangkah walau selambat siput.
Beberapa waktu
kemudian, saya bediri sambil membungkuk memegang lutut yang rasanya mau copot. Mengatur
nafas baik-baik. Saya perhatikan sekeliling, pohon semua. Saya sedikit
mendongak ke atas, mencari langit, ingin mengecek apakah mendung ataukah cerah.
“Oh,
lumayan cerah.” Batin saya sambil melihat langit yang samar tertutupi daun
pepohonan hutan.
Tetapi ternyata
saya salah. Setelah saya perhatikan berulang-ulang, apa yang saya kira langit
itu ternyata tebing raksasa yang menjulang setinggi ratusan meter. Saya terkejut
bercampur gembira. Berarti air terjun sudah dekat!
Entah harus
bagaimana saya menjelaskannya, tetapi secara tiba-tiba dan sulit dipercaya saya
seperti punya seribu tenaga kuda untuk melangkah. Saya melangkah cepat sekali
tanpa berhenti. Saya benar-benar melangkah tanpa henti, padahal itu tanjakan
mungkin ada ratusan meter jauhnya. Di sini saya semakin yakin bahwa motivasi
tinggi di hati sangat berpengaruh pada kesanggupan langkah kita.
Semakin dekat
dengan air terjun, semakin sejuk udara yang kita hirup. Segar sekali rasanya. Bahkan
lama-kelamaan malah saya merasa kedinginan. Beberapa langkah kemudian, barulah
saya bisa melihat indahnya air terjun ini. Air terjun langsung dari atas ke
bawah tanpa menyentuh dinding. Tak henti saya berdecak kagum.
Waktu saya tanya kepada pak pemandu, berapa
sebenarnya tinggi air terjun ini, ia menjawab tingginya 250 meter. Yang saya
lihat di beberapa situs internet, ada yang mengatakan 130 meter, 150 meter, ada
pula yang mengatakan lebih dai 200 meter. Beda versi, beda pula angkanya. Ya,
mungkin memang belum ada yang benar-benar terkonfirmasi. Kata bapak pemandu,
kalau mau tau seberapa tinggi sebenarnya, harus pakai tali yang diulur dari
atas. Wah, kebayang bagaimana rempongnya setinggi itu. Heheh..
Jam 11
lebih saya sampai. Saya meletakkan tas yang sedari tadi menggantung manja di
punggung dan dada. Duduk berselonjor memandang indahnya air terjun yang tinggi
menjulang dan batu-batu raksasa di bawahnya. Setelah perjalanan demikian
panjang dan akhirnya sampai, ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Tak begitu
lama kami bersama pemandu lalu menyiapkan semuanya untuk memasak. Perut yang
sedari kemarin belum kemasukan nasi harus diisi. Meski saya akui setelah sampai
di sini, rasa lapar tidak lagi terlalu berasa, tapi saya yakin tubuh harus
segera dipulihkan lagi.
Di sela
saya membuat api untuk memasak, rombongan terakhir tiba. Mereka terlihat begitu
gembira. Bahkan seorang anggota yang tadi di bawah dengan tanpa tenaga mulai
menyerah, sekarang bisa berlari kegirangan dan langsung menuju air terjun.
Kami memasak sambil menikmati
pemandangan serta sejuknya suasana. Beberapa anggota langsung menuju air terjun
dan mandi. Ada yang memanjat-manjat batu-batu besar. Mereka terlihat kecil
sekali di antara batu-batu itu.
![]() |
(masyak dulu sob...) |
Setelah makan, saya duduk leyeh-leyeh lagi menikmati pemandangan. Saya
kepingin sekali camping di tebing
bawah air terjun itu. Tapi ndak kesampaian. Katanya untuk ke sana, dari tempat
kami memasak mungkin butuh waktu sekitar 30 menit atau bahkan satu jam jalan
kaki. Padahal deket kelihatannya. Saya lalu pergi ke batu-batu besar untuk
membersihkan badan dan membasuh muka. Tidak mandi, takut kedinginan. Saya harus
menyimpan tenaga buat turun nanti. Beban yang saya bawa berat. Hehe..
![]() | ||
(dokumentasi anggota kelompok) |
![]() | |
(dokumentasi kelompok) |
![]() |
(Sumber gambar; gemalahanafiah.wordpress.com) |
Pendek kata, setelah cukup puas, kami bersiap-siap membereskan segala sesuatunya dan pulang lagi pada pukul setengah dua siang. Agak berat rasanya meninggalkan air terjun ini. Tapi mau bagaimana lagi, kita harus pulang.
Perjalanan pulang tak seberat ketika
berangkat tadi. Karena kebalikannya, sekarang yang banyak adalah jalur menurun
sehingga tak terlalu membuang tenaga. Tapi
tetap harus hati-hati karena rawan terpeleset.
Kali ini rombongan terbagi menjadi
dua. Saya dan beberapa anggota di depan. Pemandu dan beberapa anggota di belakang.
Kami sampai di tempat parker sekira jam lima sore. Sambil menunggu anggota
sampai, kami memasak lagi.
Setelah memasak, kami kembali ke
desa. Dari desa kami pulang sekira pukul setengah delapan malam. Kami banyak
berterimakasih atas semua bantuan dan keramahan warga Desa Lubuk Bigau. Perjalanan
panjang ini tak akan mudah terlupakan.
Karena capek mengetik, akhirnya saya
sampaikan bahwa seluruh anggota dapat kembali dengan selamat sampai ke Pekanbaru
lagi. Iya toh? Puncak kesuksesan dari sebuah perjalanan dan petualangan kan,
yang penting bisa kembali pulang dengan selamat.
Sebelum saya tutup nih, ada yang berminat untuk mencucikan motor saya? hehe..
Salam, Puja K.
![]() |
(Jupi bulukan) |
Salam, Puja K.
Ditulis:
Pekanbaru, 14 April 2015
Kapan mau brangkat lagi bro ...,?, kabar2 di blog ini ya...
BalasHapusMaaf baru sempat balas.
HapusHehe.. belum tahu lagi Bang.. Udah dua kali kesana soalnya. Tapi kalau soal informasi jalan bolehlah saya bagi.
Kasih tau informasi jalannya bg
HapusTelpon aja bro.. 085374321299
Hapus