Links

Senin, 12 Mei 2014

Gatal (Sebuah cerpen)




Gatal sedang melanda kulit isteri Tukijo. Bintik-bintik dan merah warnanya. Entah apa penyebabnya, yang pasti penyakit itu berhasil menambah kesibukan isterinya. Sibuk garuk sana-sini. Digaruk disini, yang sana jadi ngiri. Digaruk yang sana, sini nggak mau ngalah. Tukijo jadi bingung sendiri melihat tingkah si isteri yang  makin aneh itu.
“Kenapa toh dik, kok segitu amat garuk-garuknya?” tanya Tukijo suatu hari saat isteri sedang memasak di dapur.
“Ih, mas ini memang nggak bisa ngerti kalau nggak ngerasain sendiri.” Jawab isterinya ketus sambil terus menggaruk-garuk.
“Lho ya, kalau aku perhatikan kok repot amat. Sebentar-sebentar garuk. Itu lagi ngirisin tempe ntar ikut kena garuk lagi.”

“Ya memang iya. Namanya juga gatal. Jangankan cuma tempe, lama-lama muka mas aja bisa aku garuk!” nada bicara si isteri naik menanggapi bibir si suami yang mulai cerewet.
Tukijo menyelamatkan diri ke beranda sambil menggondol secangkir kopi. Dalam hatinya menggerutu. Kenapa dahulu badan isterinya mesti sebanding dengan badannya sendiri. Kalau isteri sedang sewot begini risikonya bisa ngeri. Badan yang sebanding besar itu, kalau mengayunkan kepal tangan yang ditambah kejengkelan sempurna pasti sudah cukup membuat Tukijo klenger. Meski memang tak pernah benar-benar terjadi, tapi cukup  dengan membayangkannya saja Tukijo merasa sudah benar-benar klenger.
Damai udara sore memenuhi paru-paru. Kopi di cangkir Tukijo tinggal setengahnya. Sambil bersantai, sambil Tukijo merenung. “Penyakit kok ya sembarangan sekali. Datang mesti pas tanggal tua begini. Sudah eneg aku melihat isteriku garuk-garuk melulu. Kan nggak asyik, masa orang cantik kerjaannya garuk-garuk terus.” Pikir Tukijo setengah mangkel.
 Ia memang berniat mengantar isterinya ke dokter, tapi apa daya duit sedang sepi. Bukan tak pernah berusaha, ia sudah muter-muter cari utangan ke temannya, tak pernah dapat. Kere semua. Maklum tanggal tua. Maklum anak-anak mesti sekolah. Maklum orang pas-pasan. Maklum kemarin baru saja servis sepeda motor, ban mesti ganti. Yang dalam sudah soak, yang luar sudah botak. Ah, lama-lama kepalanya sendiri yang bisa botak.
“Aku nggak tahan kalau mesti garuk-garuk gini seumur hidup, Mas.” Keluh isterinya suatu malam.
“Yaa, dinikmati saja.” sahut Tukijo ngawur seperti biasa.
“Nikmati apanya, gatal begini kok suruh dinikmati. Mas kalau sableng jangan kebangetan dong..”
“Ya gatalnya itu yang dinikmati. Coba kalau lagi nggak gatal, nggak enak juga toh digaruk?”
“Kan capek Maas. . .” si isteri mulai kesal.
“Ya udah sini tak garukin. . ..”
“Halah... ogah Mas, dari kemaren kalau mas yang nggaruk itu nggak pernah jelas. Yang nggak gatel juga kena garuk semua. . . meleset!”
“Namanya juga nggak tahu dik,” Tukijo tertawa. Si isteri merengut.
“Sabarlah dulu. Bulan depan nanti kita berobat. Persediaan kita bulan ini sudah tipis, berobat ke dokter itu kan nggak semurah beli kerupuk, dik..”
“Iya, kata itu sama dengan kemarin. Aku juga masih inget. Bukannya nggak sabar, tapi gatalnya ini yang bener-bener sialan. Aku ngerti kok mas.” Kata isterinya lalu pura-pura berangkat tidur. Tukijo memiringkan sebelah alisnya, lalu ngeloyor ke beranda. Merebahkan badan di kursi  hingga ketiduran sampai pagi di sana.
“Aduh mas, gatel bangeet,,,,”  rengek isteri pada malam berikutnya. Tukijo cuma  tersenyum.
“Ah, mas ini cengar-cengir terus bisanya. Mbok ya empati sikit kenapa. . .”
“Empati gimana, aku mesti pura-pura gatel juga gitu?”
“Nggak juga sih. Bayangin aja gimana rasanya. Masa isterinya sakit gatal gini malah mas cengar-cengir gitu.” Si isteri memberondong.
“Badan kita aja beda, gimana bisa ikut ngerasain gatalnya. Disalurin pake kabel? Sudahlah. Anggap aja ini nikmat.” Tambah Tukijo. Isterinya melotot.
“Nikmat apanya?! Mas ini sablengnya mbok ya diliburkan dulu kenapa. . .”
“Kalau sakit, terus kita sabar menghadapinya kan itu bisa jadi mengurangi dosa kita. Dosa kita dikurangi itu nikmat namanya kan?” Ujar Tukijo memotong. Kali ini berlagak seperti ustadz.  Si isteri diam. Seperti patuh mendengarkan. Padahal sejatinya ia cuma menjadi pendengar palsu kepada khotbah singkat  suaminya barusan. Sambil ia sibuk menggaruk, sambil ia membatin. Betapapun aku tak pernah lupa soal  konsep sakit yang seperti itu. Aku bukan mau menggerutu. Aku cuma kepengin curhat. Betapa gatal ini begitu tidak enaknya. Eeh, dia malah guyon. Sialan!
Tukijo ikutan diam. Sebelah hatinya puas telah merasa menang yang ditandai dengan diamnya si isteri. Tapi sebelah hatinya yang lain merasa terenyuh juga. Ia jadi merasa betapa brengsek dirinya. Tapi sudahlah, aku toh tak pernah benar-benar berniat untuk brengsek. Aku cuma hendak menghadapi persoalan ini dengan caraku sendiri. Bisiknya pelan, masih di dalam hati.
Dua hari kemudian. Pada sebuah malam saat Tukijo dan sang bidadarinya hendak berangkat tidur. Si isteri masih tetap dilanda gatal. Tapi Tukijo merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya malam ini. Benar-benar berbeda.
“Aduh, dik.. kok badanku rasanya agak-agak pada gatal ya,,” ujar Tukijo sambil menggaruk punggungnya. Semakin ia menggaruk, semakin ia ingin terus menggaruk. Dari punggung pindah ke dada dan seterusnya. Isterinya mengangkat sebelah alis. Ia mendadak bingung. Suaminya ini sedang pura-pura gatal atau benar-benar gatal. Kalau benar-benar gatal, ia sudah menyiapkan sorakan di hatinya. “Rasaknoo. . .! rasain! Ini baru suami-isteri!” ia benar-benar merasa memiliki teman baru. Teman baru untuk acara ‘garuk-garuk’.
Tidur Tukijo malam itu dilaksanakan dengan pendahuluan yang benar-benar baru. Garuk sana-sini. Sampai ia merasa kelelahan dan tertidur sendiri, dengan tangan masih sibuk garuk-garuk sendiri. Si isteri yang sudah terbiasa seperti itu telah terlelap lebih dulu. Baginya gerakan menggaruk sudah semacam gerakan refleks, tak perlu dipikirkan lagi.
Dan hari baru saja menjelang fajar ketika terdengar ribut kegaduhan. Isteri Tukijo terbangun paling awal karena kaget. Ia terbiasa lebih peka pendengarannya. Tapi ia lebih kaget lagi karena ternyata suaminya yang mengeluarkan kegaduhan itu.
“Kenapa mas?” selidik isteri.
“Aahh entah ini, dik. . gatall sekali. . .” jawab suaminya dengan aksen menderita. Sambil asyik menggaruk tentunya. Si isteri menyimpan geli di hatinya. Suamiku ini baru tadi malam mengeluh kegatalan. Sekarang sudah sedemikian memprihatinkan tingkahnya. Dasar.
“Yang sabar aja mas, anggap saja ini proyek pengurangan dosa. Toh mas sendiri kan  yang bilang gatal itu nikmat? Ayo garuk terus mumpung masih enak digaruk. . tanggal mudanya masih beberapa hari jauh kedepan lagi.” ucap isterinya sambil menatap mata suaminya penuh goda.
Muka Tukijo merah padam. Hasil dari tumpukan rasa gatal dan jengkel sekaligus malu. Mata isterinya yang jeli itu kini malah terlihat seperti sedang mengejeknya. Tangan Tukijo semakin lincah menggaruk-garuk. Isterinya tak bisa menahan geli. Kalau sedang begini suaminya terlihat seperti aktor topeng monyet yang sedang menderita karena kutukan.
“Aduuh!! Gataaall!! Gataall!!” teriaknya hebat. Anak-anak di kamar lainnya terbangun. Kok tumben amat sepagi ini bapaknya sudah olahraga kerongkongan.
“Gataal!! Gataal!!”
“Haduuh, kiamat! Kiamaat!!” teriak Tukijo lagi diiringi sarung berterbangan.
***
Pekanbaru, 24 Januari 2012 .         ---Puja K---                (pudja.hexat.com)

1 komentar:

  1. Gatal pada tubuh sebenarnya kesalahan kita sendiri. Kuman, gatal-gatal pada kulit, karena kitanya yang malas merawat kulit tubuh.

    BalasHapus