Gatal sedang melanda
kulit isteri Tukijo. Bintik-bintik dan merah warnanya. Entah apa penyebabnya,
yang pasti penyakit itu berhasil menambah kesibukan isterinya. Sibuk garuk
sana-sini. Digaruk disini, yang sana jadi ngiri. Digaruk yang sana, sini nggak
mau ngalah. Tukijo jadi bingung sendiri melihat tingkah si isteri yang makin aneh itu.
“Kenapa
toh dik, kok segitu amat garuk-garuknya?” tanya Tukijo suatu hari saat isteri
sedang memasak di dapur.
“Ih,
mas ini memang nggak bisa ngerti kalau nggak ngerasain sendiri.” Jawab
isterinya ketus sambil terus menggaruk-garuk.
“Lho
ya, kalau aku perhatikan kok repot amat. Sebentar-sebentar garuk. Itu lagi
ngirisin tempe ntar ikut kena garuk lagi.”
“Ya
memang iya. Namanya juga gatal. Jangankan cuma tempe, lama-lama muka mas aja
bisa aku garuk!” nada bicara si isteri naik menanggapi bibir si suami yang
mulai cerewet.
Tukijo
menyelamatkan diri ke beranda sambil
menggondol secangkir kopi. Dalam hatinya menggerutu. Kenapa dahulu badan
isterinya mesti sebanding dengan badannya sendiri. Kalau isteri sedang sewot
begini risikonya bisa ngeri. Badan yang sebanding besar itu, kalau mengayunkan
kepal tangan yang ditambah kejengkelan sempurna pasti sudah cukup membuat
Tukijo klenger. Meski memang tak
pernah benar-benar terjadi, tapi cukup dengan membayangkannya saja Tukijo merasa sudah
benar-benar klenger.
Damai
udara sore memenuhi paru-paru. Kopi di cangkir Tukijo tinggal setengahnya.
Sambil bersantai, sambil Tukijo merenung. “Penyakit kok ya sembarangan sekali.
Datang mesti pas tanggal tua begini. Sudah eneg
aku melihat isteriku garuk-garuk melulu. Kan nggak asyik, masa orang cantik
kerjaannya garuk-garuk terus.” Pikir Tukijo setengah mangkel.
Ia memang berniat mengantar isterinya ke
dokter, tapi apa daya duit sedang sepi. Bukan tak pernah berusaha, ia sudah
muter-muter cari utangan ke temannya, tak pernah dapat. Kere semua. Maklum
tanggal tua. Maklum anak-anak mesti sekolah. Maklum orang pas-pasan. Maklum
kemarin baru saja servis sepeda motor, ban mesti ganti. Yang dalam sudah soak,
yang luar sudah botak. Ah, lama-lama kepalanya sendiri yang bisa botak.
“Aku
nggak tahan kalau mesti garuk-garuk gini seumur hidup, Mas.” Keluh isterinya
suatu malam.
“Yaa,
dinikmati saja.” sahut Tukijo ngawur seperti biasa.
“Nikmati
apanya, gatal begini kok suruh dinikmati. Mas kalau sableng jangan kebangetan
dong..”
“Ya
gatalnya itu yang dinikmati. Coba kalau lagi nggak gatal, nggak enak juga toh
digaruk?”
“Kan
capek Maas. . .” si isteri mulai kesal.
“Ya
udah sini tak garukin. . ..”
“Halah...
ogah Mas, dari kemaren kalau mas yang nggaruk
itu nggak pernah jelas. Yang nggak gatel juga kena garuk semua. . . meleset!”
“Namanya
juga nggak tahu dik,” Tukijo tertawa. Si isteri merengut.
“Sabarlah
dulu. Bulan depan nanti kita berobat. Persediaan kita bulan ini sudah tipis,
berobat ke dokter itu kan nggak semurah beli kerupuk, dik..”
“Iya,
kata itu sama dengan kemarin. Aku juga masih inget. Bukannya nggak sabar, tapi
gatalnya ini yang bener-bener sialan. Aku ngerti kok mas.” Kata isterinya lalu
pura-pura berangkat tidur. Tukijo memiringkan sebelah alisnya, lalu ngeloyor ke
beranda. Merebahkan badan di kursi
hingga ketiduran sampai pagi di sana.
“Aduh
mas, gatel bangeet,,,,” rengek isteri
pada malam berikutnya. Tukijo cuma tersenyum.
“Ah,
mas ini cengar-cengir terus bisanya. Mbok ya empati sikit kenapa. . .”
“Empati
gimana, aku mesti pura-pura gatel juga gitu?”
“Nggak
juga sih. Bayangin aja gimana rasanya. Masa isterinya sakit gatal gini malah
mas cengar-cengir gitu.” Si isteri memberondong.
“Badan
kita aja beda, gimana bisa ikut ngerasain gatalnya. Disalurin pake kabel?
Sudahlah. Anggap aja ini nikmat.” Tambah Tukijo. Isterinya melotot.
“Nikmat
apanya?! Mas ini sablengnya mbok ya diliburkan dulu kenapa. . .”
“Kalau
sakit, terus kita sabar menghadapinya kan itu bisa jadi mengurangi dosa kita.
Dosa kita dikurangi itu nikmat namanya kan?” Ujar Tukijo memotong. Kali ini
berlagak seperti ustadz. Si isteri diam.
Seperti patuh mendengarkan. Padahal sejatinya ia cuma menjadi pendengar palsu
kepada khotbah singkat suaminya barusan.
Sambil ia sibuk menggaruk, sambil ia membatin. Betapapun aku tak pernah lupa
soal konsep sakit yang seperti itu. Aku
bukan mau menggerutu. Aku cuma kepengin curhat. Betapa gatal ini begitu tidak
enaknya. Eeh, dia malah guyon. Sialan!
Tukijo
ikutan diam. Sebelah hatinya puas telah merasa menang yang ditandai dengan
diamnya si isteri. Tapi sebelah hatinya yang lain merasa terenyuh juga. Ia jadi
merasa betapa brengsek dirinya. Tapi sudahlah, aku toh tak pernah benar-benar
berniat untuk brengsek. Aku cuma hendak menghadapi persoalan ini dengan caraku
sendiri. Bisiknya pelan, masih di dalam hati.
Dua
hari kemudian. Pada sebuah malam saat Tukijo dan sang bidadarinya hendak
berangkat tidur. Si isteri masih tetap dilanda gatal. Tapi Tukijo merasakan ada
sesuatu yang berbeda dengan dirinya malam ini. Benar-benar berbeda.
“Aduh,
dik.. kok badanku rasanya agak-agak pada gatal ya,,” ujar Tukijo sambil
menggaruk punggungnya. Semakin ia menggaruk, semakin ia ingin terus menggaruk.
Dari punggung pindah ke dada dan seterusnya. Isterinya mengangkat sebelah alis.
Ia mendadak bingung. Suaminya ini sedang pura-pura gatal atau benar-benar
gatal. Kalau benar-benar gatal, ia sudah menyiapkan sorakan di hatinya.
“Rasaknoo. . .! rasain! Ini baru suami-isteri!” ia benar-benar merasa memiliki
teman baru. Teman baru untuk acara ‘garuk-garuk’.
Tidur
Tukijo malam itu dilaksanakan dengan pendahuluan yang benar-benar baru. Garuk
sana-sini. Sampai ia merasa kelelahan dan tertidur sendiri, dengan tangan masih
sibuk garuk-garuk sendiri. Si isteri yang sudah terbiasa seperti itu telah
terlelap lebih dulu. Baginya gerakan menggaruk sudah semacam gerakan refleks,
tak perlu dipikirkan lagi.
Dan
hari baru saja menjelang fajar ketika terdengar ribut kegaduhan. Isteri Tukijo
terbangun paling awal karena kaget. Ia terbiasa lebih peka pendengarannya. Tapi
ia lebih kaget lagi karena ternyata suaminya yang mengeluarkan kegaduhan itu.
“Kenapa
mas?” selidik isteri.
“Aahh
entah ini, dik. . gatall sekali. . .” jawab suaminya dengan aksen menderita.
Sambil asyik menggaruk tentunya. Si isteri menyimpan geli di hatinya. Suamiku
ini baru tadi malam mengeluh kegatalan. Sekarang sudah sedemikian
memprihatinkan tingkahnya. Dasar.
“Yang
sabar aja mas, anggap saja ini proyek pengurangan dosa. Toh mas sendiri
kan yang bilang gatal itu nikmat? Ayo
garuk terus mumpung masih enak digaruk. . tanggal mudanya masih beberapa hari
jauh kedepan lagi.” ucap isterinya sambil menatap mata suaminya penuh goda.
Muka
Tukijo merah padam. Hasil dari tumpukan rasa gatal dan jengkel sekaligus malu. Mata
isterinya yang jeli itu kini malah terlihat seperti sedang mengejeknya. Tangan
Tukijo semakin lincah menggaruk-garuk. Isterinya tak bisa menahan geli. Kalau
sedang begini suaminya terlihat seperti aktor topeng monyet yang sedang
menderita karena kutukan.
“Aduuh!!
Gataaall!! Gataall!!” teriaknya hebat. Anak-anak di kamar lainnya terbangun.
Kok tumben amat sepagi ini bapaknya sudah olahraga kerongkongan.
“Gataal!!
Gataal!!”
“Haduuh,
kiamat! Kiamaat!!” teriak Tukijo lagi diiringi sarung berterbangan.
***
Pekanbaru, 24 Januari 2012 . ---Puja K--- (pudja.hexat.com)
Gatal pada tubuh sebenarnya kesalahan kita sendiri. Kuman, gatal-gatal pada kulit, karena kitanya yang malas merawat kulit tubuh.
BalasHapus