![]() |
(img source: hujanorange.blogspot.com) |
Barangkali itulah
kenapa Gun’s N’ Roses sampai membikin lagu yang cukup sedap menyoal hujan dengan judul November Rain. Dan
setahu saya masih banyak lagi lagu-lagu lain yang berbau hujan itu. Baik hujan
yang indah maupun hujan yang membuat hati
susah. Karena memang persepsi manusia berbeda-beda dalam hal ini. Soal
itu kita semua sama tahu.
Hujan yang indah
seringkali digambarkan dalam film sebagai sepasang manusia yang sedang jatuh
cinta berjalan di bawahnya. Hujan begini adalah hujan yang diharapkan sekali. Romantis katanya.
Tapi tidak selamanya seperti itu. Hujan bagi pihak yang
sedang patah hati malah seperti menambah kepiluan saja.
Tapi sudahlah. Orang
yang sedang kasmaran apapun cuacanya akan tetap terasa asyik-asyik saja. Dan orang yang sedang patah hati walau hari
sedang cerah pun akan dia bilang sangat mendung. Dan lagi, soal itu kita semua
juga sama tahu.
Kita tinggalkan
hujannya orang jatuh cinta dan hujannya orang patah hati tadi. Sekarang saya
ingin punya hujan saya sendiri.
Hujan dimana pun
sejatinya adalah sama saja selama yang jatuh itu masih berupa guyuran air dari
langit. Bukan air dari burung merpati yang sedang iseng pipis sambil terbang.
Hujan sering membuat orang mesti berhenti dari aktifitasnya dan diam sejenak.
Inilah menurut saya salah satu kehebatan hujan. Ia sanggup memaksa orang untuk
sejenak merenung karena betapa ada jenis orang dari kita yang bahkan untuk
merenung saja suka kelupaan.
Ujar saya, merenung
saat hujan turun itu ternyata nikmat. Saya suka mengamati orang-orang yang
berteduh saat hujan. Dalam menunggu hujan reda, saya sering mendapati wajah
orang-orang ini begitu tenangnya merenung seperti patung. Terlepas dari entah
apa yang direnungkan tetapi saya lihat mata mereka itu seperti sanggup
menerawang begitu jauhnya. Begitu khusyuk. Begitu dalam. Seperti mereka baru
sekali ini saja merenung.
Dan benar saja, setiap
hujan turun saya juga jadi suka merenung. Saya jadi suka mengingat hari-hari
yang sudah lewat. Hari kemarin waktu saya tertawa dengan teman-teman, waktu
jengkel karena nilai kuliah saya jelek,
teringat mantan pacar, teringat teman lama, teringat orang tua di
kampung halaman, teringat ditolak orang yang saya taksir, teringat ban motor yang
kemarin bocor, daaan masih banyak lagi. Semuanya seperti ramai-ramai datang ke
ingatan bersama rontoknya air hujan dari langit.
Tapi dari sekian bahan
renungan yang suka melintas saat hujan, yang paling mudah membawa lari ingatan
saya adalah hujan pada masa kecil saya. Masa saya masih bocah lengkap dengan
ingusannya. Masa yang hampir dari seluruh dunianya adalah berisi kegembiraan.
Masa yang hampir tak tahu patah hati atas penolakan sang pujaan karena
jangankan untuk galau, bahkan soal serumit jatuh cinta pun bukanlah hal yang
penting waktu itu.
Hujan bagi saya
yang kecil dahulu tidak lain lagi pasti
diturunkan oleh Tuhan hanyalah untuk kegembiraan saya dan teman-teman
sepermainan. Bukan untuk urusan yang lain-lain. Kalau toh ada pihak lain yang gembira
dan mendapat manfaat dari hujan yang sama, itu pasti cuma numpang dan kebagian
sisa-sisa kami saja. Ya, pokoknya Tuhan itu bikin hujan ya cuma untuk hiburan
kami saja. Tidak ada yang lain. Tidak usah protes. Kami kan masih kecil
ceritanya.
Hujan selalu menjadi
hiburan gratis bocah-bocah kampung seperti saya. Hujan-hujanan adalah menu
utama permainannya. Isinya adalah kejar-kejaran, bermain bola kaki bebas
aturan, lempar-lemparan bola tanah liat, kebut-kebutan sepeda, bahkan sampai
berkelahi segala. Yah, namanya juga mumpung turun hujan. Berantem sambil
berguling-guling di bawah hujan kan kelihatannya keren. Mirip adegan film action.
Lebih keren lagi karena
waktu itu sungguh sepertinya kami seluruhnya adalah bocah-bocah super karena
dari sekian seringnya hujan-hujanan hanya sesekali saja dibayar dengan demam.
Bayaran pastinya adalah kegembiraan. Bayaran tambahannya adalah diomeli orang
tua.
Pendek kata, hujan
paling keren adalah hujan di kampung saya.
Hari saat saya menulis
catatan ini, di kampung saya yang Cinta Damai ini, adalah hari yang sedang turun
hujan. Hujan yang deras sekali. Hujan yang terasa sejuk dan damai sekali.
Kambing-kambing peliharaan ayah saya di
kandang belakang rumah sampai diam semua saking damainya.
Hari saat saya tulis
ini, adalah hari di mana saya sedang cekreh-cekreh,
demam, meriang, gara-gara diguyur hujan habis-habisan saat saya mencari
rumput kemarin sore. Ah, sekian tahun sekolah di kota sepertinya sudah membikin
saya ketularan orang kota yang alergi air hujan.
Ingin sekali rasanya
menulis lebih panjang lagi. Tapi sepertinya hujan menjadi semakin deras di luar sana. Saya malah jadi lebih ingin meringkuk di
balik selimut dan merenung dengan damai. Sedamai kambing-kambing peliharaan
ayah saya di belakang sana.
Cinta Damai, 04
Februari 2013 Puja K