![]() |
(Sumber gambar: google) |
Malam minggu kemarin saya ngendong (pergi main, nongkrong) ke
rumah yang orang-orangnya sudah seperti saudara sendiri. Biasa lah warga negara
jomblo seperti saya ini memang lebih
suka berkumpul dengan masyarakat begini ketimbang sibuk keluar jalan malam
mingguan. Lha iya mau malam mingguan sama siapa oh..
Di teras rumah sudah ada dua orang sebut saja
Kang Maman dan Kang mamas. Kami bertiga ngobrol ngalor ngidul mengisi malam sambil menikmati teh hangat. Malam yang
damai, langit berserakan bintang.
Tidak ingat saya obrolan dimulai
dengan topik apa, tapi karena malam itu ada sebuah tontonan kuda lumping tak
seberapa jauh dari rumah ini, maka kami kemudian membahas tentang tontonan
kesenian tradisional yang ada di Jawa dahulu. O iya, kami kebetulan adalah
sekumpulan keturunan Jawa. Sebagai kumpulan manusia jawa yang hari ini
terdampar di Pekanbaru, mengenang tentang soal yang berbau kejawa-jawa-an
terasa cukup mengasyikkan. Bermacam tontonan seperti itu tidak mudah ditemui
disini.
Dua partner ngobrol saya ini termasuk
pernah merasakan masa kecil dan masa muda di jawa. Sedangkan saya sendiri
lumayan lah, pernah saat kecil ikut kakek dan pernah tinggal dua tahun di
Cilacap saat SMP. Punya pengalaman sebagai sesama ngapakers (Jawa Banyumasan) membuat obrolan kami menjadi
semakin hangat.
“Wah,
ebege ora apik lah, ora kaya nang Jawa.. (Ah, kuda lumpingnya tidak sebagus
di Jawa)” ucap Kang Maman membuka obrolan.
“Ya iya lah, nang kene jarang ebeg banyumasan.. (Iya lah, disini jarang kuda
lumping banyumasan.) Sing banyak ya
daerah wetan (timur.) Kuda lumpingnya
banyak yang mengikuti aliran Ponorogo.” Timpal Kang Mamas. Saya mendengarkan
dengan santai.
“Tapi lumayan rame juga loh yang
nonton.” Tambah Kang Maman.
“Lah ya wong itu adanya.. priwe..”
balas Kang Mamas.
“Iya ya, kalau di Jawa lah banyak
tontonan ya.. Sering ada wayang, ebeg,
lengger, sintrenan. Wah, kelingan
dahulu kalau nonton wayang jauhe ngepooll
nyikiiil. (Jauh sekali jalan kaki). ” Ucap Kang Maman.
“Haha, iya ya. Belasan kilometer
jalan sikil pun dijabani. Berangkat
sore, sampe di tempat tontonan jam
setengah dua belas malam. Nonton dua jam, terus pulang lagi. Sampai rumah pagi.
Kalau pulangnya agak lambat, dunia sudah terang kok masih di jalan. Diejek
orang.. hahahah..” Kenang Kang Mamas.
“Wah, temenanan. Aku kadang pulang pagi sekalian biar ora isin. Haha..” Kang Maman menambahkan.
“Sekarang kalau disuruh ngulangi biar pun dibayar satus ewu pun nggak mau aku. Dengkule kayak mau copot kok.. Hahaha..”
“Tapi pas saya SMP di Adipala,
Cilacap (jawa Tengah), kalau ada tontonan wayang ramainya bikin geleng kepala
saya waktu itu lho. Lah kakek nenek bapak ibu anak-anak semuanya nonton bisa
kuat sampai pagi. Ada yang berdiri, ada yang jongkok, ada yang ndeprok, ada
yang membawa tikar sendiri. Edan..
Disini jam sebelas saja orang udah pada bubar, tinggal yang sepuh-sepuh yang
bertahan.” Saya nimbrung diskusi mengenang pengalaman saya dahulu.
“Oh, iya mas. Kalau daerah sana itu
memang kebudayaan seperti wayang masih kental, apalah namanya itu.. sakral, nah
iya sakral.” Kang Mamas membenarkan. Ya, memang iya. Di sana bahkan aroma
kejawen masih bisa kita temui dengan mudah.
“Tapi di sini nggak ada yang dodolan gembus ya?” Kang Maman meledek.
“Hahaaaa… orang sini kalau lihat gembus ya pasti pada gumun. Panganan apaa iki? Bunder bolong tengahe tapi bukan donat!”
![]() | ||
Jajanan Gembus (Sumber gambar: tatitiasurati.wordpress.com) |
![]() |
Bakul Gembus |
Gembus
adalah nama makanan khas yang terbuat dari bahan dasar ubi kayu, berbentuk
bulat dan bolong di tengahnya mirip dengan donat dan digoreng lalu diangkat
dengan minyak yang koproh-koproh
alias mengandung minyak berlebihan, tapi rasanya agak kecut-kecut gimana gitu..
Gembus
sering dijual saat ada tontonan rakyat khususnya wayang kulit. Di tempat saya
mengembara dulu itu, jika ada wayangan pasti ada penjual gembus berderet di
sepanjang jalan lengkap dengan lampu teploknya. Jika ingin tahu kapan dan
dimana akan ada wayangan, tanyalah kepada penjual gembus. Uniknya penjual
gembus ini sering membuka lapak justru di tempat gelap dan agak jauh dari pusat
tontonan. Sungguh strategi pemasaran yang di luar mainstream. Ada yang tau mengapa demikian?
“Padahal sebenarnya nonton wayang ya
bukan cuma wayangnya yang melulu ditonton. Tapi juga nonton yang nonton. Heheh..”
aku Kang Maman lalu menyemburkan asap tembakaunya.
“Hehe iya.. aku dulu juga suka
nantangin bandar bangjo, tapi kalah
terus. Ngapa ya? Padahal wis yakin
banget yang keluar ijo. Tapi kok kayak
dadunya itu bisa mbalik sendiri.” Kisah
Kang Mamas. Bangjo adalah nama salah
satu jenis permainan judi tebak dadu yang terkadang suka ada saat digelar acara
hiburan. Nama bangjo mungkin dipilih karena warnanya yang abang (merah) dan ijo (Hijau).
Mungkin lho ya, wong saya juga kurang
tahu bagaimana persisnya ini permainan.
“Woh, main itu ya ora bakal menang kowe.. Katanya kalau mau menang itu harus bawa bunglon (hewan bunglon).”
Komentar Kang Maman.
“Bawa bunglon kepriwe? Dikantongi celana? Ya nanti manukku dicokot oh.. Haha..”
“Kuwee..
Bunglone dibungkus nganggo kain
mori. Sebelum dadunya dibuka, kita lihat kalau bunglonnya ijo, berarti yang keluar ijo.
Kalau bunglonnya malik abang, berarti
yang keluar abang.. Kan bunglon bisa molak-malik (berubah) warnane..” jelas kang Maman. Saya ngeleg idu (menelan ludah) demi mendengar
percakapan yang makin gemblung ini. Soalnya
teh di cangkir saya sudah mulai kemarau.
“Alah, aku wis pernah njajal. Bunglone ya gemblung warnane pada bae..” bantah Kang Mamas.
“Nah
kuwee.. nganggo bunglon memang. Tapi mestine
ana dongane sing angel-angel mbok.. (Nah itu, pakai bunglon. Tapi pastinya
ada doanya yang susah-susah mungkin..)” Kang Maman memberi penjelasan.
“Wah, lah yo edan. Main bangjo ya harus pinter berdoa juga berarti!” Timpal
saya geli.
“Hahahahahahahha!”
Kami bertiga tertawa bersama. Saya geli
kalau membayangkan betapa religiusnya kawula
itu terkadang. Orang-orang akar-rumput yang sering capek badan capek pikiran
menjalani kehidupan yang suka bikin nyesek
ini, mempunyai berbagai caranya sendiri untuk menghibur hati seperti yang, bahkan untuk
menang bangjo yang tergolong judi kelas teri saja ada doanya. Doanya susah-susah
lagi.
Saya lalu mbayangne lagi, pejabat-pejabat itu kok ada yang pinter banget
bolehnya korupsi mbiyen itu belajar
doanya kepiye ya? Susah-susah apa ndak ya kira-kira? Doa aman korupsi?
Kakang Puja
Ditulis: Rabu, 25 Februari 2015
kereen..... wkwkwkw
BalasHapusAh apa iya...
HapusWaah, selamat! Anda adalah orang yang pertama berkomentar di blog saya. Mau hadiah apa? Hahahah!
Terimakasih sudah berkunjung.
biasa aja kang... kita saling silaturahmi kang... wkwkwkw
BalasHapushehe, iya mbak..
BalasHapus