Links

Senin, 16 Juni 2014

Kucing Pincang yang Berbahagia




Malam ini tiba-tiba listrik padam. Mungkin karena angin kencang dan hujan yang mengguyur cukup deras sedari sore tadi baru saja berhenti. Kalau hanya hujan saja, mungkin tak cukup membuat jaringan listrik tiba-tiba mati. Pasti entah di bagian mana ada beberapa ranting pohon yang patah dan menimpa kabel telanjang bertegangan tinggi. Sudah tentu, korsletinglah jadinya aliran listrik itu. Atau bisa jadi penyebabnya cuma hal sepele saja. Benang layangan yang menyangkut di kabel misalnya. Ini sejatinya sungguh bukan hal remeh karena benang yang walau ukurannya hanya sekecil itu akan menjadi benda  yang lumayan mengganggu jika sudah dibasahi air hujan. Teman saya waktu kecil pernah hampir tewas gara-gara saat bermain layang-layang, benangnya tersangkut di jaringan kabel listrik bersamaan dengan turun hujan. Kesetrumlah dia.
 
Listrik padam, lampu elektrik tak bisa dinyalakan. Lampu minyak sedang kehabisan minyak. Jadilah ia lampu saja tanpa minyak. Ya, lampu minyak yang tanpa minyak pasti sekadar tragedi Juliet yang tanpa Romeonya. Jadilah sekujur rumah gelap gulita.  Saya berjalan mirip  orang rabun di dalam goa tanpa setitik pun cahaya.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Ternyata saya lupa belum menanak nasi di rice cooker. Dan klimaks, perut saya sudah terasa lapar pula. Di negeri ini menanti listrik yang padam setelah hujan untuk kemudian menyala lagi, mirip penantian cinta seorang lelaki yang digantung seorang gadis. Tak tahu kapan berakhirnya.  Oh, listrik celaka!
Sadar bahwa jika diam di rumah saja tidak akan dapat menemukan sumber makanan, insting kelaparan menuntun saya ke sebuah tempat yang tepat; rumah makan Padang! Wah, lha ini. Tempat yang selalu menggoda hati. Tepatnya, hati yang sedang panik karena ditodong rasa lapar.
“Uda, gulai ikan patinnyo, ciek..” pinta saya.
“Siap.” Jawab pelayan itu.
“Eh, patin gulai abis, bang.. Patin bakar mau?”
“Jadilah.”  Sahut saya cepat.
“Ekor atau badan?”
“Ekor.”
“Yang siripnyo kering, atau yang siripnyo basah?”
“Kering.”
“Makan siko bang?”
“Iyoo…”
“Gelap tapi bang. Genset rusak pulak.”
“Ah, pakai lampu emergency itu juga nggak papa..” jawab saya sambil menunjuk lampu LED kecil.
Heran saya. Entah pelayan itu sedang ramah atau sedang suka berbicara. Tapi percakapan yang hanya untuk sepiring nasi dan lauknya ini malah sudah mirip percakapan diplomasi antara dua negara. Tak lain, rasa heran ini muncul pasti karena lapar yang sudah semakin menjadi. Oh, cepatlah sepiring nasi itu terbang kemari!
Dalam temaram lampu emergency, akhirnya datang juga nasi pesanan saya tadi. Sepiring nasi dengan buntut ikan patin terkapar di atasnya, oh pemandangan yang indah! Suap demi suap nasi itu saya nikmati dengan hikmat. Tapi, woo.. kursi plastik di depan itu kok bergerak-gerak sendiri? Ah, sedikit doang bergerak pasti hal yang biasa. Saya melanjutkan suapan berikutnya sambil tetap memandangi kursi yang bergerak tadi. Aneh. Kursi tadi tetap diam, tapi kursi di sebelahnya malah bergerak lebih kuat.
“Gelap-gelap begini, ada deretan kursi yang bergerak-gerak sendiri? Who, agak serem juga.” Batin saya.
Sejenak saya jadi sedikit mempercayai hal yang saya lihat di sebuah acara televisi swasta yang menampilkan rekaman-rekaman video unik. Dalam tayangan waktu itu, menyajikan sebuah video yang merekam hal-hal yang dilakukan oleh makhluk supranatural. Di antaranya adalah kondisi rumah makan pada malam hari yang sudah  tak ada satu orang pun di sana karena rumah makan sudah waktunya tutup. Dalam video itu terlihat piring dan gelas yang bergerak-gerak sendiri, tong sampah yang asyik menggelinding, juga meja yang bergeser dengan sendirinya. Waktu itu saya boleh saja enteng mengatakan bahwa itu bukan tidak mungkin hanyalah sebuah trik kamera. Tapi dengan yang saya lihat pakai mata kepala saya sendiri ini?
“Jangan-jangan sebentar lagi malah saya sendiri yang akan digeser atau bahkan dilemparkan keluar rumah makan ini? Lho, gawat. Saya kan belum selesai makan. Belum kenyang!”
Adegan berikutnya malah lebih horror lagi. Sangat terasa bahwa ada yang membentur-bentur ke kaki meja makan yang saya pakai. Saya jadi tambah panik. Ragu-ragu saya melongok ke kolong meja. Tapi, woo… rupanya seekor kucing remaja yang manis rupawan! Saya kira hantu!
Lama saya perhatikan kucing ini, tetapi ia hanya diam saja. Kucing di rumah makan tentu punya kebiasaan yang hampir sama, menggoda pengunjung yang sedang makan, untuk kemudian dihadiahi tulang atau kepala ikan. Tetapi kepada kucing ini, saya sudah salah sangka. Ketika saya jatuhkan sirip ikan di hadapannya, ia hanya diam saja. Apa ia sedang malu-malu kucing? Entahlah. Ia tetap tenang saja dengan anggunnya. Ia malah membiarkan sirip ikan itu diembat oleh dua temannya yang kemudian datang. Tiga ekor kucing ini lalu bermain kejar-tubruk. Permainan yang juga jamak dilakukan kucing lainnya.
Lama saya perhatikan mereka bermain. Namun, ada yang agak aneh. Kucing yang pertama tadi, yang manis tadi, kenapa paling sering terguling dan terjatuh? Setelah saya perhatikan lagi, barulah saya tahu bahwa ternyata ia adalah kucing yang pincang. Berdiri baginya adalah hal luar biasa. Berdiri pun ia sempoyongan seperti tidak punya tulang. Berjalan satu dua langkah ia langsung tersungkur. Sepertinya ia pernah mengalami kecelakaan berat yang membikin tulang punggungnya rusak dan  tak mampu berjalan normal. Pantaslah kalau kedatangannya ke kolong meja makan saya harus membuat kursi-kursi tadi bergoyang penuh misteri.
Saya jadi merasa kasihan. Dengan keadaan yang demikian, tentu saja ia selalu terjatuh dan terjatuh saat bermain dengan temannya. Sementara temannya sudah jauh berlari, ia malah baru berjuang setengah mati untuk berdiri. Saat ia sudah berhasil berdiri, dua temannya tadi sudah sempurna bersembunyi untuk bersiap menubruknya lagi.
Namun dengan keadaan terbatas seperti itu, kucing pincang ini sama sekali tak terlihat memasang muka menderita. Ia tetap bermain dengan riang seperti dua temannya yang normal. Seandainya bisa, saya yakin kucing pincang ini juga tak akan meminta dua temannya tadi untuk bertenggang rasa dengan cara memperlambat jalannya. Semua ia jalani begitu saja. Ia tidak keberatan jika harus terus tertinggal bersembunyi. Ia tetap berusaha menubruk, mengejar temannya dengan gembira. Caranya berjalan memang tak normal. Ia lebih suka melompat-lompat tak karuan ketimbang berjalan biasa saat bermain. Mungkin karena dengan berjalan biasa ia terus terjatuh, jadi ia malah bergerak apa saja agar bisa mengejar temannya. Saya bukan ahli kucing, tapi tak sulit rasanya membedakan antara kucing yang gembira dan kucing yang tak bersemangat.
Saya jadi terharu. Saya jatuh kagum pada kucing pincang ini. Siapa guru spiritualnya? Kucing ini sudah membuktikan bahwa pincang sekalipun tidak cukup untuk membuat dunianya harus menjadi murung melulu. Awal tragedi yang menimpanya mungkin juga membuatnya stress karena kesakitan dan kehilangan kemampuannya berjalan normal. Namun, bukankah hari ini ia bermain gembira sekali? Dalam hati saya sempat bertanya, apa kucing ini pernah berniat bunuh diri saat menyadari ia tak bisa berjalan normal lagi? Kesakitan itu, apakah pernah membuat kucing ini jadi ingin menenggak racun tikus? Kok racun tikus? Ya karena di warung tidak ada dijual racun kucing.
Saya pulang dari rumah makan dengan perut kenyang dan bayang-bayang kucing manis itu. Lain waktu jika kembali makan di tempat itu, saya berjanji tidak akan mengiramu lagi sebagai hantu.
   (Puja K. Pekanbaru, 17 Maret 2014)

3 komentar:

  1. Yaa allah kenapa tdk dibawa aja bang hiiiks... 😨

    BalasHapus
  2. Yaa allah kenapa tdk dibawa aja bang hiiiks... 😨

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya suka jarang di rumah. Nanti dia kesepian. Disana kan banyak temennya.. Hehe..

      Hapus