Links

Senin, 16 Juni 2014

Mimpi- Mimpi Saya



(Source: Google)

            Saya bukan ahli tafsir mimpi. Saya tidak hafal rumus bahwa jika misal bermimpi seperti ini, maka itu adalah pertanda bahwa saya akan begini.  Walau terkadang saya juga mendengar tentang tafsir mimpi yang diceritakan kawan saat mengobrol,  saya tetap tak pernah ambil pusing soal begituan. Saya malah heran betapakah tak ada bahan obrolan lainnya selain mimpi. Maka kalau sekarang saya kok terus membahas soal mimpi, pasti saat ini saya juga sedang heran dengan kadar yang sama.

            Mimpi itu toh sekadar bunganya orang tidur, begitu saya sering mendengar dari orang-orang saat mengomentari soal mimpi. Tapi betapa pusing kepala saya bahwa di lain waktu mereka orang yang sama juga sibuk bertanya-tanya soal mimpi yang dialaminya tadi malam. Apakah saat mereka mengatakan bahwa mimpi itu cuma kembangnya orang tidur, itu hanyalah wujud menyerah atas kepedulian kepada mimpi orang lain? Ataukah mimpi baru menjadi penting dibahas ketika itu sudah menyentuh tidur kita sendiri? Atau malah cuma topik obrolan ringan saja. Guyonan orang suntuk saja. Lalu bagaimana dengan mimpinya orang-orang suci yang sering disebut ilham? Entahlah.
Saya kenal seorang tua yang tinggal sendirian di sebuah rumah yang cuma satu-satunya, jauh dari kerumunan rumah lainnya. Sekeliling rumah itu adalah hutan. Saya suka mengobrol dengan orang ini, wawasannya luas untuk ukuran orang yang hanya lulus sekolah dasar. Suatu ketika ia berkata bahwa ia baru saja didatangi seseorang tak dikenal yang membawa gula dan kopi untuknya. Orang tak dikenal ini rupanya kemudian bertanya kepada orang tua tadi, malam ini bermimpi apa? Minta nomor buntut togel.
“Lha dikiranya aku ini dukun apa ya? Kok masih ada orang seperti itu.” katanya. Kami tertawa. Inilah guyonan terdahsyat soal mimpi yang pernah saya temui secara langsung. Kami puas membodoh-bodohkan orang tak dikenal tadi. Tak lama kemudian, orang tua ini, teman ngobrol saya ini, ngeloyor bertanya kepada saya;
“Tadi malam aku mimpi menginjak (maaf) tahiku sendiri. Apa artinya ya? Apa mau dapet rejeki gede ya?” Lha ya embuh, wong sampean tidak ngasih saya gula dan kopi kok.
Membahas soal mimpi seperti tidak ada habisnya. Kalau sudah capek akhirnya ya itu tadi, ah mimpi toh cuma bunga tidur saja. Jadi sebenarnya saya juga masih agak tak mengerti soal ini. Dalam masyarakat, banyak kisah mimpi dengan tafsirnya yang menurut saya sering tidak masuk akal dan tidak berhubungan sama sekali hingga sulit dimengerti.  Soal mimpi itu sendiri saja menurut saya masih ajaib. Bagaimana kok dalam tidur manusia bisa bermimpi? Kenapa tidak plong begitu saja dan kemudian bangun lagi? Ada yang bilang mimpi itu mirip halusinasi. Ada pula pakar psikologi yang mengatakan bahwa mimpi adalah rembesan dari hal yang paling dipikirkan seseorang hingga secara otomatis masuk ke alam bawah sadar manusia. Teori yang ini saya cukup menerima. Ada lagi yang mengartikan bahwa apa yang manusia lihat dalam mimpi, sebenarnya juga sudah pernah dilihat di alam nyata. Itu hanya pengulangan memori saja. Maka ketika kita bermimpi tentang sesuatu yang rasanya belum pernah kita lihat, sejatinya itu sudah pernah kita lihat di alam nyata, kita mungkin kesulitan mengingatnya dengan jelas namun itu tersimpan di alam bawah sadar kita. Ini juga barangkali berkaitan dengan dejavu. Ada pula yang memaparkan bagaimana mimpi terjadi dengan penjabarannya yang panjang lebar dan bermacam-macam hingga saya kesulitan mengingatnya. Entahlah, saya pusing. Pasti masih banyak lagi literatur yang harus kita pelajari agar lebih tercerahkan soal ini. Namun disini saya cuma mau membeberkan sedikit cerita saya soal mimpi sendiri yang akan saya tafsirkan dan maknai sekehendak hati saya saja.
Entah sudah berapa kali dalam hidup saya bermimpi saat tidur. Dari kecil juga sudah bermimpi, tidak pakai diajari, tiba-tiba sudah bisa bermimpi. Mulai mimpi dikejar ular, dikejar kuntilanak, mimpi bisa terbang mirip Wiro Sableng,  mimpi duel dengan Jackie Chan, mimpi jadi power rangers, dan bermacam lainnya mulai yang biasa-biasa saja, aneh, hingga mimpi yang sinting.  (Saya jadi ingat pernah baca cerpen Putu Wijaya,  judulnya Mimpi. Keren. Bacalah.)
Dari sekian banyak mimpi-mimpi itu, saya sedang tertarik membahas beberapa mimpi saja. Bukan karena uniknya mimpi saya, tapi karena urut-urutannya yang kadang menurut saya mengagumkan. Agaknya karena inilah saya jadi menerima teori psikologi mimpi tadi, bahwa mimpi adalah imbas dari hal yang menjadi pikiran kita.
Seringkali hal-hal yang hadir dalam mimpi adalah hal yang saya pikirkan, saya imajinasikan, saya andai-andaikan. Maka mimpi saya terbang dengan kostum Wiro Sableng dahulu pastilah karena memang itu tontonan saya saat kecil dulu. Maklum, jaman saya kecil dulu televisi tergolong masih langka, listrik belum masuk desa pula. Maka hanya orang punya duit dan berbaik hati saja lah yang sanggup menyalakan genset di siang hari hanya untuk hiburan anak-anak desa. Maka setiap Minggu siang kami yang dahulu kecil-kecil itu suka berjamaah duduk di depan TV seperti mengerumuni benda yang jatuh dari surga. Maka hal yang begitu penuh arti seperti ini tentulah wajar kalau sampai masuk disiarkan kedalam mimpi. Sampai hari ini saya masih suka berterima kasih dalam hati atas kemurahan orang ini.
Setelah saya periksa, ternyata kebiasaan mimpi yang begini terus berlanjut hingga saat ini. Mulai saya masih kecil dan imut-imut sampai hari ini sudah tumbuh janggut. Hal-hal yang saya inginkan tepatnya saya pikirkan dalam kehidupan hampir selalu muncul dalam mimpi saat tidur. Saya ulangi lagi, ini bukan soal istimewanya mimpi saya, tetapi soal urutannya. Karena, betapapun istimewa mimpi itu bagi saya, bagi orang lain pasti berbeda artinya, kadang malah tak ada menariknya. Bagaimanapun, ketertarikan orang lain berbeda-beda dan kita semua tahu rumus itu berlaku.
Waktu kecil dan saya belum bisa naik sepeda, saya pernah bermimpi bisa naik sepeda dengan lancar dan ngebut mirip pembalap kampiun. Keterlaluan barangkali, karena bahkan sekadar naik sepeda saja harus bermimpi dulu. Tapi itulah adanya. Waktu itu saya masih kelas dua sekolah dasar dan tinggal bersama kakek-nenek di sebuah desa di Jawa Tengah. Jangan dibayangkan saya belajar naik sepeda karena waktu itu sepeda untuk anak-anak masih langka jumlahnya. Sosok sepeda yang ada di rumah kakek waktu itu adalah sepeda onta, sepeda yang bahkan untuk menegakkannya saja saya tidak kuat. Sepeda yang tingginya menjulang jauh melebihi tinggi badan saya waktu itu. Melihat paman menaiki sepeda itu, oh gagah sekali rasanya. Tapi keinginan untuk saya terlihat gagah itu harus dihentikan dulu jika membayangkan adegan dimana saya jatuh dan tak bisa berkutik lagi karena tertimpa benda yang demikian besar itu. Baru setelah dua tahun kemudian saya bisa mengendarai sepeda. Jadi, selama itulah saya bermimpi indah bahkan untuk soal seremeh naik sepeda.
Di lain kesempatan selanjutnya saya juga mengagumi sepeda motor. Agak bengal sejatinya mimpi saya kali ini, melihat bahwa kendaraan ini adalah hal yang juga masih langka saat itu. Lagi pula, zaman sesulit itu anak kecil naik sepeda motor juga masih haram rasanya. Tapi tidak mustahil rupanya mimpi saya itu. Suatu ketika tanpa diminta, saya diajari naik sepeda motor oleh anak budhe saya. Walau ternyata, agak berbeda antara mimpi dan kenyataan itu. Saat belajar, menarik tuas kopling itu rasanya berat sekali. Begitu juga yang lainnya, mengoper gear, menarik gas, menginjak rem dan menjaga keseimbangan adalah setumpuk kesulitan seluruhnya. Padahal dalam mimpi, saya sudah bisa ngebut sesuka hati bahkan terbang melompati rumah kalau mau.
Pada usia dua puluhan, saya pernah sangat tertarik kepada alat musik harmonika. Di mata saya, benda ini ajaib sekali. Kecil ukurannya tetapi bisa menghasilkan melodi yang sangat merdu. Saya jadi terobsesi dan terbawa sampai ke mimpi. Dalam mimpi, saya memainkannya dengan semangat lengkap dengan improvisasi gila yang hanya bisa dimainkan oleh musisi kelas dunia. Cukup lama saya berandai-andai dengan alat musik ini dan pada akhirnya saya beli, belajar dan bisa juga.
Saya juga sangat ingin bisa bermain gitar bahkan sejak dari kecil. Seperti biasanya, saya juga sempat bermimpi bisa memainkannya. Karena di mata saya, keren sekali orang yang bisa memainkan gitar sambil bernyanyi. Tapi entah karena berbagai sebab, ingin saya  ini tak juga tercapai. Hidup saya saat remaja hingga sampai awal kuliah bisa dihitung jarang bertemu benda itu. Maka melihat teman bisa bermain gitar, adalah siksaan besar bagi saya. Apalagi setiap menjumpai cewek kok bisa bermain gitar, rasanya gugur kualitas saya sebagai laki-laki lalu memalingkan wajah berpura-pura tak melihat sebagai langkah mekanisme mempertahankan diri. Baru sekitar dua bulan sebelum tulisan ini dibuat, saya belajar memainkan gitar. Belajar keras dari teman-teman yang berbaik hati mengajari saya. Dengan jari-jari yang pegal dan serasa mengeras kapalan, tak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya ya bisa juga. Awal-awal belajar gitar ini saya memainkannya dan menyanyi mirip orang gila. Dan kegilaan itu yang memantapkan saya untuk tidak menyerah dan terus berlatih sampai bisa. Karena ternyata, hidup itu hampir melulu berisi tentang latihan.
 Itulah deretan sebagian mimpi-mimpi saya. Mimpi-mimpi saya itu memang bukanlah mimpi besar. Ia cuma mimpi-mimpi soal hal remeh temeh yang walaupun remeh, ternyata tidak akan pernah saya capai jika tidak pernah mau memulainya. Hadiah dari kemauan itu akan kita terima saat kita sudah mengalaminya. Hal yang kemarin kita damba sampai terbawa mimpi saat tidur, tau tau sekarang sudah bisa kita capai.
”Maka bermimpilah yang banyak dan jangan dulu dipikirkan apakah mimpi-mimpi itu sebuah kesintingan atau bukan. Bukankah di dunia ini juga banyak diisi dengan hal-hal sinting?” ujar saya pada diri sendiri.
Puja Kesuma
Pekanbaru, 02 Juni 2014
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar