Saya bukan ahli tafsir mimpi. Saya tidak
hafal rumus bahwa jika misal bermimpi seperti ini, maka itu adalah pertanda bahwa
saya akan begini. Walau terkadang saya juga
mendengar tentang tafsir mimpi yang diceritakan kawan saat mengobrol, saya tetap tak pernah ambil pusing soal begituan.
Saya malah heran betapakah tak ada bahan obrolan lainnya selain mimpi. Maka kalau
sekarang saya kok terus membahas soal mimpi, pasti saat ini saya juga sedang heran
dengan kadar yang sama.
Mimpi itu toh sekadar bunganya orang
tidur, begitu saya sering mendengar dari orang-orang saat mengomentari soal mimpi.
Tapi betapa pusing kepala saya bahwa di lain waktu mereka orang yang sama juga sibuk
bertanya-tanya soal mimpi yang dialaminya tadi malam. Apakah saat mereka mengatakan
bahwa mimpi itu cuma kembangnya orang tidur, itu hanyalah wujud menyerah atas kepedulian
kepada mimpi orang lain? Ataukah mimpi baru menjadi penting dibahas ketika itu sudah
menyentuh tidur kita sendiri? Atau malah cuma
topik obrolan ringan saja. Guyonan orang suntuk saja. Lalu bagaimana dengan mimpinya
orang-orang suci yang sering disebut ilham? Entahlah.
Saya
kenal seorang tua yang tinggal sendirian di sebuah rumah yang cuma satu-satunya,
jauh dari kerumunan rumah lainnya. Sekeliling rumah itu adalah hutan. Saya suka
mengobrol dengan orang ini, wawasannya luas untuk ukuran orang yang hanya lulus
sekolah dasar. Suatu ketika ia berkata bahwa ia baru saja didatangi seseorang tak
dikenal yang membawa gula dan kopi untuknya. Orang tak dikenal ini rupanya kemudian
bertanya kepada orang tua tadi, malam ini bermimpi apa? Minta nomor buntut togel.
“Lha
dikiranya aku ini dukun apa ya? Kok masih ada orang seperti itu.” katanya. Kami
tertawa. Inilah guyonan terdahsyat soal mimpi yang pernah saya temui secara langsung.
Kami puas membodoh-bodohkan orang tak dikenal tadi. Tak lama kemudian, orang
tua ini, teman ngobrol saya ini, ngeloyor bertanya kepada saya;
“Tadi
malam aku mimpi menginjak (maaf) tahiku sendiri. Apa artinya ya? Apa mau dapet rejeki
gede ya?” Lha ya embuh, wong sampean tidak ngasih saya gula dan kopi kok.
Membahas
soal mimpi seperti tidak ada habisnya. Kalau sudah capek akhirnya ya itu tadi,
ah mimpi toh cuma bunga tidur saja. Jadi sebenarnya saya juga masih agak tak mengerti
soal ini. Dalam masyarakat, banyak kisah mimpi dengan tafsirnya yang menurut saya
sering tidak masuk akal dan tidak berhubungan sama sekali hingga sulit dimengerti.
Soal mimpi itu sendiri saja menurut saya
masih ajaib. Bagaimana kok dalam tidur manusia bisa bermimpi? Kenapa tidak plong begitu saja dan kemudian bangun
lagi?
Ada yang bilang
mimpi itu mirip halusinasi. Ada pula pakar psikologi
yang mengatakan bahwa mimpi adalah rembesan dari hal yang paling dipikirkan seseorang
hingga secara otomatis masuk ke alam bawah sadar manusia. Teori yang ini saya cukup
menerima. Ada lagi yang mengartikan bahwa apa yang manusia lihat dalam mimpi,
sebenarnya juga sudah pernah dilihat di alam nyata. Itu hanya pengulangan memori
saja. Maka ketika kita bermimpi tentang sesuatu yang rasanya belum pernah kita lihat,
sejatinya itu sudah pernah kita lihat di alam nyata, kita mungkin kesulitan mengingatnya
dengan jelas namun itu tersimpan di alam bawah sadar kita. Ini juga barangkali berkaitan
dengan dejavu. Ada pula yang
memaparkan bagaimana mimpi terjadi dengan penjabarannya yang panjang lebar dan bermacam-macam
hingga saya kesulitan mengingatnya. Entahlah, saya pusing. Pasti masih banyak
lagi literatur yang harus kita pelajari agar lebih tercerahkan soal ini. Namun
disini saya cuma mau membeberkan sedikit cerita saya soal mimpi sendiri yang
akan saya tafsirkan dan maknai sekehendak hati saya saja.
Entah
sudah berapa kali dalam hidup saya bermimpi saat tidur. Dari kecil juga sudah bermimpi,
tidak pakai diajari, tiba-tiba sudah bisa bermimpi. Mulai mimpi dikejar ular,
dikejar kuntilanak, mimpi bisa terbang mirip Wiro Sableng, mimpi duel dengan Jackie Chan, mimpi jadi
power rangers, dan bermacam lainnya mulai yang biasa-biasa saja, aneh, hingga mimpi
yang sinting. (Saya jadi ingat pernah baca
cerpen Putu Wijaya, judulnya Mimpi. Keren.
Bacalah.)
Dari
sekian banyak mimpi-mimpi itu, saya sedang tertarik membahas beberapa mimpi saja.
Bukan karena uniknya mimpi saya, tapi karena urut-urutannya yang kadang menurut
saya mengagumkan. Agaknya karena inilah saya jadi menerima teori psikologi mimpi
tadi, bahwa mimpi adalah imbas dari hal yang menjadi pikiran kita.
Seringkali
hal-hal yang hadir dalam mimpi adalah hal yang saya pikirkan, saya imajinasikan,
saya andai-andaikan. Maka mimpi saya terbang dengan kostum Wiro Sableng dahulu pastilah
karena memang itu tontonan saya saat kecil dulu. Maklum, jaman saya kecil dulu televisi
tergolong masih langka, listrik belum masuk desa pula. Maka hanya orang punya duit
dan berbaik hati saja lah yang sanggup menyalakan genset di siang hari hanya untuk
hiburan anak-anak desa. Maka setiap Minggu siang kami yang dahulu kecil-kecil itu
suka berjamaah duduk di depan TV seperti mengerumuni benda yang jatuh dari surga.
Maka hal yang begitu penuh arti seperti ini tentulah wajar kalau sampai masuk disiarkan
kedalam mimpi. Sampai hari ini saya masih suka berterima kasih dalam hati atas kemurahan
orang ini.
Setelah saya periksa, ternyata kebiasaan
mimpi yang begini terus berlanjut hingga saat ini. Mulai saya masih kecil dan
imut-imut sampai hari ini sudah tumbuh janggut. Hal-hal yang saya inginkan tepatnya saya pikirkan dalam
kehidupan hampir selalu muncul dalam mimpi saat tidur. Saya ulangi lagi, ini bukan soal istimewanya mimpi
saya, tetapi soal urutannya. Karena, betapapun istimewa mimpi itu bagi saya,
bagi orang lain pasti berbeda artinya, kadang malah tak ada menariknya.
Bagaimanapun, ketertarikan orang lain berbeda-beda dan kita semua tahu rumus
itu berlaku.
Waktu kecil dan saya belum bisa naik sepeda, saya
pernah bermimpi bisa naik sepeda dengan lancar dan ngebut mirip pembalap
kampiun. Keterlaluan barangkali, karena bahkan sekadar naik sepeda saja harus
bermimpi dulu. Tapi itulah adanya. Waktu itu saya masih kelas dua sekolah dasar
dan tinggal bersama kakek-nenek di sebuah desa di Jawa Tengah. Jangan
dibayangkan saya belajar naik sepeda karena waktu itu sepeda untuk anak-anak
masih langka jumlahnya. Sosok sepeda yang ada di rumah kakek waktu itu adalah
sepeda onta, sepeda yang bahkan untuk menegakkannya saja saya tidak kuat.
Sepeda yang tingginya menjulang jauh melebihi tinggi badan saya waktu itu. Melihat
paman menaiki sepeda itu, oh gagah sekali rasanya. Tapi keinginan untuk saya
terlihat gagah itu harus dihentikan dulu jika membayangkan adegan dimana saya
jatuh dan tak bisa berkutik lagi karena tertimpa benda yang demikian besar itu.
Baru setelah dua tahun kemudian saya bisa mengendarai sepeda. Jadi, selama
itulah saya bermimpi indah bahkan untuk soal seremeh naik sepeda.
Di lain kesempatan selanjutnya saya juga mengagumi
sepeda motor. Agak bengal sejatinya mimpi saya kali ini, melihat bahwa
kendaraan ini adalah hal yang juga masih langka saat itu. Lagi pula, zaman
sesulit itu anak kecil naik sepeda motor juga masih haram rasanya. Tapi tidak
mustahil rupanya mimpi saya itu. Suatu ketika tanpa diminta, saya diajari naik
sepeda motor oleh anak budhe saya. Walau ternyata, agak berbeda antara mimpi
dan kenyataan itu. Saat belajar, menarik tuas kopling itu rasanya berat sekali.
Begitu juga yang lainnya, mengoper gear, menarik gas, menginjak rem dan menjaga
keseimbangan adalah setumpuk kesulitan seluruhnya. Padahal dalam mimpi, saya
sudah bisa ngebut sesuka hati bahkan terbang melompati rumah kalau mau.
Pada usia dua puluhan, saya pernah sangat tertarik
kepada alat musik harmonika. Di mata saya, benda ini ajaib sekali. Kecil
ukurannya tetapi bisa menghasilkan melodi yang sangat merdu. Saya jadi
terobsesi dan terbawa sampai ke mimpi. Dalam mimpi, saya memainkannya dengan
semangat lengkap dengan improvisasi gila yang hanya bisa dimainkan oleh musisi
kelas dunia. Cukup lama saya berandai-andai dengan alat musik ini dan pada
akhirnya saya beli, belajar dan bisa juga.
Saya juga sangat ingin bisa bermain gitar bahkan sejak
dari kecil. Seperti biasanya, saya juga sempat bermimpi bisa memainkannya.
Karena di mata saya, keren sekali orang yang bisa memainkan gitar sambil
bernyanyi. Tapi entah karena berbagai sebab, ingin saya ini tak juga tercapai. Hidup saya saat remaja
hingga sampai awal kuliah bisa dihitung jarang bertemu benda itu. Maka melihat
teman bisa bermain gitar, adalah siksaan besar bagi saya. Apalagi setiap menjumpai
cewek kok bisa bermain gitar, rasanya gugur kualitas saya sebagai laki-laki
lalu memalingkan wajah berpura-pura tak melihat sebagai langkah mekanisme
mempertahankan diri. Baru sekitar dua bulan sebelum tulisan ini dibuat, saya
belajar memainkan gitar. Belajar keras dari teman-teman yang berbaik hati
mengajari saya. Dengan jari-jari yang pegal dan serasa mengeras kapalan, tak
membutuhkan waktu yang lama, akhirnya ya bisa juga. Awal-awal belajar gitar ini
saya memainkannya dan menyanyi mirip orang gila. Dan kegilaan itu yang
memantapkan saya untuk tidak menyerah dan terus berlatih sampai bisa. Karena
ternyata, hidup itu hampir melulu berisi tentang latihan.
Itulah deretan
sebagian mimpi-mimpi saya. Mimpi-mimpi saya itu memang bukanlah mimpi besar. Ia
cuma mimpi-mimpi soal hal remeh temeh yang walaupun remeh, ternyata tidak akan
pernah saya capai jika tidak pernah mau memulainya. Hadiah dari kemauan itu
akan kita terima saat kita sudah mengalaminya. Hal yang kemarin kita damba
sampai terbawa mimpi saat tidur, tau tau sekarang sudah bisa kita capai.
”Maka bermimpilah yang banyak dan jangan dulu
dipikirkan apakah mimpi-mimpi itu sebuah kesintingan atau bukan. Bukankah di
dunia ini juga banyak diisi dengan hal-hal sinting?” ujar saya pada diri
sendiri.
Puja Kesuma
Pekanbaru, 02 Juni 2014