Mie
instant rasanya bukan lagi makanan yang asing di negeri kita. Lebih dari itu,
bahkan ternyata kita adalah negara penghasil mie instant terbesar di dunia.
Mengalahkan negeri Tiongkok yang umumnya kita kenal sebagai tempat dimana mie
berasal. Mie instant yang harganya murah saja itu, semakin hari semakin akrab
dengan kehidupan kita. Wajar saja demikian karena sesuai namanya, mie ini
memang benar-benar instant serta berbagai kelebihan lainnya.
Mie
ini menjadi alternatif “pertahanan musim dingin” alias dewa penyelamat di
tanggal tua bagi kebanyakan mahasiswa. Mie instant juga tersedia aneka rasa.
Namun sayang, terlepas dari rendahnya kandungan gizi yang ada di dalamnya,
memakan mie instant bagi sebagian orang ternyata juga membikin perut lebih
cepat terasa lapar kembali ketimbang nasi. Entah kalau ini hanya berlaku bagi
orang Indonesia yang memang suka makan nasi. Contohnya saya, ketika suatu malam
sudah larut dan hendak berangkat tidur perut malah berbunyi mirip senapan
otomatis. Trutukktrutuuukkk, panjang sekali. Jadi di balik kemudahan kita
makan, ternyata ada kemunduran kualitas kenyang yang mengikuti. Dan dinamika
serupa ini bisa kita temui lebih banyak lagi pada objek yang lain.
Belakangan
ini cukup ramai prioritas orang memilih buah-buahan organik, sayuran organik,
beras organik, daging organik, telur organik, dan organik-organik lainnya. Setelah
selama ini kita digempur bahan-bahan makan hasil rekayasa genetika dan
penambahan berbagai pupuk sintetis hingga pestisida hasil kemajuan zaman yang
ternyata di lain sisi ada yang malah menurunkan kualitas kesehatannya. Orang
malah jadi ngeri buat memakan apel yang ranum dan besar mengkilat untuk
kemudian lebih memilih melahap jambu biji di halaman rumah sendiri dengan
alasan lebih aman. Orang yang tadinya biasa memakan telur ayam negri kemudian
kembali memilih telur ayam kampung yang celakanya, hampir semua yang kembali
pada kekampungannya itu malah lebih mahal harganya. Harga yang mahal itu
kemudian kita anggap pantas karena keorganikannya. Karena keamanannya. Jadi
ternyata bersama munculnya bahan makanan super, ada pula kekhawatiran yang
mengikutinya. Ada kalanya dimana kekunoan lebih dipilih ketimbang kemoderenan.
Ada kemajuan, ada pula kemunduran.
Kita
juga sering melihat orang kota yang berduyun-duyun pergi ke daerah kampung saat liburan. Orang-orang ini memilih
pergi ke kampung ketika jengah dengan hiruk pikuk kota yang dikata maju.
Lihatlah betapa wagu-nya kenyataan
ini terkadang. Sementara orang desa terperangah dengan kemegahan kota, orang
kota malah merindukan sejuknya pedesaan. Betapa lucunya terkadang kemajuan dan
kemunduran itu. Tidak sampai disitu. Sebuah contoh lagi. Kota yang maju itu,
terkadang menyuguhkan aneka kemanjaan yang mahal. Ketika akan ada pesta
hajatan, orang kota bisa menghabiskan ongkos demikian banyak untuk sekadar
urusan sewa aula dan catering makanan. Jangan harap seperti di desa yang orang
sekampung akan membantu segala jalannya hajatan seperti masak-masak, di kota
punya tetangga di samping rumah saja sangat mungkin tidak saling kenal. Sampai
di sini malah tidak mudah membedakan mana yang lebih maju dan mana yang lebih
mundur.
Dahulu
masa kecil saya, di kampung masih jarang orang yang memiliki sepeda motor.
Kalau saya yang di zaman itu belajar naik sepeda motor saat kelas enam sekolah
dasar saja masih tabu hukumnya, hari ini malah anak-anak yang lebih kecil lagi
seperti sudah diajari menjadi pembalap mirip Valentino Rossi. Padahal di
kampung saya tidak ada sirkuit balap Moto GP seperti itu. Mereka yang belum
genap kakinya menyentuh tanah itu sudah lihai kebut-kebutan di sekujur
jalan-jalan desa. Jalan desa yang mestinya adem ayem, kini menjadi horror
dengan adegan kebut-kebutan motor bocah kecil yang siap menyambar
siapa saja. Saya sendiri pernah hampir ditabrak bocah suatu malam saat berjalan
kaki pulang dari masjid. Kemajuan sekaligus kemunduran ini kadang suka membikin
saya ngeri dan ingin memakai helm setiap kali, yang walau rasanya sangat lucu
jika hanya berkendara di desa kecil seperti itu. Mirip alien yang mendarat di
tengah-tengah pasar kaget.
Hari
ini perkembangan dunia internet sudah mengalami kemajuan pesat. Mulai dari
bocah yang baru bisa membaca sampai yang sudah renta bisa mengaksesnya dengan
mudah bahkan sampai ke desa-desa. Saya masih ingat beberapa tahun lalu harus
berjalan-jalan ke halaman rumah atau bahkan ke lapangan kalau perlu demi
mencari sinyal saat hendak menulis blog
dari HP. Hari ini cukup dilakukan dengan tiduran di dalam kamar sudah
beres. Kita bisa mengakses internet; yang ramai hari ini sosial media misalnya,
dengan merdeka sesuka hati kita.
Namun
kemerdekaan ini, kemajuan teknologi ini lagi-lagi juga menyodorkan kemunduran
sekaligus. Terlepas dari salah atau tidaknya si pengguna, internet semakin membikin
dunia ini jadi tambah bising. Pilpres dahulu tidak seheboh pilpres hari ini,
yang sampai dalam internet pun bertebaran kampanye hitam. Bermacam kampanye
yang tak beretika ini membikin sakit mata rakyat yang mencari kebenaran untuk
menyalurkan pilihannya karena dengan demikian maka semakin kabur saja mana yang
benar dan mana yang salah. Di era teknologi yang makin modern ini ternyata juga
dibarengi munculnya sampah-sampah dan kemunduran yang meresahkan.
Masih
soal kemajuan. Stasiun televisi pun juga ikut-ikutan diperkosa
keindependenannya. Mentang-mentang merdeka dan tidak lagi dikontrol negara
seketat dahulu, media televisi hari ini malah semakin aneh fungsinya. Peraturan-peraturan pemilu jadi lemah syahwat
menghadapi pelanggaran di sana-sini. Soal kampanye ini kalau saya punya stasiun
televisi dan sedang hajat politik begini, saya bisa terus memampang iklan muka
saya di layar kaca setiap rumah dengan durasi tanpa batas, tak peduli kalau
mencuri start sekalipun. Tidak cukup demikian, saya juga bisa menebar pesona
kebaikan-kebaikan saya sambil juga mengobral pemberitaan tentang keburukan
lawan politik. Kemajuan pertelevisian dalam arti kebebasannya ternyata juga tak
menjamin mutu siaran yang semakin baik. Malah, saya pernah melihat seloroh
teman saya di sosial media, katanya dia pengen punya televisi yang canggih,
yang bisa mati sendiri setiap ada berita politik.
Pendek
kata di satu sisi tentang kemajuan yang semakin mutakhir ini, ada pula sisi
lain yang ternyata malah mengalami kemunduran. Kemajuan dan kemunduran ini
malah suka membikin kita tertawa geli. Betapa terkadang manusia butuh untuk
mundur setelah setengah mati berusaha untuk maju. Akan terasa lebih lucu lagi
jika soal ini harus dianalogikan dengan hidung. Hidung modern adalah hidung
yang mancung. Modern-nya hidung bisa dilakukan dengan operasi plastik. Tapi
setelah semua orang memiliki hidung modern, tidak ada satu orang pun lagi yang
berhidung kuno alias pesek, hati kecil lalu berkata ini tidak bagus. Semua
hidung memang sudah modern, sudah mancung tapi ini pasti tidak asli. Hidung
yang seperti ini pasti sudah menjadi alat pengurangan nasionalisme, bahwa
hidung nasional kita adalah hidung yang pesek. Maka kita harus kembali kepada
kepesekan itu. Dilaksanakanlah pemotongan hidung massal. Jadi dalam sebuah
kemajuan hidung, ternyata juga merupakan kemunduran hidung!
Puja K, Pekanbaru 15 Juli
2014