Links

Senin, 16 Juni 2014

Dalam Kemajuan Ada Kemunduran



Mie instant rasanya bukan lagi makanan yang asing di negeri kita. Lebih dari itu, bahkan ternyata kita adalah negara penghasil mie instant terbesar di dunia. Mengalahkan negeri Tiongkok yang umumnya kita kenal sebagai tempat dimana mie berasal. Mie instant yang harganya murah saja itu, semakin hari semakin akrab dengan kehidupan kita. Wajar saja demikian karena sesuai namanya, mie ini memang benar-benar instant serta berbagai kelebihan lainnya.

 
Mie ini menjadi alternatif “pertahanan musim dingin” alias dewa penyelamat di tanggal tua bagi kebanyakan mahasiswa. Mie instant juga tersedia aneka rasa. Namun sayang, terlepas dari rendahnya kandungan gizi yang ada di dalamnya, memakan mie instant bagi sebagian orang ternyata juga membikin perut lebih cepat terasa lapar kembali ketimbang nasi. Entah kalau ini hanya berlaku bagi orang Indonesia yang memang suka makan nasi. Contohnya saya, ketika suatu malam sudah larut dan hendak berangkat tidur perut malah berbunyi mirip senapan otomatis. Trutukktrutuuukkk, panjang sekali. Jadi di balik kemudahan kita makan, ternyata ada kemunduran kualitas kenyang yang mengikuti. Dan dinamika serupa ini bisa kita temui lebih banyak lagi pada objek yang lain.
Belakangan ini cukup ramai prioritas orang memilih buah-buahan organik, sayuran organik, beras organik, daging organik, telur organik, dan organik-organik lainnya. Setelah selama ini kita digempur bahan-bahan makan hasil rekayasa genetika dan penambahan berbagai pupuk sintetis hingga pestisida hasil kemajuan zaman yang ternyata di lain sisi ada yang malah menurunkan kualitas kesehatannya. Orang malah jadi ngeri buat memakan apel yang ranum dan besar mengkilat untuk kemudian lebih memilih melahap jambu biji di halaman rumah sendiri dengan alasan lebih aman. Orang yang tadinya biasa memakan telur ayam negri kemudian kembali memilih telur ayam kampung yang celakanya, hampir semua yang kembali pada kekampungannya itu malah lebih mahal harganya. Harga yang mahal itu kemudian kita anggap pantas karena keorganikannya. Karena keamanannya. Jadi ternyata bersama munculnya bahan makanan super, ada pula kekhawatiran yang mengikutinya. Ada kalanya dimana kekunoan lebih dipilih ketimbang kemoderenan. Ada  kemajuan, ada pula kemunduran.
Kita juga sering melihat orang kota yang berduyun-duyun pergi ke daerah  kampung saat liburan. Orang-orang ini memilih pergi ke kampung ketika jengah dengan hiruk pikuk kota yang dikata maju. Lihatlah betapa wagu-nya kenyataan ini terkadang. Sementara orang desa terperangah dengan kemegahan kota, orang kota malah merindukan sejuknya pedesaan. Betapa lucunya terkadang kemajuan dan kemunduran itu. Tidak sampai disitu. Sebuah contoh lagi. Kota yang maju itu, terkadang menyuguhkan aneka kemanjaan yang mahal. Ketika akan ada pesta hajatan, orang kota bisa menghabiskan ongkos demikian banyak untuk sekadar urusan sewa aula dan catering makanan. Jangan harap seperti di desa yang orang sekampung akan membantu segala jalannya hajatan seperti masak-masak, di kota punya tetangga di samping rumah saja sangat mungkin tidak saling kenal. Sampai di sini malah tidak mudah membedakan mana yang lebih maju dan mana yang lebih mundur.
Dahulu masa kecil saya, di kampung masih jarang orang yang memiliki sepeda motor. Kalau saya yang di zaman itu belajar naik sepeda motor saat kelas enam sekolah dasar saja masih tabu hukumnya, hari ini malah anak-anak yang lebih kecil lagi seperti sudah diajari menjadi pembalap mirip Valentino Rossi. Padahal di kampung saya tidak ada sirkuit balap Moto GP seperti itu. Mereka yang belum genap kakinya menyentuh tanah itu sudah lihai kebut-kebutan di sekujur jalan-jalan desa. Jalan desa yang mestinya adem ayem, kini menjadi horror dengan adegan kebut-kebutan motor bocah kecil yang siap menyambar siapa saja. Saya sendiri pernah hampir ditabrak bocah suatu malam saat berjalan kaki pulang dari masjid. Kemajuan sekaligus kemunduran ini kadang suka membikin saya ngeri dan ingin memakai helm setiap kali, yang walau rasanya sangat lucu jika hanya berkendara di desa kecil seperti itu. Mirip alien yang mendarat di tengah-tengah pasar kaget.
Hari ini perkembangan dunia internet sudah mengalami kemajuan pesat. Mulai dari bocah yang baru bisa membaca sampai yang sudah renta bisa mengaksesnya dengan mudah bahkan sampai ke desa-desa. Saya masih ingat beberapa tahun lalu harus berjalan-jalan ke halaman rumah atau bahkan ke lapangan kalau perlu demi mencari sinyal saat hendak menulis blog  dari HP. Hari ini cukup dilakukan dengan tiduran di dalam kamar sudah beres. Kita bisa mengakses internet; yang ramai hari ini sosial media misalnya, dengan merdeka sesuka hati kita.
Namun kemerdekaan ini, kemajuan teknologi ini lagi-lagi juga menyodorkan kemunduran sekaligus. Terlepas dari salah atau tidaknya si pengguna, internet semakin membikin dunia ini jadi tambah bising. Pilpres dahulu tidak seheboh pilpres hari ini, yang sampai dalam internet pun bertebaran kampanye hitam. Bermacam kampanye yang tak beretika ini membikin sakit mata rakyat yang mencari kebenaran untuk menyalurkan pilihannya karena dengan demikian maka semakin kabur saja mana yang benar dan mana yang salah. Di era teknologi yang makin modern ini ternyata juga dibarengi munculnya sampah-sampah dan kemunduran yang meresahkan.
Masih soal kemajuan. Stasiun televisi pun juga ikut-ikutan diperkosa keindependenannya. Mentang-mentang merdeka dan tidak lagi dikontrol negara seketat dahulu, media televisi hari ini malah semakin aneh fungsinya.  Peraturan-peraturan pemilu jadi lemah syahwat menghadapi pelanggaran di sana-sini. Soal kampanye ini kalau saya punya stasiun televisi dan sedang hajat politik begini, saya bisa terus memampang iklan muka saya di layar kaca setiap rumah dengan durasi tanpa batas, tak peduli kalau mencuri start sekalipun. Tidak cukup demikian, saya juga bisa menebar pesona kebaikan-kebaikan saya sambil juga mengobral pemberitaan tentang keburukan lawan politik. Kemajuan pertelevisian dalam arti kebebasannya ternyata juga tak menjamin mutu siaran yang semakin baik. Malah, saya pernah melihat seloroh teman saya di sosial media, katanya dia pengen punya televisi yang canggih, yang bisa mati sendiri setiap ada berita politik.
Pendek kata di satu sisi tentang kemajuan yang semakin mutakhir ini, ada pula sisi lain yang ternyata malah mengalami kemunduran. Kemajuan dan kemunduran ini malah suka membikin kita tertawa geli. Betapa terkadang manusia butuh untuk mundur setelah setengah mati berusaha untuk maju. Akan terasa lebih lucu lagi jika soal ini harus dianalogikan dengan hidung. Hidung modern adalah hidung yang mancung. Modern-nya hidung bisa dilakukan dengan operasi plastik. Tapi setelah semua orang memiliki hidung modern, tidak ada satu orang pun lagi yang berhidung kuno alias pesek, hati kecil lalu berkata ini tidak bagus. Semua hidung memang sudah modern, sudah mancung tapi ini pasti tidak asli. Hidung yang seperti ini pasti sudah menjadi alat pengurangan nasionalisme, bahwa hidung nasional kita adalah hidung yang pesek. Maka kita harus kembali kepada kepesekan itu. Dilaksanakanlah pemotongan hidung massal. Jadi dalam sebuah kemajuan hidung, ternyata juga merupakan kemunduran hidung!

Puja K,  Pekanbaru 15 Juli 2014
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar