![]() |
Ini adik saya, Rahul Anwar namanya |
Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik
tepat di bawah saya seorang perempuan hanya berbeda usia sekira dua tahun.
Sedangkan adik saya yang paling kecil seorang laki-laki, rentang kelahirannya
dengan saya cukup jauh, sekitar limabelas tahun. Adik saya yang paling bontot
ini sekarang sedang duduk di kelas dua sekolah dasar. Memiliki badan berisi,
kulit bersih dan mata sipit. “Mirip orang Cina..” begitu kata orang. Sedangkan
saya hanya kebagian mata saja yang agak sipit khas orang Jawa. Sementara kulit
saya tetap legam. “Cina mutan.” Begitu seloroh tetangga.
Adik saya yang paling kecil ini punya sifat yang
berbeda dengan saya waktu kecil dulu. Dia tidak suka makan dengan lauk daging,
ayam, ataupun ikan yang besarnya lebih dari dua jari. Kalau pun doyan, itu
setelah diolah menjadi sate, sosis, atau bakso saja. Dia akan ngambek dan tidak
mau makan jika ibu hanya memasak daging, ayam, atau ikan saja. Mungkin ia sudah
bosan atau bagaimana saya tidak tahu. Ia lebih memilih sambal goreng tahu
campur teri, sambal kering tempe, ataupun indomie bahkan kecap saja ketimbang
daging atau ayam. Haha.. Bento sekali!
Secara tidak langsung betapa ia sudah menghina
selera makan masa kecil saya. Dahulu itu jaman masih susah. Urusan lauk pauk
cukup seadanya. Ada ikan asin saja sudah syukur. Selebihnya ya hari-hari
sayuran melulu. Mulai sayur daun singkong, sayur kulit melinjo, daun pepaya
muda, jantung pisang, pare, kangkung, bayam, genjer, sampai sayur hijau murah
meriah lainnya yang kadang malah gratis saja karena bisa didapat dari
pekarangan rumah.
Makan ayam atau daging pada masa kecil saya adalah
hal yang mewah sekali. Mewah karena momen seperti itu jarang-jarang terjadi dan
tidak dapat dibuatkan jadwal atau diprediksi kapan datangnya. Saya masih ingat
betapa girangnya saya setiap kali menanti bapak pulang kenduri, sebab
sepulangnya pasti bapak akan menenteng sebungkus bingkisan yang dinamakan
berkat. Dalam berkat ini biasa berisi bermacam makanan sesuai tema kendurinya
dan ayam adalah menu yang hampir selalu ada di dalamnya. Saya tidak hafal
makanan apa saja yang harus ada sebagai simbol dalam satu bungkusan berkat,
saya hanya hafal bahwa jika ada berkat di tangan bapak, maka itulah saatnya
makan enak.
Oleh karena sifat spesialnya itu maka cara
menikmatinya pun harus dengan cara spesial pula. Ia harus saya makan sedikit
demi sedikit agar bisa lebih lama menikmati durasi makan enak. Harus dihabisi
bersih sampai warna tulangnya putih mengkilat. Seandainya saja ada kucing
meminta maka harus saya pastikan ia hanya akan mendapat tulangnya saja. Agak
mengerikan memang tapi justru di situlah nikmatnya. Malah saya pernah mendapati
beberapa orang dengan kebiasaan makan yang agak unik. Nasi dan sayurnya akan
habis duluan sementara lauknya disantap belakangan. Biar khusnul khotimah mungkin.
Maka saya sungguh geleng kepala geli melihat
kelakuan adik kecil saya yang emoh makan enak itu. Tapi saya memakluminya
karena betapapun enak makanan itu, hari ini tetap berbeda dengan masa lalu.
Rata-rata anak di kampung saya hari ini tidak perlu menunggu ada acara kenduri
untuk bisa makan ayam. Tingkat kesejahteraan ekonomi yang sudah lebih baik
telah membuat waktu menunggu acara kenduri menjadi terasa terlalu lama kalau
sekedar untuk makan ayam. Akibatnya hal yang dahulu bagi anak-anak adalah
berkah ini, sekarang sudah menjadi biasa-biasa saja. Adik saya juga tidak
merasa harus heboh jika bapak pulang kenduri.
Ilustrasi Berkat (Sumber: google) |
Maka sungguh
trenyuh hati saya jika mendapati berbungkus-bungkus berkat tergeletak begitu
saja di meja dapur ibu. Hari ini orang sudah berkecukupan dan bisa membuat
kenduri bahkan dengan jadwal bentrok sana-sini sehingga berkat jadi mengumpul
terlalu banyak untuk satu keluarga. Sungguh berkat yang merana. Di mata saya ia seperti kembali
berteriak-teriak untuk segera disambut dengan gembira. Ia seperti ingin
berbicara bahwa inilah aku rejeki yang sama, yang melaluinya dahulu satu
keluarga bisa bergembira.
“Tenanglah, berkat. Aku datang buat
menggembirakanmu.”
Puja K.
Pekanbaru, 04 Desember 2012.