Links

Sabtu, 06 Desember 2014

Adik Saya Tidak Doyan Daging

Ini adik saya, Rahul Anwar namanya

Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik tepat di bawah saya seorang perempuan hanya berbeda usia sekira dua tahun. Sedangkan adik saya yang paling kecil seorang laki-laki, rentang kelahirannya dengan saya cukup jauh, sekitar limabelas tahun. Adik saya yang paling bontot ini sekarang sedang duduk di kelas dua sekolah dasar. Memiliki badan berisi, kulit bersih dan mata sipit. “Mirip orang Cina..” begitu kata orang. Sedangkan saya hanya kebagian mata saja yang agak sipit khas orang Jawa. Sementara kulit saya tetap legam. “Cina mutan.” Begitu seloroh tetangga.


Adik saya yang paling kecil ini punya sifat yang berbeda dengan saya waktu kecil dulu. Dia tidak suka makan dengan lauk daging, ayam, ataupun ikan yang besarnya lebih dari dua jari. Kalau pun doyan, itu setelah diolah menjadi sate, sosis, atau bakso saja. Dia akan ngambek dan tidak mau makan jika ibu hanya memasak daging, ayam, atau ikan saja. Mungkin ia sudah bosan atau bagaimana saya tidak tahu. Ia lebih memilih sambal goreng tahu campur teri, sambal kering tempe, ataupun indomie bahkan kecap saja ketimbang daging atau ayam. Haha.. Bento sekali!
Secara tidak langsung betapa ia sudah menghina selera makan masa kecil saya. Dahulu itu jaman masih susah. Urusan lauk pauk cukup seadanya. Ada ikan asin saja sudah syukur. Selebihnya ya hari-hari sayuran melulu. Mulai sayur daun singkong, sayur kulit melinjo, daun pepaya muda, jantung pisang, pare, kangkung, bayam, genjer, sampai sayur hijau murah meriah lainnya yang kadang malah gratis saja karena bisa didapat dari pekarangan rumah.
Makan ayam atau daging pada masa kecil saya adalah hal yang mewah sekali. Mewah karena momen seperti itu jarang-jarang terjadi dan tidak dapat dibuatkan jadwal atau diprediksi kapan datangnya. Saya masih ingat betapa girangnya saya setiap kali menanti bapak pulang kenduri, sebab sepulangnya pasti bapak akan menenteng sebungkus bingkisan yang dinamakan berkat. Dalam berkat ini biasa berisi bermacam makanan sesuai tema kendurinya dan ayam adalah menu yang hampir selalu ada di dalamnya. Saya tidak hafal makanan apa saja yang harus ada sebagai simbol dalam satu bungkusan berkat, saya hanya hafal bahwa jika ada berkat di tangan bapak, maka itulah saatnya makan enak.
Oleh karena sifat spesialnya itu maka cara menikmatinya pun harus dengan cara spesial pula. Ia harus saya makan sedikit demi sedikit agar bisa lebih lama menikmati durasi makan enak. Harus dihabisi bersih sampai warna tulangnya putih mengkilat. Seandainya saja ada kucing meminta maka harus saya pastikan ia hanya akan mendapat tulangnya saja. Agak mengerikan memang tapi justru di situlah nikmatnya. Malah saya pernah mendapati beberapa orang dengan kebiasaan makan yang agak unik. Nasi dan sayurnya akan habis duluan sementara lauknya disantap belakangan. Biar khusnul khotimah mungkin.
Maka saya sungguh geleng kepala geli melihat kelakuan adik kecil saya yang emoh makan enak itu. Tapi saya memakluminya karena betapapun enak makanan itu, hari ini tetap berbeda dengan masa lalu. Rata-rata anak di kampung saya hari ini tidak perlu menunggu ada acara kenduri untuk bisa makan ayam. Tingkat kesejahteraan ekonomi yang sudah lebih baik telah membuat waktu menunggu acara kenduri menjadi terasa terlalu lama kalau sekedar untuk makan ayam. Akibatnya hal yang dahulu bagi anak-anak adalah berkah ini, sekarang sudah menjadi biasa-biasa saja. Adik saya juga tidak merasa harus heboh jika bapak pulang kenduri.
Ilustrasi Berkat (Sumber: google)

 Maka sungguh trenyuh hati saya jika mendapati berbungkus-bungkus berkat tergeletak begitu saja di meja dapur ibu. Hari ini orang sudah berkecukupan dan bisa membuat kenduri bahkan dengan jadwal bentrok sana-sini sehingga berkat jadi mengumpul terlalu banyak untuk satu keluarga. Sungguh berkat yang merana.  Di mata saya ia seperti kembali berteriak-teriak untuk segera disambut dengan gembira. Ia seperti ingin berbicara bahwa inilah aku rejeki yang sama, yang melaluinya dahulu satu keluarga bisa bergembira.
“Tenanglah, berkat. Aku datang buat menggembirakanmu.”

Puja K.    Pekanbaru, 04 Desember 2012.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar