Malam ini tiba-tiba listrik padam. Mungkin
karena angin kencang dan hujan yang mengguyur cukup deras sedari sore tadi baru
saja berhenti. Kalau hanya hujan saja, mungkin tak cukup membuat jaringan listrik
tiba-tiba mati. Pasti entah di bagian mana ada beberapa ranting pohon yang
patah dan menimpa kabel telanjang bertegangan tinggi. Sudah tentu,
korsletinglah jadinya aliran listrik itu. Atau bisa jadi penyebabnya cuma hal sepele
saja. Benang layangan yang menyangkut di kabel misalnya. Ini sejatinya sungguh bukan
hal remeh karena benang yang walau ukurannya hanya sekecil itu akan menjadi benda yang lumayan mengganggu jika sudah dibasahi
air hujan. Teman saya waktu kecil pernah hampir tewas gara-gara saat bermain layang-layang,
benangnya tersangkut di jaringan kabel listrik bersamaan dengan turun hujan.
Kesetrumlah dia.
Listrik padam, lampu elektrik tak bisa dinyalakan.
Lampu minyak sedang kehabisan minyak. Jadilah ia lampu saja tanpa minyak. Ya,
lampu minyak yang tanpa minyak pasti sekadar tragedi Juliet yang tanpa Romeonya.
Jadilah sekujur rumah gelap gulita. Saya
berjalan mirip orang rabun di dalam goa tanpa
setitik pun cahaya.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ.
Ternyata saya lupa belum menanak nasi di rice cooker. Dan klimaks, perut saya sudah
terasa lapar pula. Di negeri ini menanti listrik yang padam setelah hujan untuk
kemudian menyala lagi, mirip penantian cinta seorang lelaki yang digantung seorang
gadis. Tak tahu kapan berakhirnya. Oh,
listrik celaka!
Sadar bahwa jika diam di rumah saja tidak
akan dapat menemukan sumber makanan, insting kelaparan menuntun saya ke sebuah tempat
yang tepat; rumah makan Padang! Wah, lha ini. Tempat yang selalu menggoda hati.
Tepatnya, hati yang sedang panik karena ditodong rasa lapar.
“Uda, gulai ikan patinnyo, ciek..” pinta
saya.
“Siap.” Jawab pelayan itu.
“Eh, patin gulai abis, bang.. Patin bakar
mau?”
“Jadilah.” Sahut saya cepat.
“Ekor atau badan?”
“Ekor.”
“Yang siripnyo kering, atau yang
siripnyo basah?”
“Kering.”
“Makan siko bang?”
“Iyoo…”
“Gelap tapi bang. Genset rusak pulak.”
“Ah, pakai lampu emergency itu juga nggak papa..” jawab saya sambil menunjuk lampu
LED kecil.
Heran saya. Entah pelayan itu sedang ramah
atau sedang suka berbicara. Tapi percakapan yang hanya untuk sepiring nasi dan lauknya
ini malah sudah mirip percakapan diplomasi antara dua negara. Tak lain, rasa
heran ini muncul pasti karena lapar yang sudah semakin menjadi. Oh, cepatlah sepiring
nasi itu terbang kemari!
Dalam temaram lampu emergency, akhirnya datang juga nasi pesanan saya tadi. Sepiring nasi
dengan buntut ikan patin terkapar di atasnya, oh pemandangan yang indah! Suap
demi suap nasi itu saya nikmati dengan hikmat. Tapi, woo.. kursi plastik di
depan itu kok bergerak-gerak sendiri? Ah, sedikit doang bergerak pasti hal yang
biasa. Saya melanjutkan suapan berikutnya sambil tetap memandangi kursi yang
bergerak tadi. Aneh. Kursi tadi tetap diam, tapi kursi di sebelahnya malah bergerak
lebih kuat.
“Gelap-gelap begini, ada deretan kursi
yang bergerak-gerak sendiri? Who, agak serem juga.” Batin saya.
Sejenak saya jadi sedikit mempercayai hal
yang saya lihat di sebuah acara televisi swasta yang menampilkan rekaman-rekaman
video unik. Dalam tayangan waktu itu, menyajikan sebuah video yang merekam hal-hal
yang dilakukan oleh makhluk supranatural. Di antaranya adalah kondisi rumah makan
pada malam hari yang sudah tak ada satu
orang pun di sana karena rumah makan sudah waktunya tutup. Dalam video itu terlihat
piring dan gelas yang bergerak-gerak sendiri, tong sampah yang asyik menggelinding,
juga meja yang bergeser dengan sendirinya. Waktu itu saya boleh saja enteng mengatakan
bahwa itu bukan tidak mungkin hanyalah sebuah trik kamera. Tapi dengan yang
saya lihat pakai mata kepala saya sendiri ini?
“Jangan-jangan sebentar lagi malah saya sendiri
yang akan digeser atau bahkan dilemparkan keluar rumah makan ini? Lho, gawat. Saya
kan belum selesai makan. Belum kenyang!”
Adegan berikutnya malah lebih horror lagi.
Sangat terasa bahwa ada yang membentur-bentur ke kaki meja makan yang saya pakai.
Saya jadi tambah panik. Ragu-ragu saya melongok ke kolong meja. Tapi, woo…
rupanya seekor kucing remaja yang manis rupawan! Saya kira hantu!
Lama saya perhatikan kucing ini, tetapi ia
hanya diam saja. Kucing di rumah makan tentu punya kebiasaan yang hampir sama,
menggoda pengunjung yang sedang makan, untuk kemudian dihadiahi tulang atau kepala ikan. Tetapi kepada kucing ini, saya sudah
salah sangka. Ketika saya jatuhkan sirip ikan di hadapannya, ia hanya diam saja.
Apa ia sedang malu-malu kucing? Entahlah. Ia tetap tenang saja dengan
anggunnya. Ia
malah membiarkan sirip ikan
itu diembat oleh dua temannya yang kemudian datang. Tiga ekor kucing ini lalu bermain
kejar-tubruk. Permainan yang juga jamak dilakukan kucing lainnya.
Lama saya perhatikan mereka bermain.
Namun, ada yang agak aneh. Kucing yang pertama tadi, yang manis tadi, kenapa
paling sering terguling dan terjatuh? Setelah saya perhatikan lagi, barulah saya
tahu bahwa ternyata ia adalah kucing yang pincang. Berdiri baginya adalah hal luar
biasa. Berdiri pun ia sempoyongan seperti tidak punya tulang. Berjalan satu dua
langkah ia langsung tersungkur. Sepertinya ia pernah mengalami kecelakaan berat
yang membikin tulang punggungnya rusak dan
tak mampu berjalan normal. Pantaslah kalau kedatangannya ke kolong meja makan
saya harus membuat kursi-kursi tadi bergoyang penuh misteri.
Saya jadi merasa kasihan. Dengan keadaan
yang demikian, tentu saja ia selalu terjatuh dan terjatuh saat bermain dengan temannya.
Sementara temannya sudah jauh berlari, ia malah baru berjuang setengah mati untuk
berdiri. Saat ia sudah berhasil berdiri, dua temannya tadi sudah sempurna bersembunyi
untuk bersiap menubruknya lagi.
Namun dengan keadaan
terbatas seperti itu, kucing pincang ini sama sekali tak terlihat memasang muka
menderita. Ia tetap bermain dengan riang seperti dua temannya yang normal.
Seandainya bisa, saya yakin kucing pincang ini juga tak akan meminta dua temannya
tadi untuk bertenggang rasa dengan cara memperlambat jalannya. Semua ia jalani
begitu saja. Ia tidak keberatan jika harus terus tertinggal bersembunyi. Ia
tetap berusaha menubruk, mengejar temannya dengan gembira. Caranya berjalan
memang tak normal. Ia lebih suka melompat-lompat tak karuan ketimbang berjalan
biasa saat bermain. Mungkin karena dengan berjalan biasa ia terus terjatuh,
jadi ia malah bergerak apa saja agar bisa mengejar temannya. Saya bukan ahli
kucing, tapi tak sulit rasanya membedakan antara kucing yang gembira dan kucing
yang tak bersemangat.
Saya jadi terharu. Saya jatuh
kagum pada kucing pincang ini. Siapa guru spiritualnya? Kucing ini sudah
membuktikan bahwa pincang sekalipun tidak cukup untuk membuat dunianya harus
menjadi murung melulu. Awal tragedi yang menimpanya mungkin juga membuatnya
stress karena kesakitan dan kehilangan kemampuannya berjalan normal. Namun,
bukankah hari ini ia bermain gembira sekali? Dalam hati saya sempat bertanya,
apa kucing ini pernah berniat bunuh diri saat menyadari ia tak bisa berjalan
normal lagi? Kesakitan itu, apakah pernah membuat kucing ini jadi ingin
menenggak racun tikus? Kok racun tikus? Ya karena di warung tidak ada dijual
racun kucing.
Saya pulang dari rumah makan
dengan perut kenyang dan bayang-bayang kucing manis itu. Lain waktu jika
kembali makan di tempat itu, saya berjanji tidak akan mengiramu lagi sebagai
hantu.
(Puja K. Pekanbaru, 17 Maret 2014)
Yaa allah kenapa tdk dibawa aja bang hiiiks... 😨
BalasHapusYaa allah kenapa tdk dibawa aja bang hiiiks... 😨
BalasHapusSaya suka jarang di rumah. Nanti dia kesepian. Disana kan banyak temennya.. Hehe..
Hapus